Dendang Farel Prayoga yang Tidak Pada Tempatnya

“Bahkan saya sendiri tidak sadar kalau upacara tersebut belum selesai. Dalam benak saya, kalau sudah nyanyi-nyanyi seperti itu, berarti upacara sudah selesai.”

Dulu, sewaktu masih SMP saya pernah kena hukuman waktu upacara bendera. Perkaranya, saat itu, saya terlihat oleh Inspektur Upacara sedang bernyanyi-nyanyi. Padahal, seingat saya, saat itu saya bukan sedang bernyanyi, hanya bersenandung saja, kok.

Apa pun itu, saya akhirnya dihukum berdiri di tengah lapangan seusai upacara. Senin depannya, saya ditunjuk menjadi pemimpin upacara. Sebuah hukuman yang lebih berat dari sekadar berdiri di tengah lapangan. Kenapa? Yah, itu karena saya sangat tidak suka baris-berbaris dan berteriak “Siaaappp, grak! Hormaaattt, grak! Dan, Istirahattt di tempaaattt, grak!” Bukan apa-apa, saya tahu kualitas suara saya pasti akan membuat semua orang di lapangan akan tertawa terbahak-bahak. Itu saja.

Padahal itu upacara bendera biasa yang dilaksanakan rutin setiap hari Senin. Bayangkan hukuman apa yang saya terima kalau itu saya lakukan pas upacara Hari Kemerdekaan yang di sekolah saya itu selalu dihadiri oleh para veteran tentara pelajar di Surabaya. Pasti hukumannya lebih berat.

Namun, saya tidak hendak menyalahkan guru saya tersebut. Bagi beliau, mungkin, saya telah mengurangi kesakralan dan kekhidmatan sebuah upacara bendera. Sekali lagi, itu hanya kemungkinan saja. Karena sejujurnya saya juga agak heran bagaimana beliau bisa mendengar nyanyian, eh, senandung saya yang pelan itu.

Kenapa saya ceritakan hal ini? Itu karena sebuah video viral yang memperlihatkan beberapa anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) di daerah Bekasi, berjoget seusai menuntaskan tugas mengibarkan bendera pada upacara hari kemerdekaan. Otomatis video itu viral dan menjadi hujatan banyak orang. Mereka menyayangkan tindakan tersebut yang dianggap tidak pada tempatnya, sehingga mencederai kesakralan dan kekhidmatan sebuah upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. 

Saya jadi bertanya-tanya, kalau hukuman yang dulu saya terima adalah dijemur di tengah lapangan, kira-kira seperti apa hukuman bagi mereka nanti? Tapi, saya berdoa semoga hukuman tersebut tidak membuat mereka berkecil hati. Bagaimanapun, mereka masih muda dan jalan mereka masih panjang, bukan?

Lalu, tibalah saya pada pertanyaan selanjutnya. Kalau anak-anak Paskibra itu dianggap mencederai kesakralan dan kekhidmatan sebuah upacara peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, lalu bagaimana dengan joget Farel Prayoga? Bagaimana juga dengan beberapa menteri yang ikut berjoget mengikuti alunan suara dari Farel Prayoga tersebut?

Siapa yang bisa menyangkal kemerduan suara Farel Prayoga saat menyanyikan lagu “Ojo Dibandingke” dalam rangkaian upacara hari kemerdekaan RI ke 77, Rabu tanggal 17 Agustus, kemarin? Bocah asal Banyuwangi yang masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar itu mampu menghipnotis para pendengarnya, termasuk saya. Bahkan saya sendiri tidak sadar kalau upacara tersebut belum selesai. Dalam benak saya, kalau sudah nyanyi-nyanyi seperti itu, berarti upacara sudah selesai.

Ternyata saya salah, karena setelah itu acara dilanjutkan dengan laporan Komandan upacara kepada Inspektur upacara, dan seterusnya. Di situlah saya tersadar, walaupun suaranya begitu merdu, dendang Farel Prayoga tersebut sungguh-sungguh tidak pada tempatnya!

Kenapa tidak pada tempatnya? Tentu karena lantunan lagu dangdut koplo bertema percintaan, tak seharusnya dinyanyikan di sebuah acara se-sakral dan se-khidmat upacara hari kemerdekaan di Istana Negara. Itu sangat mencederai kesakralan dan kekhidmatannya. Kecuali kalau acaranya sudah selesai, terserah mau berjoget sampai malam juga tak masalah.

Sebagai tambahan, saya sama sekali tidak mempermasalahkan seorang anak kecil menyanyikan lagu percintaan. Kenapa? Begini lho, Farel itu kan pekerja kreatif yang menjual suaranya sebagai jasa. Ayahnya mengajak Farel mengamen untuk mengasah keberaniannya tampil di depan umum. Nah, sebagai seorang penjual, tentu saja keinginan konsumen harus dinomorsatukan. Nah, sekarang saya tanya pada Anda. Alih-alih mendengarkan “Abang Tukang Bakso” atau “Si Lumba-lumba” yang merupakan lagu anak-anak jadul, tidakkah mendengarkan lagu “Ojo Dibandingke” akan membuat Anda secara tidak sadar ingin me-nyawer Farel?

Namun, sekali lagi saya tekankan bahwa menurut saya lagu itu tidak pada tempatnya dinyanyikan di sebuah upacara bendera. Ini tentu beda dengan para penampil sebelumnya yang menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan lagu-lagu daerah. Jelas sekali kalau lagu perjuangan yang dinyanyikan dengan sepenuh hati, akan menambah kesakralan dan kekhidmatan upacara.

Apalagi kalau ingat bahwa saat itu ada beberapa menteri yang ikut berjoget bersama Farel. Lalu, apa bedanya beliau-beliau tersebut dengan anggota Paskibraka yang saya singgung tadi? Bukankah beliau-beliau juga berjoget di saat upacara belum selesai? Apakah karena beliau-beliau adalah menteri, sehingga boleh joget seenaknya di tengah upacara? 

Sekali lagi, ini bukan karena saya membenci lagunya atau para menteri tersebut. Sebaliknya, saya menyukai lagu tersebut dan hormat pada para menteri tersebut. Namun, sesuatu yang tidak pada tempatnya sudah seyogyanya untuk dikritik, bukan?

Bukankah sekarang sudah bulan September? Apa ndak basi hal ini dibahas sekarang? 

Eits, justru karena sekarang sudah bulan September, makanya saya menulis tentang ini. Sebab tujuan saya adalah semoga tahun depan saat upacara peringatan Hari Kemerdekaan yang ke-78, tidak ada lagi yang melakukan selebrasi yang tidak pada tempatnya tersebut. Bukannya terjebak oleh pro dan kontra dendang Farel Prayoga. [red/rien]

Nanang Ardianto. Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *