ChatGPT dan Pentingnya Reorientasi Pendidikan

Kehadiran ChatGPT yang tengah viral itu, membuat cemas para pendidik termasuk siapapun yang peduli terhadap dunia pendidikan. Katanya, chatbot berbasis artificial intelligence itu, bukan hanya mampu menjawab pertanyaan lengkap dengan referensinya. Ia pun mampu membuat esai, puisi, bahkan membuat tulisan fiksi. Gaya bahasanya luwes, mirip tuturan manusia. Alhasil, dengan menggunakan ChatGPT, tugas sekolah bukan lagi menjadi sesuatu yang sulit.

Dalam pendidikan, guru dituntut untuk senantiasa melakukan perbaikan. Idealnya, jawaban ujian dari siswa menjadi indikator bagi ketercapaian hasil pembelajaran. Pada saat bersamaan, jawaban ujian juga digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap efektivitas strategi pembelajaran yang digunakan. Lalu apa jadinya kalo jawaban-jawaban soal ujian tadi disusun menggunakan bantuan teknologi semacam ChatGPT?

Kehadiran ChatGPT menimbulkan sejumlah kontroversi di kalangan akademisi. Ia dianggap sebagai ancaman bagi dunia pendidikan. Meskipun, narasi-narasi ketidaksetujuannya masih didominasi oleh kekhawatiran penyalahgunaan ChatGPT. Misalnya untuk tujuan menyontek dan sebagainya. Seperti diketahui, menyontek dan plagiasi masih menjadi masalah klasik dunia pendidikan kita.  

Saya sendiri termasuk yang biasa-biasa aja dalam merespon kehadiran ChatGPT. Pasalnya, kemajuan teknologi dalam bidang apapun tidak dapat dicegah. Yang dapat kita lakukan hanya satu, yaitu beradaptasi dengannya. Teknologi terbaru di awal kehadirannya selalu direspon negatif, khususnya oleh kaum konservatif. Seperti halnya kalkulator, televisi, atau transportasi online, awalnya mendapatkan resistensi, tapi kenyataan menunjukan kepada kita siapa yang akhirnya menang.

Kehadiran teknologi setidaknya merupakan representasi atas dua hal yang sifatnya alamiah. Pertama, sebagai jawaban atas kebutuhan manusia yang selalu berkembang dan dinamis. Kedua, untuk memenuhi rasa penasaran manusia. Saya tidak sependapat dengan ungkapan bahwa kemajuan teknologi seperti dua sisi mata koin. Karena sejatinya teknologi itu bebas nilai. Manusialah—sebagai pusat semesta—yang selalu terbagi dua dalam memanfaatkannya. 

Mulai dari kapak berbahan batu, teknologi zaman purba, sampai teknologi nuklir yang paling mutakhir, sama-sama dapat dimanfaatkan secara positif untuk tujuan kemaslahatan manusia atau sebaliknya. Semestinya kehadiran ChatGPT dapat disikapi secara bijak. ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. “Karena terobosan besar teknologi artificial intelligence tersebut bisa menjadi alat yang memperlancar proses pendidikan dan mengakselerasi perkembangan sains, rekayasa, dan teknologi,” begitu menurut Suyanto, Guru Besar Kecerdasan Buatan Fakultas Informatika Telkom University.

Pemanfaatan ChatGPT Setidaknya dapat mengurangi beban para pendidik dalam menuntaskan aspek pengetahuan (kognitif). Karena pendidikan bukan hanya menyangkut aspek kognitif, maka para pendidik dapat fokus pada aspek lain yang tidak kalah penting yaitu afektif dan psikomotorik.

Mengintegrasikan ChatGPT kedalam proses pembelajaran tentu akan memilki tantangan tersendiri. Guru perlu terus meningkatkan kompetensi dan mengasah kreativitasnya. Pada struktur hirarki keterampilan berpikir, guru tidak melulu bermain pada domain low order thinking skills. Guru perlu menguatkan kemampuan analisis, evaluasi, dan sintesis dari siswa.

***

Sebagai adaptasi dari perubahan kurikulum, proses pembelajaran di ruang kelas terus mengalami evolusi. Dulu kita mengenal metode pembelajaran yang berpusat pada guru. Gurulah yang memegang kendali penuh proses pembelajaran. Guru menjadi sumber informasi utama, sedangkan murid hanya menyimak apa yang disampaikan.

Hari ini adalah era ketika pembelajaran berpusat pada siswa. Pendekatan semacam ini memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi mencari pengetahuan dan pengalaman. Metode ini mendorong siswa terlibat secara aktif dalam proses membangun pengetahuan. Kehadiran ChatGPT seharusnya menggenapkan pembelajaran berbasis siswa menjadi lebih sempurna.

Semua orang takjub dengan kemampuan ChatGPT dalam memberikan jawaban yang akurat untuk banyak pertanyaan. Walaupun demikian, teknologi ini tentu memiliki batasan. ChatGPT tidak selalu dapat memberikan jawaban yang benar untuk pertanyaan yang bersifat subjektif, atau yang memerlukan pengetahuan yang spesifik. Sebagaimana dikatakan oleh Ayu Purwarianti, Kepala Pusat Artificial Intelligence Institut Teknologi Bandung (ITB) “Jawaban yang dikeluarkan ChatGPT tidak dapat dijamin kebenarannya, harus dicek ulang.”  

Jauh sebelum kita mengenal ChatGPT, kehadiran internet telah membuat kita kebanjiran informasi. Sehingga, permasalahan hari ini bukan lagi terletak pada bagaimana cara kita mendapatkan informasi, tapi bagaimana kita mengetahui informasi yang kita dapatkan itu benar. 

Peserta didik selaku objek sekaligus subjek perlu dibekali keterampilan agar mampu memverifikasi dan memvalidasi pengetahuan yang mudah, murah dan melimpah itu. Verifikasi dan validasi dimaksudkan untuk memeriksa sekaligus memastikan, apakah informasi atau pengetahuan yang didapatkan berasal dari literatur yang terpercaya.   

Kehadiran ChatGPT tidaklah membuat tugas guru menjadi lebih ringan. Selain bertugas menstimulasi dan mendorong anak untuk mengakses sumber belajar, orientasi pendidikan hari ini bukan lagi pada perkara memindahkan isi buku ke kepala siswa untuk menjadi pengetahuan, melainkan pada membangun kemandirian dan literasi akademik yang baik sehingga ChatGPT dan teknologi semacamnya dapat dimanfaatkan dengan penuh tanggung jawab.

Roy Waluyo, pengajar yang suka menulis, tinggal di Bogor.

[red/BP]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *