Bukan Mobil Listrik, Kita Hanya Butuh Jalan Kaki

Jalan kaki bisa jadi obat dari bermacam komplikasi, mulai dari macet hingga anxiety.~

Berita tentang suksesnya perhelatan akbar G20 terasa masih segar dalam ingatan kita. Namun, sebagai orang yang cuma bisa menyaksikan dari jalanan Bali setiap harinya, perhelatan super-riweuh ini bagi saya hanyalah tentang pertunjukan mobil-mobil listrik.

Betapa tidak? Pemandangannya sangat berkesan: Mobil-mobil listrik diberi logo G20 yang mencolok, dipertontonkan secara masif, seakan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kita siap mendukung industri kendaraan bertenaga setrum ini. Tidak hanya itu, mobil listrik juga dipromosikan (atau dipropagandakan?) sebagai sarana transportasi yang memanfaatkan energi bersih, ramah lingkungan, dan sering didengungkan sebagai solusi pencemaran udara atau bahkan pemanasan global.

Tapi benarkah begitu? Sejujurnya saya ragu. Tidakkah itu semua hanyalah jargon marketing dan business as usual?

Buat saya, solusi-solusi atas permasalahan tadi (macet, polusi udara, dan pemanasan global) hanya akan bisa terselesaikan dengan satu hal: kemauan kita berjalan kaki. Titik. Dan bukan hanya itu. Ada banyak manfaat lain yang hanya bisa dirasakan jika kita rajin jalan kaki. Saya bagikan sedikit di sini, sisanya silakan temukan sendiri. ☺

Jalan kaki membangun peradaban

Tak perlu saya sampaikan datanya (selain saya juga malas mencari dan mencantumkannya di sini, hehe), tapi kita semua mestinya sudah paham bahwa orang Indonesia adalah salah satu bangsa yang paling malas jalan kaki.

Bagaimanapun, inilah faktanya. No debat. Tanyakan saja pada diri sendiri, saya yakin banyak di antara kita yang untuk membeli Indomie di warung yang jaraknya hanya beberapa lemparan kolor saja mesti menggunakan sepeda motor alih-alih jalan kaki. Hayo, ngaku! Hehehe.

Kemudahan mendapatkan kendaraan bermotor tak bisa dimungkiri berkontribusi besar terhadap kemalasan orang Indonesia berjalan kaki. Kendaraan bermotor agaknya menjadi salah satu pendukung utama gaya hidup yang semakin serba instan belakangan ini. Pokoknya tinggal putar kunci (eh, bahkan sekarang kunci tak lagi perlu diputar) dan tancap gas, semuanya bisa dilakukan dengan cepat.

Struktur sosial dan ekonomi telah mendikte kita untuk melihat bahwa kepemilikan kendaraan bermotor adalah jaminan atas kemapanan dan keberadaban. Mungkin memang betul demikian adanya, tapi kita perlu melihat bahwa banyak di antara negara-negara maju peradabannya ditopang oleh tradisi berjalan kaki yang mendarah-daging.

Jepang dan Singapura, misalnya. Walaupun Jepang adalah raksasa otomotif Asia, tapi sarana transportasi umumnya ditata dan dimanfaatkan dengan sangat baik. Majunya transportasi umum, tidak bisa tidak, sangat bergantung pada aktivitas berjalan kaki. Hingga saat ini, pemandangan yang menunjukkan padatnya manusia berlalu-lalang di simpangan Shibuya adalah gambaran paling populer tentang tradisi kuat berjalan kaki di sana.

Singapura, negara mini tetangga kita itu, juga telah maju jauh meninggalkan kita dalam perkara kemapanan transportasi umum. Itu pun sama, warganya “dipaksa” berjalan kaki, yang tentunya telah difasilitasi dengan sarana yang sangat memadai.

Jadi, jika Anda suka mengeluhkan jalanan yang macet, kualitas udara yang buruk karena penggunaan bahan bakar fosil, maka solusi dari berbagai permasalahan tersebut bukanlah mobil listrik (yang notabene menyasar konsumen kendaraan pribadi), melainkan transportasi umum massal. Dan tidak ada sarana transportasi umum yang maju tanpa ditopang kerelaan penggunanya untuk berjalan kaki.

Jalan kaki sebagai pengalaman yang membebaskan

Memang, jalan kaki bukan cara yang paling nyaman untuk bepergian. Jalan kaki bahkan identik dengan rasa lelah dan panasnya jalanan. Setiap perjalanan yang ditempuh dengan berjalan selalu terasa seperti perjalanan satu arah. Misalnya, ketika sudah berjalan kaki jauh dan ada barang yang tertinggal, kita akan berpikir ulang untuk balik arah dan mengambil barang tersebut. Apalagi jika sedang berjalan kaki menuju kantor dan jam masuk sudah semakin mepet.

Tapi justru di situlah kita menemukan hikmahnya. Ketika berjalan kaki, situasi seperti itu hanya menyisakan dua pilihan: Lebih disiplin dan teliti dalam mempersiapkan kegiatan (sehingga tak ada yang terlewat/tertinggal) atau berserah diri sama sekali atas segala kemungkinan dan ketidakpastian.

“Berserah diri” inilah yang justru menjadi elemen utama ketika kita berjalan kaki. Ketika kemungkinan untuk putar balik semakin kecil dan kecepatan hanya ditentukan oleh kedua kaki kita, maka tidak banyak yang bisa dilakukan selain berserah diri.

Keberserahan diri saat berjalan kaki juga melatih diri kita untuk membebaskan diri dari kecemasan. Berjalan kaki menantang kita untuk belajar bahwa hal-hal yang sering membuat kita cemas ternyata tidak sepenting itu, dan kehidupan tetap berlanjut tanpanya.

Yang menakjubkan, dalam hal jalan kaki, keberserahan diri bukanlah sesuatu yang pasif. Kita justru terbebas dari sesaknya kungkungan kemacetan, atau berjejalannya manusia dalam kendaraan umum, karena sebenarnya kita selalu bisa menemukan sendiri ruang bagi kedua kaki ini untuk melangkah. Dengan terus melangkah, sedikit demi sedikit kita mengikis kebergantungan kita terhadap mesin-mesin dan manusia lain ketika melaju ke tempat tujuan.

Jalan kaki sebagai sarana olah pikir dan meditasi

Orang sering menganggap bahwa jalan kaki hanyalah aktivitas fisik yang pointless nan menjemukan. Padahal, ketika kita sedang berada dalam situasi buntu, membutuhkan inspirasi dan percikan kreativitas, berjalan kaki bisa sangat membantu.

Jalan kaki—apalagi dengan jarak yang jauh—bisa menstimulasi pikiran kita. Tubuh yang bergerak konstan agaknya memberikan kesempatan bagi otak kita untuk turut aktif, sehingga ide-ide baru akan mudah berseliweran. Frederic Gros dalam The Philosophy of Walking mencatat bahwa banyak di antara para pemikir adalah pejalan kaki yang tangguh, di antaranya adalah Frederich Nietszche dan Jean-Jacques Rousseau. Ide-ide yang membuat mereka terkenal banyak didapatkan saat berjalan kaki, lho.

Ide bisa datang kapan saja saat kita berjalan: ketika sedang perjalanan ke kantor, berwisata, atau bahkan tanpa tujuan spesifik. Meski tanpa alasan dan tujuan yang pasti—sekadar untuk merasakan panas matahari dan melihat dunia luar, misalnya—berjalan kaki bisa bisa membantu kita meringankan beban dalam pikiran kita. Di sinilah berjalan kaki bisa memberikan pengalaman meditatif.

Kurang tepat jika kita berpikir bahwa meditasi adalah proses mengosongkan pikiran. Meditasi, setidaknya dalam pemahaman saya, adalah upaya untuk membuat pikiran lebih rileks, sehingga kita punya cukup ketenangan untuk melihat realitas yang berbeda dari yang kita ketahui sebelumnya, termasuk bagaimana kita menghayati eksistensi diri sendiri. Berjalan kaki memang aktivitas yang sangat sederhana, tapi bisa memberi kita momentum untuk menggali dan menemukan diri kita sendiri.

Dengan berjalan kaki, kita juga bisa menyaksikan realitas yang pasti terlewatkan jika kita melaju kencang dengan kendaraan bermotor. Mata pedagang asongan yang was-was ketika mobil Satpol PP melintas, obrolan anak-anak penjual tisu, hingga solidaritas antar pejalan kaki, adalah sedikit hal yang mungkin bisa kita saksikan di jalanan. Berjalan kaki memberi kita waktu untuk merasakan dan merenungi apa yang sedang terjadi di sekeliling kita, sekaligus memberikan asupan bergizi bagi mental dan pikiran kita.

***

Itulah sedikit hal yang bisa saya bagikan mengenai kebiasaan berjalan kaki, semoga bisa cukup menggoda teman-teman sekalian untuk mulai melakukannya. Cobalah sesekali berjalan kaki agak jauh, karena banyak hal menarik lain yang akan menanti. 

“Ah, tapi kan sarana pejalan kaki di kota saya masih buruk, tak aman, mana panas pula,” begitu mungkin kata seseorang setelah membaca tulisan ini. 

Ah, itu mah banyak alasan saja.

Bhagaskoro Pradipto, editor Ghibahin.id dan pejalan kaki musiman.

[red/yes]

One thought on “Bukan Mobil Listrik, Kita Hanya Butuh Jalan Kaki

  1. Saya salfok dengan atribusinya Mas: Pejalan Kaki Musiman. Hehehehe…
    Btw, tulisannya keren banget dong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *