Biarkan Jadi Urusan Tuhan

“Ketidaksesuaian harapan dengan realita bisa terjadi karena kita salah perhitungan dalam mengambil tindakan.”

Saat menuliskan ini, eh, mengetik ding, saya sedang menemani si sulung sarapan. Tadinya, dia hendak berangkat kuliah awal sekali karena ada jadwal kuis jam 7 pagi ini. Kebetulan lokasi kampusnya berada di pusat kota Semarang. Meskipun tidak jauh, tetap saja memerlukan waktu lebih dari satu setengah jam untuk sampai di kampus. Jadi, selepas subuh dia telah bersiap untuk berangkat.

 Beberapa saat sebelum berangkat, ada pesan masuk di grup kelasnya, menginformasikan bahwa kuis ditunda. Haha, ya sudahlah, letakkan kembali ransel dan pantat di kursi, lanjut selonjoran lagi. Untung saja sempat membuka gawai, jadi tidak terlanjur otewe. Maka, sarapan bersama kami semakin gayeng dengan lanjutan acara menikmati kopi dan cemilan. Lha dalah, dasar doyan makan.

Sebenarnya, ada perasaan agak jengkel dengan pemberitahuan yang mendadak tersebut, tetapi kita toh tidak bisa memprotesnya juga. Dosen yang mengampu mata kuliah tersebut memiliki kewenangan untuk mengubah jadwal.

“Untung belum berangkat ya, Mah,” katanya. Haha, setuju, Kakak. Diambil hikmah dan keuntungannya aja, balik kampus dengan perjalanan yang santai dan tidak kemrungsung. Hitung-hitung menikmati perjalanan Kudus–Semarang sambil jalan-jalan pagi dengan rute agak jauhan. Gitu aja kok repot.

Bagaimana jika tadi telanjur berangkat? Apa kemudian harus marah-marah dan memprotes keadaan? Apa dengan protes kemudian dosen tersebut akan menganulir keputusannya?

Manusia yang Merencanakan, Tuhan yang Menentukan

Ada banyak hal dalam hidup yang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Bukan melenceng dari rencana, tetapi memang kenyataannya banyak hal yang terjadi sering tidak sesuai dengan harapan yang telah tercetak di kepala kita. Tak ada yang pernah tahu skenario apa yang telah ditulis untuk kita lakoni hari ini. 

Ketidaksesuaian harapan dengan realita bisa terjadi karena kita salah perhitungan dalam mengambil tindakan. Jika memang penyebabnya adalah karena kita yang salah perhitungan, yang perlu kita lakukan adalah memperbaiki, mempelajari, mengingatnya, dan memasukkannya sebagai daftar pembelajaraan agar tak terulang lagi di kemudian hari.

Seperti halnya ketika saya mengalami patah kaki. Waktu itu, saya mengalami kecelakaan sehingga tulang kaki saya harus dipasang pen. Pada saat penyambungan tulang belum sempurna sepenuhnya, saya memutuskan untuk tetap mengajar. Saya berpikir bahwa yang sedikit mengganggu aktivitas hanya kaki kiri, sedangkan alat gerak yang lain masih sempurna. Saya masih bisa mengajar sambil duduk atau berdiri dengan bantuan kruk. 

Satu hal yang tidak saya perhitungkan dengan cermat adalah gerak anak-anak didik saya. Anak-anak selalu aktif bergerak dan seringkali tak terduga arahnya, dan ketika sedang bercanda, mereka tanpa sengaja menyenggol kaki kiri saya. Akhir peristiwanya sangat mudah ditebak. Kaki saya patah untuk kedua kalinya.

Padahal, jika saat itu saya lebih melindungi kaki saya dari pergerakan anak-anak, mungkin hal ini tidak perlu terjadi. Ternyata, kurangnya perhitungan bisa berakibat fatal bagi saya.

Belajar dari pengalaman tersebut, prinsip perhitungan cermat dan kehati-hatian selalu mengiringi setiap saya mengambil keputusan dan tindakan. Mungkin, memang ada kemalangan yang tidak bisa ditolak. Namun, dengan berikhtiar setidaknya bisa meminimalisir risiko buruk akibat kecerobohan kita sendiri.

Selain itu, ketidaksesuaian harapan dengan realita juga bisa terjadi karena takdir. Tuhan memiliki cerita dan keinginan sendiri dalam hidup kita. Jika sudah berhubungan dengan urusan Tuhan, tak ada yang bisa kita lakukan. Menerima kenyataan yang disajikan-Nya dengan legowo akan membuat langkah kita terasa lebih ringan untuk melanjutkan episode hidup selanjutnya.

Satu cerita lagi, dari seorang teman. Saat awal kepindahannya ke Kudus, banyak sekali hal yang nyaris membuatnya frustrasi. Ia lahir dan tumbuh di Solo. Sampai akhirnya kedua orang tuanya meninggal, dan dia terpaksa harus ikut kakak tertuanya untuk tinggal dan kemudian menetap di Kudus.

Banyak sekali perbedaan yang harus dia jalani. Sebagai seorang anak yang sedang memasuki usia remaja, harus berpisah dengan lingkungan sekolah dan teman-teman yang telah membuatnya nyaman, dan tiba-tiba harus berhadapan dengan lingkungan dan orang-orang yang sama sekali baru, tentu membuatnya limbung dalam menempatkan diri. Dia bingung, canggung, dan seringkali gagap berekspresi.

Karena keadaan yang serba baru itu, dia jadi sering menghilang dari peredaran. Sebentar dia ada di Kudus, sebentar di Solo, datang dan pergi sesuka hatinya (hehe, udah kayak jelangkung, ya). 

Saat itu, ia merasa bahwa protes juga tak ada gunanya, karena memang keadaan yang memaksanya berada dalam situasi tersebut. Jika dia memaksa untuk tetap tinggal di Solo, siapa yang akan mengurus dirinya? Bagaimana dengan kelanjutan sekolahnya? Bagaimana dengan masa depannya? 

Akhirnya, dia menyadari bahwa tak ada gunanya melawan dan meratapi keadaan. Pilihan terbaik yang bisa diambil ya memang harus mengikuti kakaknya, yang notabene sudah bekerja dan memiliki hak serta kewajiban mengurus adiknya. Yang bisa dia lakukan adalah menerima kepindahan ke Kudus dan semua keadaan barunya. Dia harus belajar beradaptasi dengan lingkungan baru, dan berusaha menemukan lingkar pergaulan baru yang pas baginya. 

Lambat laun, dia akhirnya terbiasa dengan semua kebaruan itu. Bahkan, teman saya ini sekarang telah menikah dengan gadis lokal, memiliki anak-anak yang manis, dan memiliki rumah yang nyaman di Kudus. Katanya, jika sekarang diminta untuk memilih, menetap di Solo atau Kudus, dia memilih untuk tetap di Kudus.

Memang, awalnya terasa sakit saat Tuhan memaksanya untuk keluar dari Solo. Namun, dia kemudian menyadari bahwa cerita yang sudah dipersiapkan untuk dirinya di Kudus ternyata jauh lebih indah. Meskipun, dia baru menyadarinya setelah berpuluh tahun menghabiskan hidup di Kudus.

Jadi, semua kembali pada konsep bahwa hidup itu pilihan. Baik atau buruk, enak atau nggak enak, setiap proses hidup harus kita jalani, dan hanya kita yang bisa menyiasatinya.

Sebenarnya, di dalam hati, kita memahami bahwa ada hal-hal yang terjadi di luar jangkauan kita. Ada hal-hal yang memang merupakan urusan Tuhan, yang sangat jelas tak mungkin bisa kita ubah. Kadang kita hanya perlu merelakan hal-hal tertentu sebagai urusan Tuhan, sehingga kita bisa menjalani episode-episode hidup selanjutnya dengan damai.

Sepertinya sangat cocok jika tulisan ini saya tutup dengan dengan sebuah kalimat motivasi, yang entah siapa pencetusnya: Bahagia sewajarnya sedih seperlunya. Have a great day.

Dinul Qoyimah, ibu rumah tangga, pemilik bimbel. Tinggal di Kudus.

[red/bp]

One thought on “Biarkan Jadi Urusan Tuhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *