Bersilaturahmi dengan Makam

Esai

“Ada sensasi yang tidak bisa saya rasakan jika hanya berdoa dari rumah. Mungkin, perasaan dan kenangan atas mereka yang telah meninggal lebih terasa ketika berdoa langsung di makam.”

“Nyekar”. Begitu orang tua dan mbah-mbah saya menyebut kegiatan berkunjung ke makam-makam saudara yang sudah meninggal untuk mengucapkan doa sekaligus menabur bunga.

Biasanya, kami melakukannya dua kali. Satu kali sebelum masuk bulan puasa. Kali kedua sebelum lebaran. Bunga-bunga yang ditaburkan pun tidak ada syarat tertentu. Tidak harus ada tujuh rupa, tidak harus ada jenis bunga tertentu. Pun tak harus dicampur dengan minyak wangi khusus. 

Paling-paling, kami menyertakan bunga kenanga. Karena tampak pantas saja bunga tersebut ada di atas pusara, pun baunya juga cocok untuk menemani momen berdoa. 

Dulu, ketika masih kanak-kanak dan baru diperkenalkan dengan konsep syirik (dosa menyekutukan Tuhan), sesekali saya berpikir bahwa nyekar mungkin beririsan dengan kategori pelanggaran tersebut. Pun waktu itu, saya tidak paham dengan doa-doa yang diucapkan bapak ibu saya ketika berkomat-kamit di dekat makam berlanjut menabur bunga. 

Bertambah umur, saya mengerti kalau yang diucapkan bapak ibu saya itu adalah doa seadanya, dihaturkan sebisa mereka. Paling-paling Al-Fatihah, diikuti surat-surat pendek. Sesekali kalau betulan niat, ibu saya membawa buku Yasin.

Tidak ada rapalan doa, atau ajian khusus untuk meminta-minta kepada leluhur. Semua murni mendoakan mereka supaya mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. 

Lain hal, saya juga pernah mendengar pendapat bahwa jika memang sama-sama berdoa, lebih baik didoakan dari rumah saja. Alih-alih menolak pendapat tersebut, sesekali saya malah mencobanya. Sebagai perbandingan saja, bagaimana bedanya berdoa di makam dengan berdoa di rumah. 

Ternyata, memang ada yang berbeda. Ada sensasi yang tidak bisa saya rasakan jika hanya berdoa dari rumah. Mungkin, perasaan dan kenangan atas mereka yang telah meninggal lebih terasa ketika berdoa langsung di makam, walaupun saya juga tidak selalu punya pengalaman bertemu langsung dengan mereka di masa lalu. Seperti ketika nyekar ke makam Mbah Buyut saya. 

Seakan masih ada energi beliau-beliau ini yang tersisa, tercecer di makamnya. Ini memberikan kesan yang kuat, apalagi setelah saya mengetahui bagaimana riwayat beliau di masa hidupnya. Misalnya, cerita bahwa kakek saya dulu bersusah payah membesarkan anak-anaknya hanya lewat hasil pertanian. 

Sensasi ini pun lebih terasa ketika sedang berkunjung ke makam para ulama yang punya peran besar di masa lalu. Terlebih setelah saya membaca bagaimana sepak terjang ulama tadi dalam menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.

Di titik ini, saya juga tidak bisa menyalahkan pandangan orang-orang yang tidak familiar dengan budaya nyekar, dan mungkin mereka menganggapnya syirik. Terserah saja. Itu adalah hak setiap insan untuk melakukan penilaian. 

Ada satu hal yang baru akhir-akhir ini saya sadari. Nyatanya, dalam setahun, hanya dua kali kami berkunjung ke pusara keluarga. Dua kali itu saja kami meluangkan waktu secara khusus untuk mengenang mereka, sekaligus membersihkan makam serta menaburkan bunga di atasnya.

Terkadang tampak oleh kami, tulisan nama dan tanggal kematian pada nisan mulai memudar, atau rerumputan yang telah mengakar di mana-mana. Sesekali, kami mengecat kembali tulisan yang pudar itu, dan kadang juga mencabuti rumput yang menutupi makam. 

Sering disebutkan bahwa ada tiga amalan yang tidak terputus, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh. Beberapa kali saya sempat terpikir mengenai definisi saleh di situ.

Mungkin, kesalehan yang dimaksud tidak harus terwujud begitu sempurna, layaknya seorang da’i yang memahami Al-Quran dan Hadist di luar kepala. Bisa jadi, kesalehan yang dimaksud aslinya bermakna sederhana saja: anak yang saleh adalah mereka yang menyempatkan diri berdoa untuk leluhur-leluhurnya. 

Dan dalam rangka menjadi pribadi yang saleh dalam definisi tersebut, doa saya ketika Ramadan menjelang berakhir pada bulan lalu pun bertambah:

“Ya Allah, berikan umur yang cukup padaku dan segenap keluargaku. Supaya kami bisa kembali bersua di pusara keluarga kami tahun depan. Dan ingatkan kami untuk sering-sering mendoakan mereka, selain di dua waktu tersebut.” Amin.

Prima Ardiansah, dokter yang suka menulis.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *