Berkarier Tanpa Predikat “Wanita Karier”: Sebuah Kisah Pinggiran

“Imajinasi tentang wanita karier agaknya selalu tentang wanita dengan pekerjaan mentereng.”

Suatu hari pukul 06.30 pagi, melaju seorang perempuan tua dengan sepeda kumbang dan mengenakan kaus partai, caping, serta celana lusuh. Di tangannya tergenggam blak, seruas bambu sekitar 1,5 meter sebagai patokan menanam padi. Dia melajukan sepedanya dengan gesit melintasi jalanan desa.

Tidak lama, dari belakang muncul sebuah city car. Di dalamnya ada seorang wanita lebih muda berseragam cokelat menyetir mobil. Dia bersiap menyalip. Walaupun dia telah memelankan laju mobil, sepeda tadi tetap saja limbung dan bergerak kian ke tepi. Mungkin, si perempuan tua takut sepeda kumbangnya membuat lecet mobil jika dia kurang menepi dan menghalangi jalan.

Mangga … mlampah, Bu?” teriak si pengendara sepeda saat si pengendara mobil menyapa dengan klakson. Penggunaan bahasa Jawa krama dan panggilan “Bu” menandakan betapa si pengendara mobil dihormati oleh si perempuan bercaping.

Pemandangan itu bagi saya cukup sentimental. Sebab, dahulu sering mengalaminya sendiri. Ibu pergi di pagi hari, hampir bersamaan dengan saya berangkat sekolah, dan hanya menyisakan sarapan serta uang saku untuk anaknya sekolah. Di pagi semacam itu, suara kesibukan atau wejangan dari Ibu akan absen dari rumah. Entah, ada ruang hati yang penuh haru biru jika mengingatnya.

Tidak, Ibu pergi tidak karena ada meeting dadakan sebelum jam kantor. Tidak pula karena Ibu harus berangkat pagi buta demi berdesakan di KRL atau berjibaku melawan macet di dalam mobil berteman siaran radio pagi. Namun, Ibu pergi untuk bekerja di sawah. Entah menanam padi atau ikut bekerja memanen padi di sawah tetangga. 

Dahulu, saya tidak akan pernah mengatakan bahwa Ibu adalah wanita karier. Budaya desa dan keluarga telah mengajarkan saya secara tidak langsung untuk menambahkan kata “mung” (yang artinya “hanya”) saat menyebutkan pekerjaan orang tua. Maka, setiap kali ditanya soal pekerjaan orang tua, jawaban saya adalah jawaban khas anak desa dengan nuansa rendah diri nan begitu kental: “Hanya petani kok ….” 

***

Selama ini, imajinasi tentang wanita karier agaknya selalu tentang wanita dengan pekerjaan mentereng. Agaknya pula, dia berdiri sebagai lawan kata dari wanita tradisional dengan semesta penuh pekerjaan-pekerjaan domestik. Di sisi lain, konteks kebudayaan ala desa sepertinya tidak memiliki konsep soal wanita karier–yang hidupnya sibuk, tertata, dan subyeknya punya pandangan atas hidup nan begitu modern.

Desa akan selalu meletakkan manusia-manusianya, termasuk perempuan, dalam alam nan begitu kompleks sekaligus mungkin dianggap kuno. Saya masih ingat betul bagaimana seorang rekan terasa rendah diri di tengah obrolan rekan sebayanya soal pencapaian hidup dan pekerjaan.

Dia adalah seorang ibu muda dan tinggal bersama suaminya di sebuah desa. Untuk membantu sang suami, dia menjadi reseller berbagai kebutuhan rumah tangga. Sementara rekan-rekan kami lainnya bekerja di start-up atau perusahaan swasta di kota.

Sebagai orang yang dibesarkan di desa, imajinasi saya soal wanita karier banyak terpengaruh hal-hal dari luar desa. Entah itu televisi, bahan bacaan, atau lingkungan pergaulan kala dewasa. Tayangan sinetron yang sering ditonton ibu saya adalah salah satunya.

Di sana, perempuan digambarkan dengan begitu paripurna sekaligus sempurna. Tidak pernah rasanya si perempuan di layar kaca itu pusing memikirkan biaya sekolah anaknya, bangun tidur sudah cantik lalu pergi naik mobil, lengkap dengan supir.

Sementara, Ibu adalah seorang perempuan desa yang bahkan mungkin tidak berani bermimpi menjadi pekerja kantoran. Jika saja ditanya soal pencapaian karier, Ibu mungkin akan menjawabnya dengan pernah bekerja sebagai buruh pabrik keramik di pinggir kali Cisadane, tiga dekade lalu. Atau, pernah meraup untung lumayan tatkala hasil panen dibeli agak mahal oleh tengkulak. Selebihnya, saya pastikan Ibu hanya bisa diam atau garuk-garuk kepala.

Dalam dikotomi karier dan non karier, Ibu dan rekan-rekannya sesama petani desa mungkin tidak akan pernah masuk kriteria sebagai wanita karier. Tetangga-tetangga saya dengan predikat sebagai “pegawai” pun rasanya tetap tidak bisa masuk. Karena, di luar status itu, ada kalanya mereka juga ikut bekerja di sawah atau membantu hajatan tetangga, bahkan hingga harus izin libur dari pekerjaan. Karier mereka hanya merentang sepanjang 8-9 jam per hari, selebihnya mereka tetap saja bagian tidak terpisahkan dari desa.

Saya merasa lebih tidak adil tatkala membayangkan bahwa wanita-wanita tadi tidak berada dalam kelompok wanita karier—yang artinya mereka tidak punya karier. Saya yakin, si ibu tua dengan sepeda dan caping tadi punya karier sendiri.

Dia punya pekerjaan tetap, memiliki jobdesk jelas, mendapatkan penghasilan, dan bekerja dengan standar operasionalnya sendiri. Dalam banyak hal, dia punya banyak persamaan dengan wanita si pengendara mobil tadi.

Jika saja di masa lalu diberi pilihan dan kemungkinan lain, dia mungkin akan memilih menjadi pekerja kantoran seperti wanita si pengendara mobil. Sayangnya, dia hidup dan dibesarkan, mungkin, dalam kondisi serba sederhana di tengah keluarga sederhana. Hingga, dia tidak punya banyak pilihan pekerjaan demi menyambung hidup. Desa akhirnya memberikan pilihan paling bagus baginya: menjadi petani.

Jika merujuk ke KBBI, salah satu definisi karier adalah pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Apakah artinya menjadi petani, tukang bangunan, tukang becak, pedagang asongan, atau buruh ladang tidak memberikan harapan untuk maju?

Dengan segala kesederhanaan dan keterbatasan, para wanita di luar kriteria “wanita karier” tadi sekeras baja menghidupi diri dan keluarganya. Mereka menyekolahkan anak, menyiapkan masa depan si anak, dan menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang umumnya. Mereka juga tetap mampu menjalankan fungsinya sebagai ibu dan istri di rumah. Berbagi peran dengan suami, mengurus pekerjaan domestik, sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi si anak.

Sayangnya, dalam konteks budaya masyarakat, mereka tetap saja harus berada dalam strata bawah kehidupan. Tidak peduli seberapa hebat mereka. Beberapa musababnya adalah, mungkin, mereka tidak bekerja dengan seragam, tidak berjibaku dengan berkas dan kertas, dan ruang kerjanya tidak berlapis plafon serta dilengkapi AC. Atau, jangan-jangan, asumsi dan citra masyarakat memang bias dan tidak pernah adil sejak dalam proses penciptaannya.

Mungkin pula, anggapan itu membuat khalayak terkagum-kagum kala anak seorang petani desa atau tukang becak berhasil menyekolahkan anaknya hingga jenjang sarjana dan menyabet predikat lulusan terbaik. Padahal, apa salahnya semua itu? Citra atas kemiskinan atau citra atas paradigma kuno terhadap orang-orang pinggiran?

***

Dahulu, pada suatu pukul delapan pagi di sebuah sekolah, guru BK saya pernah menyinggung pekerjaan Ibu saat memberikan aneka wejangan atas kenakalan saya. “Kamu tidak kasihan sama ibumu kalau nakal? Ibumu kerja keras buat menyekolahkan kamu, tapi kamu malah nakal,” begitu katanya.

Dahulu, saya hanya bisa diam saja mendengarkan kata-kata itu. Namun setelah dipikir-pikir, tidakkah hampir kebanyakan orang tua juga harus bekerja keras demi menyekolahkan anaknya? Apakah urusan kerja keras hanya milik kaum petani semata?

Saya kini bahkan berpikir lebih aneh lagi. Apakah menjadi seorang anak petani artinya tidak boleh mengalami fase nakal dan pencarian jati diri atas nama rasa kasihan dan kalimat “orang tua sudah bekerja keras demi kamu”, sama tidak bolehnya ketika ada seorang anak tukang cuci menjadi sarjana dan media berbondong-bondong menaruh kagum padanya?

Syaeful Cahyadi, penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

[red/rien]

9 thoughts on “Berkarier Tanpa Predikat “Wanita Karier”: Sebuah Kisah Pinggiran

      1. Tulisan yang menyentil, mengingatkan saya untuk tidak lagi menyematkan kata “hanya” jika ditanya tentang pekerjaan. Saya ibu rumah tangga.

  1. Saya tergelitik dengan paragraf terakhir. Apakah artinya yang boleh nakal hanya anak yang ibunya bekerja di rumah saja atau yang orang tuanya tidak bekerja keras?

    Tulisan yang menarik, Mas.

  2. setiap orang lahir dengan peranannya masing2.. be proud of your job, whatever it is .. semoga jadi novel biar seantero konoha bisa baca tulisan mas nyah .. Amin paling serius ahhhh..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *