Belokan, Fokus, dan Waktu yang Cepat Berlalu 

“Tanpa sadar, kita seringkali tak menghitung bahwa waktu terus berjalan. Menganggap bahwa masih ada cukup masa dengan sedikit berbelok dan menikmati hiruk-pikuk di sekitar.”

Beberapa hari belakangan saya begitu disibukkan dengan cucian baju yang seakan tidak ada habisnya. Berpacu dengan cuaca yang seringkali berganti dengan sangat cepat. Panas terik menyengat tiba-tiba berubah mendung gelap lengkap dengan petir, hujan, angin dan listrik padam. Lengkap sudah, cucian yang belum kering masih menumpuk di tabung mesin cuci, ditambah antrian setrikaan juga sudah menggunung. 

Padahal pekerjaan saya mencuci tak lagi secara manual, semua sudah dikerjakan oleh mesin cuci, tetapi mengapa tumpukan cucian itu seakan tak pernah menyusut. Sepertinya saya kekurangan waktu untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah ini.

Saya jadi teringat proses penulisan skripsi bertahun-tahun yang lalu. Untuk mendapatkan referensi, saya harus menjadi pengunjung tetap perpustakaan kampus, dan rajin bolak-balik toko buku serta warnet. Waktu bimbingan dan revisi yang harus saya jalani dengan mengantri jadwal yang diberikan dosen pembimbing sepertinya mengalir dengan ringan saja. 

Menunggu sambil nongkrong di spot-spot strategis dekat parkiran kampus sambil tebar pesona (semoga pembaca tidak mempercayainya). Meskipun hanya berkendara sepeda motor Yamaha Alfa butut, saya pun enjoy saja wara-wiri ke sana ke mari. Dan semua proses tersebut selesai tepat waktu, tidak terburu-buru.

Tetapi sekarang sudah berbeda. Untuk mendapatkan data dan referensi tulisan atau materi mengajar, saya tak perlu keluar rumah. Google sangat lihai berperan sebagai asisten pribadi dalam pencarian materi, referensi dan data. 

Pengumpulan data dan sampling juga sangat terbantu dengan adanya gawai serta berbagai macam aplikasi media sosial yang memungkinkan kita memasuki kerumunan tanpa harus hadir secara fisik. Pengiriman, perbaikan, dan revisi tulisan juga bisa dikomunikasikan dengan lebih cepat lewat email, Whatsapp ataupun Telegram. Semua sangat praktis. Big thanks untuk kemajuan teknologi. 

Dengan kemajuan dan kecanggihan teknologi, idealnya pekerjaan kita bisa selesai lebih cepat. Tetapi kenyataan yang sering terjadi sungguh berbeda. Mengapa sekarang sulit sekali menyelesaikan sebuah proyek tanpa paksaan? Harus ada deadline dan target yang memaksa saya untuk tetap fokus dan stay tune pada satu titik. Selalu saja merasa kekurangan dan dikejar waktu.

Tanpa kita sadari (eh saya aja ding), banyak hal membelokkan fokus saat bekerja. Saat menunggu mesin cuci menggiling, mbokyao disambi entry data atau racik-racik bumbu untuk masak makan siang, misalnya. Eh, ini malah scrolling video-video di Facebook, TikTok, atau Reels Instagram. Ending-nya sudah bisa ditebak, saat mesin cuci berhenti menggiling, kita belum berhenti scrolling. Hahaha.

Saat berburu referensi dan materi lewat Google, yang selanjutnya di-klik dan dibaca adalah berita-berita viral, yang terpampang dengan judul bercetak tebal di beranda utama Google. Ketika tersadar, waktu terlanjur banyak tersita dan deadline telah diambang mata. Mengerjakan seadanya, dan ending-nya adalah hasil yang ala kadarnya saja. 

Saat mencoba melakukan riset lewat keriuhan di media sosial, ternyata bukan riset yang saya lakukan, tetapi ikutan nimbrung di pembahasan tema yang sedang viral. Meskipun sebenarnya sadar tak ada hal baru (selain jadi tahu ada berita viral) yang kita dapatkan, tetap saja asyik berselancar, ikut komentar sana-sini, bahkan menghabiskan waktu untuk ikut gelut di postingan tertentu. Waktu habis, energi terkuras, niat awal pun kandas. 

Tanpa sadar, kita seringkali tak menghitung bahwa waktu terus berjalan. Menganggap bahwa masih ada cukup masa dengan sedikit berbelok dan menikmati hiruk-pikuk di sekitar. Parahnya, seringkali kita malah jadi terjebak dalam hiruk-pikuk tersebut dan berat untuk melangkah keluar. Saat berhasil keluar, waktu telah sampai pada ujungnya. 

Saya jadi ingat, beberapa waktu lalu saat senja mulai pelan-pelan menggeser posisi sang surya, suami saya tiba-tiba mengajak “naik” untuk healing menikmati udara pegunungan. Tak lupa, kami menyesap nikmatnya kopi Muria dan getuk nyimut, getuk khas lereng Muria. Ah, aroma kopi pekat tanpa gula, berdampingan dengan getuk hangat yang masih fresh dari penggorengan memang sajian yang tepat untuk meredakan penat dan pekatnya isi kepala. Nah kan, jadi buyar ….

Beberapa saat setelah meninggalkan rumah, suami saya bertanya, ambil jalan lurus apa belok? Dengan cepat saya menjawab belok aja. Lurus, berarti kami memilih jalan yang lempeng aja melewati jalanan sepi hanya berteman pohon-pohon di kanan kiri. Sedangkan jika mengambil jalan berbelok, kami akan bertemu dengan beragam view yang berbeda. 

Kami akan bertemu dengan perumahan, perkampungan, kafe, warung lesehan, dan toko-toko yang beragam di pinggir jalan. Eh, jangan lupa, minimarket dan SPBU yang memungkinkan kami berbelok saat kebelet.

Jika jalan lurus yang kami ambil, jarak tempuh memang lebih cepat. Tetapi sepanjang perjalanan kami kemungkinan besar akan datar saja, monoton, tak ada yang bisa kami komentari dan nikmati. Dan sebagai imbalannya, kami akan lebih cepat sampai ke tujuan, menghemat waktu dan bahan bakar, dan memiliki kesempatan untuk menikmati pemandangan tempat tujuan kami lebih lama. 

Saat memilih untuk berbelok, saya sadar bahwa kami akan menghabiskan waktu serta jarak tempuh yang lebih lama. Tetapi akan ada banyak hal yang kami jumpai, yang mungkin memberikan warna atau ide baru yang bisa kami perdebatkan. Mungkin akan ada ibu-ibu berlari mengejar anaknya agar mau dimandiin. Atau bapak-bapak yang berjalan beriringan dengan anak istrinya menuju mushola menyambut maghrib. Tentu semua itu akan jadi pemandangan yang lebih menarik.

Jadi, itulah saya, yang terlalu sering mengambil pilihan jalan berbelok, walaupun dengan risiko banyak godaan. Berharap ada banyak cerita yang bisa saya dapatkan sebagai inspirasi tulisan di setiap belokan yang saya lalui. Sembari berharap agar tetap fokus pada tujuan dan tidak merasa tiba-tiba kehabisan waktu.

Dinul Qoyimah, ibu rumah tangga, pemilik bimbel. Tinggal di Kudus.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *