“Ada pesantren yang memperbolehkan lalaran dengan iringan musik dan nyanyi-nyanyian, ada yang tidak memperbolehkannya dengan alasan tertentu.”
Sebagai lulusan pesantren modern ternyata tidak membuat saya banyak tahu tentang tradisi di pesantren salaf. Hal ini saya ketahui setelah beberapa waktu yang lalu saya berkunjung ke sebuah pesantren salaf tempat teman saya menuntut ilmu. Saya mengalami roaming saat mendengar beberapa kata yang tidak pernah saya dengar sebelumnya. Saya hah-heh, atau diam berpikir sejenak tentang maksud perkataannya.
Akhirnya, teman saya, Ali Muchasan bersedia memberikan keterangan kepada saya mengenai beberapa kosa kata berkaitan dengan tradisi khas pesantren yang hanya digunakan di pesantren salaf. Pria asli Kediri lulusan pesantren salaf di daerah Pare ini pun memberikan detailnya kepada saya.
#1 Ro’an
Kali pertama saya mendengar kata ini, saya mengira kata ini ada hubungannya dengan rok. Namun arti sebenarnya jauh dari apa yang saya pikirkan. Kata ini sering digunakan untuk acara bersih-bersih pondok, gotong royong untuk pengecoran lantai asrama, atau sekedar memindah batu bata. Jika pembaca mendengar kata ini di pesantren, dan sedang bercelana tolong jangan bergegas untuk mencari rok. Bisa gawat!
#2 Ta’zir
Di pesantren modern, untuk menggambarkan proses hukuman, kami menggunakan kata mahkamah (proses penghukuman), dan iqab (hukuman). Hal ini berbeda dengan apa yang saya temukan di pesantren salaf. Di sana, mereka menggunakan kata ta’zir yang berarti hukuman dan ta’ziran untuk menggambarkan proses penghukuman. Jangan heran kalau di pesantren salaf, jika bertemu santri putra gundul atau sibuk bersih-bersih, maka mereka adalah para santri yang kena ta’zir.
#3 Mayoran
Kata ini merupakan salah satu kata yang paling disukai santri. Betapa tidak, mayoran mempunyai arti kurang lebih sama dengan syukuran. Para santri menyebut makan bersama, karena telah mendapatkan nikmat tertentu dengan mayoran. Satu kata yang sering diucapkan dengan teriakan, “Mayoraaan … !” Dan para santri kemudian berkerumun, (bahkan berebut) hidangan di depan mereka.
#4 Gotakan
Jika pembaca mengunjungi sebuah pesantren yang cukup tua, dan pembaca melihat gubuk-gubuk kecil yang terbuat dari kayu seadanya dan ditutup dengan terpal itulah yang biasa disebut dengan gotakan (baca: gotak-an). Namun, seiring dengan perkembangan bangunan pesantren, gotakan tidak saja diartikan sebagai gubuk kecil namun juga kamar santri. Bagaimanapun bentuknya, kamar santri sering disebut dengan gotakan.
#5 Lalaran
Lalaran merupakan tradisi menghafal santri. Entah menghafal bait-bait Alfiah, Imriti, Nuzum (ilmu nahwu), al-Bayquniah (ilmu hadis), Sullam Munawraq (ilmu logika), ‘Aqidatul ‘Awam (teologi), dan lain sebagainya. Singkatnya, kegiatan santri kembali menghafalkan bait-bait itu disebut dengan lalaran.
Dan, sependek pengetahuan saya ada dua golongan pesantren dalam hal lalaran ini. Ada pesantren yang memperbolehkan lalaran dengan iringan musik dan nyanyi-nyanyian, ada yang tidak memperbolehkannya dengan alasan tertentu. Di sini, nyanyi adalah kunci.
#6 Blombang
Blombang merupakan tempat wudu berupa kolam raksasa. Selain tempat wudu, para santri memanfaatkannya sebagai tempat yang cukup komprehensif untuk mencuci pakaian atau merokok di atapnya. Hahaha. Karena penggunaannya secara bersama-sama, tidak jarang blombang ini menjadi kambing hitam atas penyakit kulit menyebar di pesantren. Bagi santri lama, itu merupakan cap sah menjadi seorang santri. By the way, capnya kok lama amat, ya?
#7 Liwetan
Selain mayoran, ini adalah kata lain yang juga disukai para santri. Liwetan merupakan even memasak bersama untuk kemudian makan bersama dalam satu nampan. Di sinilah para santri adu kesaktian bagaimana kekuatan lidah tahan panas mereka diuji. Semakin sakti semakin kenyang mereka. Dalam hal ini, saya selalu kalah. Huft.
“Ada satu kata lagi yang seharusnya saya katakan, tapi sebaiknya tidak usah,” ucap teman saya. “Apa itu?” paksa saya. Dia mendekat dan mengucap sebuah kata dengan pelan. Setelah saya selidiki artinya, saya mengatakan, “Ah … kalau itu sebaiknya memang tidak usah saja. Hahaha.” Ada yang bisa menebak kata apa?
Ahmad Natsir, pernah nyantri
[red/rien]
mantab
Penasaran sama kata di paragraf terakhir