5 Pedoman bagi Hakim, agar Tidak Menjadi Hakim yang Doyan Suap

Esai

Saya adalah seorang hakim, yang saat ini bertugas di Pengadilan Negeri Raha. Konon, hakim adalah wakil Tuhan di dunia. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa hanya sepertiga hakim yang bisa masuk surga, selebihnya dijebloskan ke neraka. Masuk akal, karena tugas hakim adalah sebagai pemberi keputusan. Bahkan, kondisi tertentu juga memungkinan hakim menjatuhkan hukuman mati, yang dampaknya tak bisa dikembalikan. Salah memberikan keputusan bisa berbahaya konsekuensinya.

Dalam perjalanan penanganan perkara, hakim selalu dihadapkan pada godaan-godaan. Salah satu wujudnya bisa berupa tawaran pemberian sejumlah uang maupun barang dari orang yang ingin berbuat curang. Di sinilah seorang hakim menghadapi ujian, pembuktian kekuatan dalam mempertahankan idealisme dan pendiriannya.

Supaya bisa menjadi hakim yang tahan godaan suap, maka perlu memerhatikan lima poin berikut:

#1 Sadari diri sebagai wakil Tuhan

Saat mendengar pernyataan bahwa hakim adalah wakil Tuhan, ada sesuatu yang mengganjal di hati saya. Timbul pertanyaan, hakim seperti apa sih, yang layak disebut sebagai wakil Tuhan di dunia?

Hakim Tinggi Pengawas pada Badan Pengawasan Mahkamah Agung, ketika melakukan pengawasan di Raha beberapa waktu yang lalu, menyatakan bahwa hakim yang mau menerima suap tidak layak disebut sebagai wakil Tuhan, tetapi lebih pantas disebut sebagai wakil setan. Sosok hakim yang dapat disebut sebagai wakil Tuhan adalah mereka yang dengan tegas menolak suap.

Mestinya, jabatan hakim tidak dijadikan sarana untuk menyuburkan suap. Hakim, yang memiliki kewenangan besar, harus mampu memposisikan dirinya sebagai wakil Tuhan yang sebenarnya. Introspeksi dan perubahan diri menuju kebaikan adalah kewajiban bagi semua orang, apalagi bagi seorang hakim.

#2 Jangan pernah memahami bahwa suap adalah rezeki

Godaan selalu menghampiri hakim silih berganti. Misalnya, ketika datang tawaran dari seseorang yang hendak memberi rumah jika perkaranya dimenangkan, atau memberi uang ratusan juta jika terdakwa dibebaskan, dan lain sebagainya. Kasus-kasus seperti ini akan terus dialami semua hakim sampai berakhir masa jabatannya.

Orang yang terbiasa menerima suap biasanya menganggap bahwa suap adalah rezeki. Kita perlu menghindari pemahaman ini, karena sesungguhnya suap justru adalah bencana. Ketika suap telah dianggap sebagai rezeki–bahkan dianggap hal yang biasa–inilah tanda runtuhnya idealisme, kemandirian, kewibawaan, dan supremasi hukum.

#3 Segera tentukan sikap

Suap laksana candu. Sekali menerima suap, penerimanya akan ketagihan. Pelaku, baik pemberi maupun penerimanya, akan selalu berharap untuk bisa terus melakukannya. Suap adalah hal yang bisa dirasakan, tetapi sulit untuk dibuktikan. Praktik suap masih sering terjadi hingga saat ini dan merupakan masalah serius yang harus segera diakhiri.

Pencegahan suap dapat dilakukan dengan menggugah kesadaran pihak-pihak terkait untuk meninggalkan budaya korup ini. Cara yang paling efektif untuk bisa terhindar dari candu suap sesungguhnya bukan pada penjatuhan sanksi, tetapi pada keinginan kuat yang datang dari si hakim sendiri. Tegaskan sikap!

Kapan menentukan sikap untuk menolak suap? Jawabannya adalah saat ini juga! Tak ada untungnya menunda-nunda kebaikan. Menunda-nunda perbuatan baik menandakan kurang teguhnya niat.

#4 Jangan takut dikucilkan

Sejak pertama kali saya menjadi hakim, suap adalah salah satu hal yang saya takuti dan hindari. Pernah suatu saat, terdengar perkataan orang yang mengatakan kepada saya, “Apakah pilihan Bapak (untuk menghindari suap) tidak akan menjadi bumerang bagi Bapak nantinya?” Saat itu saya bertanya-tanya, mengapa pilihan yang benar dianggap bisa menjadi bumerang.

Terpikir dalam benak saya, apakah ini akan menjadi awal mula saya dikucilkan oleh para kolega. Ternyata sampai hari ini pengucilan tidak pernah terjadi, karena lingkungan tempat saya bekerja mendukung prinsip yang saya pilih. Saya merasa bahwa dengan adanya kejelasan sikap, konsistensi, dan rasa saling menghargai, kehidupan akan berjalan dengan normal dan baik-baik saja. Kapan pun dan di mana pun.

Hidup adalah pilihan. Ketika telah menentukan pilihan yang telah kita yakini benar, sudahlah, jangan takut dikucilkan. Masih banyak orang baik di sekitar kita. Percayalah!

#5 Jangan khawatir tidak bisa kaya

Menjadi kaya atau tidak bergantung pada bagaimana cara kita mengatur pendapatan. Mengatur pendapatan membuat kita belajar mensyukuri apa saja yang telah dimiliki selama ini. Dengan demikian, gaji dan kesejahteraan hakim mestinya tidak dijadikan alasan pembenar untuk menghalalkan penerimaan suap.

Menerima suap tidak selalu menjadikan kita kaya raya, tapi yang pasti akan memberikan kita kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran. Gelisah karena sadar telah melakukan kesalahan, takut jika ketahuan, dan khawatir jika terjaring penangkapan.

Kekayaan tidak semata-mata berkaitan dengan materi. Kesehatan, ketenangan, kedamaian hidup, semuanya adalah wujud kekayaan. Apalah artinya jika harta melimpah karena suap, tapi pikirannya selalu tak tenang, serba khawatir, sehingga badan jadi sakit-sakitan sepanjang hidupnya.

Muhammad Sukamto, Hakim Pengadilan Negeri Raha.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *