4 Kegiatan yang Menjadi Healing bagi Para Santri

“Jadi, ya, ujian adalah healing bagi santri. Mereka bisa leluasa belajar di mana saja, di atas pohon, di rooftop, hingga yang paling ekstrim menyembunyikan diri dalam mimbar, ketiduran, dan dibangunkan oleh suara imam shalat.”

“Dulu saya sangat menyukai Pramuka. Di sana kita bisa rame-rame teriak bahkan bikin kegaduhan bareng-bareng.” Begitu kata kyai saya saat mengenang kehidupannya di pesantren puluhan tahun yang lalu. Nada beliau begitu merindukan suasana dengan teman-temannya. Keadaan yang bisa saya bayangkan sangat menyenangkan. Tidak ubahnya dengan saya, kehidupan pesantren memang sudah berlalu puluhan tahun yang lalu, tapi tetap saja kenangan itu masih begitu kuat menempel di pikiran saya.

Bicara tentang kegiatan yang menjadi tempat pelarian para santri sebenarnya cukup terbatas. Ini dikarenakan para santri hanya berkutat di asrama saja, ya sudah berputar-putar dengan orang, bangunan, dan suasana yang itu-itu saja. 

Tapi tenang, ada beberapa kegiatan selain ekstrakurikuler yang sangat dinantikan para santri. Berikut saya rangkum setidaknya empat kegiatan yang bisa menjadi healing para santri.

Bersih-bersih

Sengaja saya tidak memakai istilah ro’an (gotong royong) di sini karena maknanya terlalu luas dan melebar. Kegiatan bersih bersama ini saya rasakan sangat menyenangkan. Lha bayangkan saja, kita bisa main prosotan di masjid, gaduh saat mendapat giliran membersihkan kamar mandi. 

Titik puncaknya bisa sesekali bertemu dengan santri putri saat sama-sama membuang sampah. Malu sih, tapi kok seneng banget gitu rasanya. Kapan lagi coba bisa melihat santri putri dengan mode default-nya. Hahaha.

Ngecor Lantai

Di tengah kegiatan yang begitu padat, kegiatan ngecor atau ngedak bisa menjadi solusi healing yang sempurna. Masa-masa ngedak adalah masa libur kegiatan madrasah. Kegiatan dimulai dengan bunyi diesel molen yang menggema. Diiringi teriakan, “Yo, yo, yo, 5 ember lagi!” Padahal baru mulai. Masa seperti itu tidak ada lagi peraturan yang ribet tentang baju yang harus masuk celana, atau menggunakan bahasa Arab atau Inggris yang ribet itu.

Semua menyatu, baik santri, ustaz, hingga warga sekitar bahu membahu mengoper ember penuh adonan cor. Bahkan kami mendapatkan privilege untuk tidak ikut shalat jamaah dan membuat jamaah sendiri di kamar. Maka nikmat ngecor mana lagi yang saya dustakan. Hahaha.

Kapan lagi bisa seperti itu. Sambil bergumam dalam hati, “Akulah pahlawan pembangunan lantai ini!” 

Dan yang paling ditunggu saat itu adalah, sate kambing! Para pimpinan biasanya sudah menyiapkan menu istimewa. Rasa lapar berpadu dengan, lelah, dan tentu saja ditambah menu perbaikan gizi ini menjadikan suasana saat itu betul-betul speechless.

Menjadi Panitia Imtihan

Saat itu tahun 2007, panitia perpisahan (imtihan) begitu gelisah. Bagaimana tidak? Acara yang dimulai pukul tujuh pagi, namun panggung yang dipesan belum juga datang padahal jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Akhirnya panggung datang pukul tiga pagi. Alhasil panitia ngebut sengebutnya untuk menuntaskan tugas memasang background dan tetek bengeknya.

Saya tidak mampu membayangkan suasana saat itu. Tapi jelas, tidak ada yang sedih saat itu. Semua panitia bahagia melaksanakan tugasnya. Ada yang sebagai dekorasi, protokoler, hingga bagian konsumsi. Meskipun akhirnya “Sang Dewa Kantuk” menagih hutangnya, dan mereka membayarnya kontan pasca acara selesai. 

Menghadapi Ujian Pondok

Hmmmm … oke. Sepertinya ini tampak tidak masuk akal. Tapi tunggu dulu, bagi santri, libur sekolah adalah yang menyenangkan sekalipun harus berhadapan dengan ujian. Pokok prei, Lurs. 

Jadi, ya, ujian adalah healing bagi santri. Mereka bisa leluasa belajar di mana saja, di atas pohon, di rooftop, hingga yang paling ekstrim menyembunyikan diri dalam mimbar, ketiduran, dan dibangunkan oleh suara imam shalat. Matih. Para santri saat itu dalam suasana bercinta dengan kitab, buku dan terlihat sangat mesra dan romantis. Sesekali mereka lelah kemudian tidur memeluk buku menjadi pemandangan aestetis.

“Kok bisa jadi healing begitu?”

Nah, iya. Bukankah firman Allah jika kita selesai satu pekerjaan, kerjakanlah pekerjaan yang lain? Ehm, saya jadi merasa sangat beriman hari ini. Hehehe. [red/rien]

Ahmad Natsir, inginnya mengaku santri tapi sungkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *