Tak Sekuat Karang

“Betapa bodohnya aku selama ini, sampai tak terpikir setitik pun akan ada kejadian seperti ini. Aku selalu berprasangka baik padanya dan bahkan terlalu baik.”

Jam di dinding rumah sakit menunjukkan angka dua belas kurang lima menit. Hujan deras baru saja reda, menyisakan rintik-rintik disertai angin yang cukup menggigit tulang. Beberapa perawat jaga masih lalu lalang di koridor malam itu. Sebagian dari keluarga pasien yang menunggu dan masih terjaga, duduk-duduk di sebuah ruangan khusus penunggu, seperti aku.

Suasana tampak sunyi karena hampir semua penunggu diam tak ada yang bicara sepatah pun. Semua larut dalam pikiran masing-masing. Cahaya lampu yang berada di setiap sudut bangunan tak mengurangi kesan sepi rumah sakit tersebut. Nyaris seperti kuburan. Hanya sesekali terdengar tok tok dari sepatu perawat yang kebetulan lewat.

Malam kedua di rumah sakit tak sedetik pun aku mampu memejamkan mata sejak Mas Priyo, suamiku, masuk di ruang ICU dan belum siuman. Dia terjatuh dari kasur lalu pingsan di kamar tidur persis ketika azan Subuh berkumandang. Dengan riwayat hipertensi dan obesitas, ada banyak kemungkinan penyebab dia pingsan.

Sore tadi aku sempat diizinkan oleh perawat untuk masuk ke ruangan di mana Mas Priyo terbaring. Dia masih diam meski napasnya lancar dan ada sedikit dengkuran. Wajahnya pasi, wajah yang pernah kukagumi karena ada keteduhan di sana. Dulu.

Perawat memberiku waktu hanya beberapa saat. Menit demi menit tak mampu meredakan gejolak amarahku yang datang dan pergi setiap kutatap wajahnya. Hati kecilku ragu dan berbisik mengandung tanya, haruskah semua ini kusudahi dengan tanganku sendiri dan dengan caraku sendiri? Agar sakit di dadaku terbalaskan? 

Sore itu banyak pertanyaan yang menjejali pikiranku. Mungkinkah ada yang tidak dia temukan di diriku sehingga dengan mudahnya ia menduakanku? Andaikan ada kekuranganku, mengapa semudah itu dia ambil jalan pintas tanpa kompromi? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang hanya menambah kekalutanku.

“Kamu dan anakmu tidak akan kelaparan jika dia mati. Dia sudah tak menghargai ketulusan cinta dan kasihmu bahkan tega menorehkan belati hingga hatimu teriris perih. Biar dia merasakan seperti yang kau rasa.” Bisikan itu datang lagi beberapa detik sebelum perawat mengingatkanku untuk keluar ruangan, karena waktu yang diberikan padaku telah habis. 

Pernikahanku dengan Mas Priyo sudah berlangsung lima belas tahun. Dua putri cantik hadir sebagai cahaya mata dan penyejuk hati dalam keluargaku. Sebagai pegawai pemerintah, kami berdua merasa cukup secara finansial karena hidup di kampung. Tibalah pada suatu saat di mana semuanya menjadi berubah.

“Saya hanya menjalankan tugas, Bu. Ini rinciannya,” kata pegawai sebuah koperasi sambil menyerahkan secarik kertas ketika Mas Priyo tak di rumah. Aku benar-benar kaget mengapa ada nama dan tanda tanganku di situ padahal aku tidak pernah melakukan transaksi apapun.

Dadaku bergemuruh dan kepalaku serasa mendidih. Benarkah ini ulah Mas Priyo? Betapa bodohnya aku selama ini, sampai tak terpikir setitik pun akan ada kejadian seperti ini. Aku selalu berprasangka baik padanya dan bahkan terlalu baik.

Sejak pegawai koperasi simpan pinjam itu datang, hubungan kami menjadi dingin. Disusul kemudian datangnya pegawai koperasi-koperasi sejenis yang hampir seminggu sekali datang. Pertengkaran pun tak terelakkan.

“Mas, tolong jelaskan. Untuk kebutuhan kita sehari-hari, aku yakin cukup. Mengapa Mas ambil pinjaman di mana-mana, untuk apa, sih?” tanyaku pelan karena aku sudah tidak tahan dan aku harus tahu kemana semua pinjaman itu dibelanjakan.

“Ah, sudahlah, kamu tak usah tahu dan tak perlu tahu,” jawab dia egois.

Yo, harus tahu to, Mas, aku ‘kan istrimu?” Kunaikkan setengah nada volume suaraku yang sudah serak menahan gejolak di dada.

Dia tak mampu menjawab lalu keluar rumah hingga larut malam baru pulang. Selalu begitu dan para penagih masih terus berdatangan yang membuat tidurku tak nyenyak, makan pun tak enak.

Aku tidak tinggal diam. Berbagai cara telah kucoba untuk menguak misteri larinya uang pinjaman. Namun belum ada titik terang. Kalau saja dia mau terbuka, mungkin aku bisa menerima apa pun alasannya dan kemelut rumah tangga bisa diselesaikan bersama-sama. 

Sebagai istri yang juga bekerja dan tak bergantung sepenuhnya pada suami, aku mampu memenuhi kebutuhanku sendiri juga kebutuhan anak-anakku. Aku tak pernah meminta lebih dari kemampuannya dalam memberiku uang belanja. Namun menghadapi sikapnya yang menurutku mau menang sendiri, menjadikan rasa hormatku padanya berkurang.

Semakin hari, ada saja ulah Mas Priyo yang terlihat ganjil di mataku. Dari yang tiba-tiba membolos kerja hingga kadang tak pulang semalaman. 

Aku sudah berusaha untuk menerima ujian ini dan memaafkan demi keutuhan keluarga. Kubuat semanis mungkin setiap dia di rumah dan sekuat hati kujaga jangan sampai anak-anak tahu apa yang tengah terjadi dengan kami, orang tuanya.

Tak ada itikad baik dari Mas Priyo membuat kesabaranku nyaris habis. Bagai sayur kurang garam, hubunganku dengan Mas Priyo makin hari makin hambar. Bila suatu saat dia meminta haknya padaku, aku pun menunaikannya dengan setengah hati. Tanpa rasa, kecuali hanya menjalankan kewajiban. 

Kendati hambar aku bersyukur hubungan Mas Priyo dengan anak-anak masih manis dan seolah tak terjadi apa-apa. Hal ini yang membuat hatiku sedikit lega. Anak-anak masih merasa aman dan nyaman meski di dalam rumah ada perang dingin yang memang seharusnya tak perlu mereka rasa.

Rasa lega di hatiku ternyata tak berlangsung lama dan terpaksa lenyap ketika suatu sore ada tamu. Seseorang yang tak kukenal tapi tampak akrab dengan suamiku.

“Sudah dua hari materialnya habis, Pak, kami jadi menganggur,” kata orang tersebut sambil berusaha duduk senyaman mungkin.

Secepat kilat aku mendekati Mas Priyo dan kulihat mukanya menyiratkan ada sesuatu yang ia sembunyikan.

“Maaf, material apa, Pak?” Tanyaku spontan kepada tamu yang cukup membuat Mas Priyo terkejut. Dia terlihat mau mengucapkan sesuatu tapi kalah cepat dengan pertanyaanku kepada tamu tersebut. 

“Semen dan pasirnya habis, Bu. Em, maaf saya harus pamit dulu, masih ada urusan,” ujar tamu tersebut dengan sedikit terburu-buru lalu mohon diri. Jantungku berdegup kencang, tega nian Mas Priyo bermain api di belakangku. 

Aku sudah tak mampu menguasai diri sendiri saat itu. Marah dan sakit hati atas perbuatannya sudah sampai di ubun-ubun. Mataku berkunang-kunang dan pandanganku berputar-putar ketika Mas Priyo berterus terang sedang membangun rumah untuk istri barunya, sahabatku, yang ia nikahi di bawah tangan.

Mas Priyo telah mengkhianati aku. Bak petir menyambar di siang bolong, dunia seakan runtuh dan bumi yang kupijak seolah longsor. Aku tenggelam, sulit bernapas dan aku makin tenggelam. Sesak dan gelap. 

Ketika badanku terasa sedikit hangat oleh balsem dan selimut, kucoba membuka mataku walau masih terasa berat. Kudapati diriku terkulai lemas di kamar putriku dan air mataku pun menganak sungai tanpa mampu kucegah.

Sejak hari itu, di rumah seakan ada api yang menyala-nyala. Panas. Apalagi bila melihat wajah Mas Priyo, rasa cinta yang pernah ada kini berubah menjadi benci yang tak terkira dan aku merasa api itu berasal dari sana.

Sempat juga terpikir olehku ingin berpisah saja daripada tersiksa batin dan raga. Namun kepolosan sorot mata anak-anakku membuatku gamang. Mereka sedang tumbuh dan masih butuh pendampingan orang tua.

Kami sudah tidak seranjang lagi. Setiap melihat Mas Priyo tidur nyenyak, hasrat untuk melenyapkan dia dari muka bumi begitu kuat kurasakan. Saking kuatnya keinginan tersebut, sering membuatku tak bisa tidur walau semenit. Yang ada hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa melampiaskan sakit ini dengan cara mengakhiri hidupnya.

“Keluarga Pak Priyo ….” Perawat jaga memanggil. 

“Ya, saya,” jawabku kaget sembari berdiri dari lantai yang seharian kududuki bersama para penunggu lain.

Tiba-tiba detak jantungku tak beraturan. Ada rasa yang tak mampu kuutarakan dengan kata-kata. Mulutku terkunci, tapi bisikan itu kembali datang. “Kau pasti bisa melalui ini dengan kuat dan tegar. Kau akan merasa lega seperti yang kau inginkan.”

Perawat membawaku ke ruangan dokter jaga yang tampak sudah menungguku. Setelah dipersilakan duduk, dokter lalu berkata lirih dan sangat hati-hati kepadaku. Aku masih mampu mendengar dengan jelas, tapi ternyata aku tak sekuat karang. Aku limbung. Aku jatuh.

Wurry Srie, Ibu rumah tangga yang suka menulis.

[red/san]

2 thoughts on “Tak Sekuat Karang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *