Si Penjaga Rasa

Orang bijak mengatakan, ‘Seseorang akan kelihatan baiknya di matamu kalau kamu sudah kehilangan dia’.

Entah sudah berapa lama aku duduk di kursi kasir ini. Yah, duduk terdiam tidak berkata apapun. Uda Samsul yang dari tadi sibuk di dapur juga sudah selesai memasak dan memasukkan semua masakan ke kotak kaca di bagian depan warung.

“Sepi ya Pak, hari ini.” Uda Samsul memulai pembicaraan. Ada kelesuan di nada suaranya. 

 ”Sabar Uda, ini kan masih pagi, nanti agak siangan dikit, pasti banyak yang makan siang di sini,” jawabku mencoba memberikan semangat pada Uda Samsul. Sebenarnya jawaban itu juga aku tujukan pada diriku sendiri sebagai doa. 

Kupandangi warungku dari ujung kanan sampai ujung kiri. Akhirnya mataku tertuju pada meja kecil di pojokan sisi barat. Di situ hanya terdapat satu kursi saja. Kursi favorit dari mantan pelangganku. Beliau bernama Mbak Parti. 

Saking favoritnya dengan spot tersebut, Mbak Parti rela menunggu tidak mengambil makanan lebih dahulu sampai meja favoritnya kosong. Di kanan meja tersebut terdapat kolam kecil berisi ikan koi. Biasanya Mbak Parti memberi makanan koi-koi tersebut sambil menyantap nasi padang. Bahkan kadang-kadang mengajak ngobrol ikan-ikan tersebut.

Mbak Parti merupakan pelangganku yang paling setia sekaligus menyebalkan. Dia orangnya cerewet lagi judes. Terutama tentang rasa makanan. Selalu saja hasil masakan Uda Samsul dikritisi dengan pedas. Mereka bagaikan musuh bebuyutan. Hubungan mereka seperti layaknya film kartun Tom and Jerry

Aku jadi teringat salah satu perdebatan mereka. “Ini kuah kok encer amat sih Sul Samsul, kamu itu buat gulai padang apa sayur bening, sik kenthel ngono lho!” kata Mbak Parti di belakang kotak kaca, waktu mengambil lauk gulai kikil untuk makan paginya. 

“Iya-iya Mbak Yu Parti, pagi-pagi aja sudah nyanyi, besok tak tambahi parutan kelapanya,” jawab Uda Samsul dengan nada yang agak anyel

“Ya, memang harus gitu Sul kamu kan orang Padang asli, masak harus diajari sama orang Jawa. Aku ki lho biarpun orang Jawa, tapi tahulah standar masakan padang itu seperti apa,” kata mbak Parti sambil mengambil daun ketela rebus dan sambal. Mbak Parti kemudian menuju tempat favoritnya.

Mereka berdua berpapasan, dan kompak memonyongkan mulut sambil saling membuang muka. Persis anak kecil yang sedang ejek-ejekan. Aku tersenyum saja melihat kelakuan mereka berdua.

Pernah suatu saat, ketika aku memberikan es lemon tea ke meja mbak Parti, dia menyampaikan kritikannya terhadap masakan Rendang Uda Samsul. “Mas , tolong bilang tuh sama si Samsul itu, rendangnya alot kayak kulit sandal. Besok lagi masaknya dilamain sedikit. Tampaknya dia masih marah sama aku, pas kemarin tak bilang kuah sayur gori-nya rasanya kayak uyuh jaran.” Mbak Parti menyampikan kritikannya padaku sambil nyengir. 

Sebenarnya Mbak Parti kalau memberikan kritik juga sekaligus memberi masukan kepada Uda Samsul. Hanya kadang-kadang penyampaiannya kasar dan kurang berperasaan. 

“Hmm dasar cerewet tuh Mbak Parti, dasar Jotu, jomblo tua. Kurang belaian kasih sayang, apa-apa aja salah,” ujar Uda Samsul ketika kusampaikan komplain mbak Parti.

 “Huss, mbok gak usah ikut-ikutan kasar Da. Sik waras ngalah,” jawabku. “Masukkannya itu baik lho, tinggal masak rendangnya aja yang agak dilamain sedikit, kan beres.” Aku mencoba meyakinkan Uda Samsul untuk menerima masukkan mbak Parti.

Suatu hari kami mendengar kabar yang kategorinya entah baik atau buruk. Ada berita bahwa Mbak Parti dilamar orang Jakarta dan akan diboyong ke sana. Ternyata berita itu benar adanya. Dua bulan lalu mbak Parti datang ke warung, memperkenalkan seseorang bernama Tarno, sebagai calon suaminya. 

Beliau juga sekalian pamit, tidak bisa lagi makan di tempat kami. Tak lupa Mbak Parti pamit kepada Uda Samsul. Tapi dasarnya Mbak Parti pamitnya meninggalkan pesan, yang membuat Uda Samsul dongkol.

     “Hei Sul Samsul ingat, yang dari Padang itu kamu bukan aku, jadi kalau masak itu ya yang cita rasanya padang bukan yang lain. Awas loh nanti setelah kutinggal, jangan sampai masakannya jadi peteng, ha-ha-ha.” Sambil nyengir Mbak Parti memberikan pesan terakhirnya kepada Uda Samsul. 

Biasanya Uda Samsul akan membalas perkataan Mbak Parti dengan cacian dengan derajat kekasaran yang sama misalnya saja, ‘Siap wahai mbak-mbak perawan tua’, akan tetapi tampaknya cacian itu tidak relevan lagi. Biarpun dia punya ide lain yang lebih menohok, tapi ada rasa tidak nyaman hati ke calon suami Mbak Parti. 

“Iya mbak, makasih sarannya, semoga jadi keluarga yang samawa ya Mbak Parti.” Akhirnya jawaban basa-basi itu yang keluar dari mulut Uda Samsul.

Dengan kepergian Mbak Parti, pada awalnya membuat Uda Samsul lega. “Wah kayak lega rasanya mas. Bagaikan bisul yang sudah pecah, legaaa,” begitu katanya padaku.

Tapi akhir-akhir ini aku melihat Uda Samsul tampak sedih dan tidak bergairah. “Kangen omelannya Mbak Parti,” jelasnya. 

Orang bijak mengatakan, ‘Seseorang akan kelihatan baiknya di matamu kalau kamu sudah kehilangan dia’. Hal itu terjadi pada kami. Mbak Parti yang dulu cerewet dan bawel sekarang menjadi Mbak Parti yang ngangeni. Perdebatan dan ejek-ejekan antara Uda Samsul dan Mbak Parti, ternyata menjadi pewarna di warung kami.

Aku masih saja duduk di meja kasir dan masih memandangi meja favorit Mbak Parti. Sejak ditinggal beliau, meja tersebut selalu kosong, dan kekosongan tersebut tampaknya menulari meja-meja yang lain satu demi satu. 

Dalam diam tiba-tiba saja air mataku mengalir. Ternyata kehilangan Mbak Parti tidak hanya menghilangkan keceriaan di warung kami, tapi kami juga kehilangan Si Penjaga Rasa masakan warung kami. Tampaknya rasa masakan warung kami mulai berubah jadi peteng.

Mamik Istiyarto. Si bocah tua yang berusaha tidak nakal.

[red/san]

Keterangan:

Spot: titik

Sik kenthel ngono: yang kental begitu

Gori: nangka

Uyuh jaran: air kencing kuda

Sik waras ngalah: yang normal mengalah

Ngangeni: membuat jadi kangenPeteng: gelap lawan kata padang yang berarti terang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *