Senja di Alaska

“Kali ini senja begitu tampak mempesona, semburat jingganya tampak begitu megah bertahta di angkasa.”

Ia bernama lengkap Claytine Adriella, teman-temannya sering memanggilnya Clay. Ia memiliki sahabat terbaik bernama Tinus. Clay masih kuliah di salah satu universitas ternama di Jawa. Sejak liburan semester tahun ini tiba, ia pulang ke rumah orang tuanya. Seperti biasa ia pasti akan meluangkan waktunya untuk menikmati senja di dataran tinggi yang terletak tidak jauh dari rumahnya.

Sore itu, Clay bersiap untuk menuju ke dataran tinggi itu. Ia membawa tas kecil berisi ponsel pintar dan sebotol air minum. Dengan langkah pasti ia bergegas menuju tempat favoritnya itu. Setelah sampai di tempat itu, Clay mencari tempat yang paling nyaman untuk duduk. Angin sepoi mulai menerpa tubuhnya yang kini tengah duduk di bawah pohon akasia. Matanya yang jernih mulai memandang sudut demi sudut yang membentang di hadapannya. 

Sekejab ia mulai teringat dengan Tinus sahabat terbaiknya. Benaknya mulai berandai, seandainya saat ini Tinus ada bersamanya pasti suasananya akan menjadi lebih seru. Sesekali Niel tampak tersenyum-senyum mengingat masa-masa itu, sembari ia memotret beberapa pemandangan yang menarik perhatiannya.

Senja mulai menampakkan keindahannya, suara alam pun mulai tenang. Tiba-tiba ada suara yang membuat gaduh.

“Daaarr…” seketika Clay membalikkan badannya.

“Astaga, Tinus!” teriak Clay terkejut.

“Hehe…, maaf ya kalau aku membuatmu terkejut.” ucap Tinus. 

Clay masih tidak menyangka kalau sosok yang tadi sempat ia bayangkan, kini duduk di sampingnya. Suasana menikmati senja menjadi lengkap. Setelah sejenak berbincang dan bercanda, Tinus mengeluarkan gulungan karton ukuran 5R yang diikatnya dengan pita biru dari tas kecil yang dipakainya. Tangannya sedikit malu-malu mengulurkan gulungan itu ke arah Clay. 

“Apa ini?” tanya Clay keheranan.

“Bukalah….” Tinus menjawabnya singkat.

Clay tampak senang membuka gulungan itu. Clay tidak menyangka mendapatkan lukisan vignet karya tangan Tinus yang sejak dulu sudah berbakat melukis. Namun, di bawah lukisan terdapat tulisan yang membuat hati Clay bagaikan tertusuk duri ketika membacanya.

 ‘Selamat tinggal Clay, terimakasih untuk segalanya.’

“Apa ini maksudnya?” tanya Clay dengan nada sedikit meninggi.

“Aku minta maaf Clay jika aku salah menuliskan hal itu, namun aku membuatnya karena aku memang akan pergi.” Tinus menjelaskan.

“Pergilah… pergi…!” sambil tangan Clay mempersilakan Tinus pergi.

Tampak Clay sangat kecewa akan tulisan itu. Beberapa penjelasan dituturkannya ke Clay, namun ia tak menerimanya. Lalu, Tinus pun pergi pulang ke rumahnya.

Sesaat Tinus pergi, butiran-butiran bening keluar dari sudut kedua mata Clay. Ia sungguh kecewa, ia tak menduga persahabatannya dengan Tinus yang sejak kecil dibangun akan berakhir. 

Senja yang ada kali ini benar-benar berganti malam yang kelam. Seperti halnya hati Clay yang sedang pekat tak bersemangat.

Keesokkan harinya Tinus mengirim pesan permintaan maaf kepada Clay dan mengajaknya untuk menikmati senja. Namun, Clay belum mau membalasnya. 

Seminggu kemudian Martine School tempat Clay dan Tinus dulu bersekolah mengadakan reuni. Clay pun sangat antusias untuk mengikuti acara reuni itu. Ia berangkat, sesampainya di sana ia berbincang seru melepas rindu bersama dengan teman-temannya. Namun, di hatinya masih saja terasa ada yang kurang dan tak nyaman. Bola matanya beberapa kali melihat kebeberapa sudut ruangan acara mencari Tinus. Tapi, belum juga ia menemukannya. 

“Hai… ini Clay ‘kan?” tanya Pak Guru Tomi.

“Iya, Pak,” jawab Clay.

“Di mana Tinus sahabatmu itu, datangkah ia ke acara ini?” Pak Guru Tomi bertanya.

“Kurang tahu Pak, saya juga belum melihatnya,” jawab Clay.

“Oke…salam, ya untuknya, anak hebat dia.” tukas Pak Guru Tomi.

“Iya, Pak nanti saya sampaikan,” jawab Clay.

Acara reuni telah selesai akan tetapi Clay belum juga menemukan Tinus. Maka, dengan sedikit terpaksa ia mengirim pesan ke Tinus untuk menyampaikan salam dari Pak Guru Tomi.

Pesannya tak dijawabnya, baru setelah dua hari kemudian Ale membalas pesan itu sekaligus menyampaikan kabar kalau Tinus sedang terbaring di rumah sakit. Kabar itu membuat Clay terkejut dan langsung menggerakkan kakinya menuju ke rumah sakit yang berjarak 10 kilometer dari rumahnya. 

Sesampainya di Rumah Sakit senja mulai menorehkan keindahannya, kembali Clay mengingat kekecewaannya terhadap Tinus. Namun, kali ini ia tak memberi ruang bagi rasa kecewa itu. Ia ingin segera berjumpa dengan Tinus.

Terlihat Tinus berbaring lemas di ruangan 302 itu dengan beberapa selang yang menempel ditubuhnya. Tinus sedang tidur saat Clay sampai di ruangan itu, sehingga Clay tak tega membangunkannya. Sembari menunggu Tinus bangun, keluarganya bercerita kalau Tinus mengidap penyakit jantung. Mengetahui hal itu Clay tampak sedih. “Inikah yang membuat Tinus memberiku tulisan itu?” hati Clay bertanya-tanya. 

Beberapa saat kemudian Tinus bangun, ia tersenyum kecil melihat Clay sedang duduk tak jauh darinya. 

“Clay… makasih, ya sudah datang ke sini, maafkan aku yang telah membuatmu kecewa.” ucap Tinus pelan.

“Sudahlah… aku sudah memaafkan kamu, semangat ya… pasti kamu sembuh.” Clay menghibur.

“Aku rasa-rasanya nggak kuat lagi Clay….” kata Tinus terbata-bata.

“Sssh… nggak… pasti kamu kuat, kamu hebat seperti yang Pak Guru Tomi bilang, aku yakin kamu akan sembuh.” Clay menyemangati dengan mata mengatup menahan air matanya yang sebenarnya akan jatuh. 

“Makasih Clay.” jawab Tinus sambil menatap Tinus.

Sejak itu persahabatan Clay dan Tinus kembali membaik, begitu pula dengan kesehatan Tinus yang berangsur-angsur pulih dan diperbolehkan pulang ke rumah.

Beberapa hari setelah kesehatan Tinus benar-benar pulih, Tinus kembali mengajak Clay untuk menikmati senja di tempat biasa. Dengan penuh semangat Clay menyetujui permintaannya itu.

Kali ini senja begitu tampak mempesona, semburat jingganya tampak begitu megah bertahta di angkasa. Senja sore itu tampaknya ikut merayakan kisah persahabatan Clay dan Tinus yang kembali terjalin.

“Clay… indah ya senja itu, teduh rasanya tatkala aku melihatnya,” ucap Tinus pelan.

“Hem, iya.” jawab Clay singkat.

“Maukah kau menjadi senjaku?” tanya Tinus.

“Maksudmu?” tanya Clay tak mengerti.

“Maukah kau tetap menjadi sahabat terbaikku yang membuatku teduh seperti senja itu?” Tinus menjelaskan.

“Siap, sampai kapan pun, aku tetap sahabat terbaikmu.” Seraya kelingking Clay diacungkan ke jari kelingking Tinus.

“Oke, terima kasih Clay.” jawab Tinus seraya mengeratkan kelingkingnya di kelingking Clay.

Sejak saat itu Clay dan Tinus menyebut tempat itu Alaska, yaitu suatu tempat seperti hutan kecil yang meneduhkan jiwa dan mempererat persahabatan.

Maria Magdalena Ari Natalia. Mahasiswa PGSD UKMC Palembang.

[red/TC]

3 thoughts on “Senja di Alaska

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *