Sebuah Kotak dengan Anna di Dalamnya

ghibahin

Meskipun awalnya aku sedikit pesimis, tapi melihat sorot matanya yang penuh semangat itu, aku pun mencoba menaruh kepercayaan kepadanya.”

Ada seseorang yang selama hampir setahun terakhir ini hidup di dalam kotak. Ia kesulitan untuk memulai kehidupannya kembali. Ia merasa harus segera menyingkirkan sisi-sisi dari kotak itu. Seseorang itu bilang akan mencoba melakukannya demi orang lain. Demi orang-orang yang ia cintai dan mencintainya.

***

Semester dua kelas delapan sudah berakhir dan tibalah hari ketika temanku yang bernama Anna kembali ke rumah lamanya dan itu berarti aku bisa bertemu dengannya lagi setiap hari. Kata Ayah, ia juga akan kembali bersekolah, meskipun harus mengulang lagi dari semester awal kelas delapan, sementara aku akan segera menginjak kelas sembilan. Jujur saja, aku sebenarnya penasaran. Kenapa selama Anna di ibu kota, ia tidak sekolah?

Aku mengintip lewat jendela, melihat mobil keluarga Anna berhenti tepat di depan rumahnya. Rumahku dan rumah Anna saling berhadapan dan sembari mengintip itu, aku memikirkan bagaimana cara menyapanya. Aku tersenyum sendiri karena merasa seaneh ini.

Aku dan Anna sudah berteman sejak kecil dan seharusnya aku tidak memiliki kecanggungan apa pun untuk kembali melemparkan sapaan kepada Anna atau keluarganya.

“Hani, kenapa hanya mengintip? Keluar saja dan sapa Anna.”

Itu ayahku. Rupanya aku ketahuan.

“Oke. Aku akan keluar, tapi bersama Ayah. Bagaimana?” tanyaku. Sudah sepantasnya Ayah juga keluar untuk sekadar basa-basi.

“Baiklah.”

Ayah lebih dulu membuka pintu. Aku membuntutinya keluar.

“Halo, Pak Norman. Ada yang bisa kami bantu?” tanya Ayah sambil menyalami ayah dan ibu Anna. Anna terlihat tak ceria, ia menatap Ayah dan enggan bersalaman. Hanya mengangguk saja. Ayah tak menganggap itu sebagai sesuatu yang salah. Ia lalu berbicara beberapa hal soal cuaca dan hal lainnya, sambil mengangkut barang-barang. Sementara aku, terpaku menatap Anna yang terus menunduk. Wajah Anna sama seperti langit sore ini. Mendung.

Tidak mungkin aku terus diam. Jadilah aku juga membantu Anna. Ia terlihat mengambil beberapa buku. Aku juga melakukan hal yang sama. Semua buku-buku ini miliknya? Aku agak heran. Sebelumnya, Anna bukan seseorang yang sangat suka membaca.

“Jadi, bagaimana ibukota itu? Seru?” tanyaku.

Anna tak menjawab.

“Kau jadi suka baca buku?”

“I-iya.”

“Apa yang kau lakukan di sana? Kudengar, ada banyak mall dan tempat wisata yang bagus.”

“Aku hanya diam di rumah.”

Aku mengangguk. Sepertinya, Anna sedang sedih atau apa, aku tidak tahu. Apa Anna sedih karena ia pindah lagi kemari? Jadi, hanya aku saja yang antusias?

“Kau tidak suka kembali ke sini?” tanyaku lagi. Mungkin akan lebih baik kalau aku bicara blak-blakkan.

“Tidak juga. Aku hanya … ada yang ingin kubicarakan denganmu, tapi nanti saja.”

“Oke. Kita bisa bicara di telepon.”

Anna menggeleng. “Ponselku dipegang Ayah.”

“Hah? Kenapa?”

“Karena memang itu lebih baik.”

Sekarang, aku tahu kenapa panggilan dan pesan WhatsApp-ku tidak pernah mendapat balasan.

“Oke, kalau begitu, nanti malam aku ke rumahmu lagi?”

Anna menggeleng. “Aku yang ke rumahmu.”

“Oke, baik. Aku tunggu.”

Setelahnya, malam itu aku menunggu Anna. Lama sekali, tapi ia tak juga datang. Aku jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi kepada Anna. Apakah ia lupa, atau memang ada sesuatu yang membuatnya tak jadi datang ke rumahku.

Keesokan harinya, aku mengunjungi rumah Anna dengan membawa sekotak kue kesukaannya. Ibunya menyambutku dengan riang.

“Terima kasih, ya. Kamu boleh masuk. Mau … bertemu Anna?” tanya ibunya ragu. Aku langsung mengangguk.

Anna berada di ruang tengah. Ia sedang membaca buku. Ketika melihatku, ia tersenyum lebar. Kekecewaanku perihal Anna yang tak menepati ucapannya kemarin langsung hilang begitu saja.

Anna menyuruhku duduk. Ibunya Anna menyuguhkan kue dan dua cangkir teh panas.

“Anna, kamu baik-baik saja, kan?” tanyaku.

Anna mengangguk. “Maaf ya, soal kemarin.”

“Iya, tidak apa-apa. Meskipun aku agak kesal, sih.” Aku merasa tak ragu untuk berkata jujur.

Kalau aku bersikap seperti ini, aku yakin Anna juga akan melakukan hal yang sama. Tidak canggung dan tidak merasa tak enak kepadaku. Aku kan temannya sejak dulu.

“Emh, ada yang ingin kubicarakan,” ucap Anna setengah berbisik sambil melirik sekitar, seolah memastikan tak ada siapa pun di ruang tengah kecuali kami.

“Apa?” Aku balik bertanya dengan suara yang tak kalan pelan.

“Aku takut.”

“Takut? Takut kenapa? Jangan takut. Cerita saja.”

“Maksudku, aku takut sekolah,” ucap Anna lagi. Suaranya masih sangat pelan.

“Kenapa kau takut?”

Anna menatapku sendu. Ia lalu menceritakan semuanya. Tentang kenapa ia pindah ke ibukota dan apa saja yang ia lakukan di sana.

Anna rupanya tidak bersenang-senang di kota besar itu. Ia menemui seorang psikiater yang merupakan teman ayahnya. Anna bilang, ia mengalami suatu peristiwa buruk yang membuatnya menjadi selalu ketakutan jika bertemu dengan banyak orang.

Aku ingin tahu sesuatu yang buruk yang Anna maksud itu seperti apa, tapi ia tak mau memberitahuku. Katanya, nanti suatu hari Anna akan menjelaskan tentang itu kepadaku. Aku penasaran sekali, tapi melihat Anna yang terlihat agak kesulitan menyampaikan semuanya, aku memilih banyak mengangguk saja.

“Begitulah. Jadi, nanti aku bingung bagaimana memulai sekolah.”

“Tidak apa-apa kalau memang bingung. Permulaan memang kadang selalu tidak mudah, Anna. Kita berangkat sama-sama. Seperti dulu.”

“Bagaimana nanti orang-orang melihatku. Bagaimana kalau mereka mengejekku karena mengulang kelas? Aku takut.”

Aku menggelengkan kepala berkali-kali. “Tidak usah memikirkan hal itu dengan berlebihan. Aku yakin, teman-teman di sekolah tidak akan seperti itu.”

“Memangnya selama ini mereka menganggap aku pergi ke mana?”

“Tentu saja mereka berpikir bahwa ada kerabatmu di ibukota yang sedang sakit keras. Itu yang mereka tahu dan yang aku tahu pada awalnya.”

Raut wajah Anna masih terlihat murung. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa.

“Bagaimana kalau nanti mereka berpikir yang aneh-aneh?”

Aduh, Anna ini pikirannya ribet sekali.

“Tidak, kok. Aku yakin mereka tidak akan begitu.”

Anna menatapku. “Aku mau berubah.”

“Berubah?”

“Aku mau jadi berani dan berhenti memikirkan hal-hal buruk.”

“Ya, harus,” ucapku.

Setelah hari itu, Anna terlihat lebih bersemangat. Aku merasa sudah melakukan hal yang benar.

Hingga tibalah hari ketika aku dan Anna kembali berangkat sekolah bersama-sama. Ayah Anna mengajakku untuk berangkat dengan menggunakan mobil mereka. Padahal sebelumnya, aku dan Anna cukup jalan kaki untuk sampai ke sana, tapi bagiku itu tak masalah.

Sampai di sekolah, setelah turun dari mobil, Anna tertahan di pintu gerbang. Aku meraih tangannya, mengajaknya masuk, lalu aku tersadar. Tangan Anna berkeringat banyak.

“Kenapa, Anna? Kau baik-baik saja?”

Anna melihat sekitar dan terlihat ketakutan. “Aku … aku pulang saja.”

Anna terlihat akan menangis. Aku jadi panik.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

“Maaf,” katanya seraya melepaskan tanganku dan berlari. Kulihat mobil Anna masih belum berlalu. Anna masuk ke dalam mobil dan ayahnya terlihat sedih karena hal itu.

Aku bingung.

Keesokan harinya, Anna tidak masuk sekolah. Jadilah setelah kelas selesai, aku ke rumahnya.

Seperti biasa, dengan sekotak kue kesukaan Anna.

Ibunya berterima kasih kepadaku, tapi ia bilang Anna tidak mau ditemui siapa pun. Aku jadi semakin bingung saja.

Saat aku menceritakan kepada Ayah soal betapa aku kebingungan memikirkan Anna, ia bilang kalau aku harus bersabar. Aku juga tanya apakah Ayah tahu kenapa Anna berubah, Ayah tak menjawab. Seolah Ayah juga tidak mengetahuinya atau itu memang rahasia. Aku tidak punya pilihan lain. Aku menunggu Anna kembali. Anna bilang ia mau berubah, bukan?

Maka aku harus menunggu.

***

Seminggu kemudian, ibu Anna memberitahuku bahwa Anna mau mencoba berangkat sekolah lagi. Aku kembali bersemangat.

Namun lagi-lagi, semangatku harus hilang dalam sekejap. Ketika sampai di gerbang sekolah, Anna kembali mundur. Sekarang lebih parah. Ia menangis.

“Anna, tidak apa-apa. Aku akan berjalan bersamamu. Kita lewati gerbang ini dan masuk ke kelas. Aku bahkan akan mengantarmu sampai ke pintu kelas.”

Anna menggeleng. Gagal.

Keesokan harinya, tidak kusangka Anna kembali mencoba berangkat ke sekolah. Kali ini, ia tampak lebih serius dari kemarin-kemarin. Meskipun awalnya aku sedikit pesimis, tapi melihat sorot matanya yang penuh semangat itu, aku pun mencoba menaruh kepercayaan kepadanya.

Aku memegang tangannya erat. Sama seperti dulu, saat pertama kali aku dan Anna masuk ke sekolah dasar.

“Ayo, percaya saja. Semua tidak seburuk yang kamu pikirkan, Anna.”

Anna mengangguk pelan. Lalu, hari itu, ia pun benar-benar melewati gerbang dan masuk kelas. Kami harus berpisah, karena aku kan sudah di kelas sembilan, tapi kulihat, setelah Anna berhasil melewati gerbang dan berjalan ke di lorong kelas bersamaku, ia tampak lebih baik dibandingkan kemarin-kemarin.

Aku harap Anna akan semakin membaik. Sebenarnya, aku masih penasaran. Pengalaman buruk apa yang membuatnya selalu berpikir berlebihan, merasa cemas setiap kali berhadapan dengan banyak orang dan terlihat terus ketakutan, tapi setelah dipikir-pikir, itu sudah tidak penting lagi. Karena yang terpenting adalah Anna hari ini dan Anna di masa depan. Aku akan terus menemaninya.

***

Ada seseorang yang selama hampir setahun terakhir ini hidup di dalam kotak. Ia kesulitan untuk memulai kehidupannya kembali. Ia merasa harus segera menyingkirkan sisi-sisi dari kotak itu. Ia bilang akan mencoba melakukannya demi orang lain. Demi orang-orang yang ia cintai dan mencintainya, serta demi dirinya sendiri.

***

Tasikmalaya, 2022.

Imas Hanifah N. Lahir di Tasikmalaya, 1996. Bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan. Beberapa karyanya pernah termuat di dalam antologi bersama beberapa teman penulis lain. Bisa dihubungi via e-mail: hanifah24halimtuti@gmail. com atau IG: @hani_hanifahn.

[red/yukrasan]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *