Sebatas Mimpi

Kabut pagi belum tersingkap sempurna. Ayam jantan berkokok dengan enggan, menggodaku untuk kembali ke peraduan. Peraduan? Apakah dipan kayu dengan kasur tipis, setipis potongan badanku ini layak disebut peraduan? Barangkali aku saja yang terlalu muluk dalam mengistilahkan.

Andai saja ada pilihan selain bangun pagi, tentu akan kupilih dengan senang hati. Namun sesempit kontrakanku ini, sesempit itu juga pilihanku. Sepeda motor yang masih tujuh bulan menuju pelunasan itu seperti menuntutku melupakan lemas di lutut, penat di badan, juga kemerahan di mataku.

Aplikasi ojek kuaktifkan, dan baru juga jam enam sudah ada yang memanggil untuk diantarkan. Pasti anak sekolah, begitu pikirku.

Benar saja, seorang anak yang sepertinya belum sepuluh tahun usianya. Rapi dan licin pakaiannya. Harum merebak ketika lelaki kecil itu menduduki boncenganku. Kulihat sebelumnya ia kecup punggung tangan ibunya. Masih saja pandangannya melihat kepada ibunya itu. Dilambai-lambaikan tangannya dan baru berhenti di pengkolan menuju gerbang perumahan. Aku tidak melihat ada lelaki dewasa yang melepas keberangkatan anak itu. Barangkali masih bergumul dengan kantuk, seperti aku sebelum menjemput anak ini.

Keesokan hari, kembali aku menerima pesanan penjemputan di titik yang sama, anak yang sama, rumah yang sama, juga wanita yang sama. Kutemukan nama wanita itu adalah Dewi. Nama yang klasik sekaligus indah. 

Tidak seperti saat pertama, kali ini kusempatkan untuk melirik wanita itu sebentar, entah untuk alasan apa. Segera kutundukkan pandanganku. Wanita sederhana tanpa polesan itu, berlesung pipit dengan senyuman manisnya adalah wanita tercantik yang pernah kulihat.  Ahh, apa pula perasaan ini. Kamu jangan asal bermimpi, Burhan!

Hari itu, sengaja kuberikan nomor ponselku di selembar kertas kepada si anak, belakangan aku tahu namanya Rendra. Aku berpesan padanya, agar memanggilku kapan pun memerlukan aku mengantarnya. Barangkali juga mengantar ibunya.

Aku suka sekali dengan anak itu, bukan karena wajahnya yang cakep atau pakaiannya yang selalu rapi dan wangi, tapi juga karena anak itu sopan sekali. Kata terima kasih tak pernah lupa keluar dari mulut mungilnya itu.

Hari ketiga, aku hanya mengantar orang-orang lain, juga beberapa pesanan makanan. Kusebut ‘hanya’, karena menemukan penumpang yang sopan tanpa banyak kemauan semakin sulit saja. Anak itu, Rendra, sudah memberikan penyegaran dalam profesi yang kujalani setahun belakangan ini.

Hari keempat dan kelima masih sepi. Aku menunggu panggilan itu, dan akhirnya sebuah pesan masuk ke ponselku.

Assalamu’alaikum, Mas Burhan. Tolong jemput anak saya pagi ini ya, jam 06.15 di rumah (Bunda Rendra)

Segera saja kantuk yang sebelumnya seperti momok, hari itu begitu mudah kusingkirkan. Kucari-cari jaket terbaru, kulap helmku agar secemerlang karir masa laluku. Ah, sudahlah pasti akan panjang jika aku harus menceritakan itu.

Srettt sretttt, sedikit parfum murahan kusemprotkan mengitari jaketku semoga bisa membuat penampilanku lebih menawan, setidaknya cukup untuk mengimbangi harum seragam Rendra.

Segera kuraih motor hitamku. Dengan menarik nafas panjang dan membaca doa dengan khusyuk, aku berangkat. Berdoa. Ya, setelah sekian lama aku jarang memanjatkannya.

“Rendra, ayo naik. Mari, Bu. Kami berangkat dulu.” 

Sengaja aku melontarkan sedikit basa-basi. Aku mengangguk pada Dewi. Dalam hati aku menyesal mengapa wanita yang tampak begitu baik ini nyaris tak pernah cerah ekspresi wajahnya. 

“Mari, Bu Dewi.” Kuulang lagi pamitku, duh dungu sekali. Aku pun kembali mengangguk berharap ada sepatah dua patah kata dari wanita itu sebagai balasan. Dia hanya mengangguk, dengan senyumnya yang tipis nyaris tak terlihat. Wajahnya bahkan tak membutuhkan senyum untuk menunjukkan kecantikan. Dewi berbalik badan, tak seperti biasanya, kali ini ia bergegas tanpa menunggu lambaian Rendra menghilang di pengkolan.

Kurasakan bahu Rendra berguncang di belakangku, ia seperti sedang menangis. Ingin sekali aku hentikan laju motorku, namun aku ragu. Ketika suara tangisannya semakin keras, aku tak tahan untuk tak berhenti. 

Di depan warung itu, aku membeli teh kemasan kotak, lalu kuulurkan padanya. Rendra menerima dengan ragu, lalu meneguk dengan perlahan, sambil menghapus air matanya. 

“Sudah tenang, Dik?”

“Terima kasih, Om.”

“Kalau kurang sehat, Om antarkan pulang saja bagaimana?”

“Aku sekolah saja Om, daripada dipukulin Bapak.”

Aku membatin, ada rupanya sosok bapak di rumahnya.

“Maaf ya, Om. Jadi merepotkan. Om punya anak?”

Biasanya jika ada yang bertanya seperti ini aku akan meradang. Anak? Istri saja masih belum kelihatan hilalnya.

“Belum, Dik. Om masih belum menikah.”

“Om ingin punya anak?”

Bah, pertanyaan macam apa pula ini? Aku mulai menebak-nebak arah pembicaraan Rendra apalagi pertanyaan itu terlontar dari mulut anak seumurannya.

“Tentu saja. Mungkin suatu hari nanti.”

“Aku mau jadi anak Om saja. Bapakku jahat sekali.”

Kali ini aku mati kutu, meski dalam hati aku mengaminkan kata-katanya barusan. Rendra yang sudah sempat reda tangisnya, mulai terisak lagi. Aku mencoba menepuk-nepuk bahunya, tak tahu apakah itu cukup untuk menenangkannya. Tak lama dari situ aku dengan kikuk merangkul anak itu, lalu membiarkan tangisnya pecah sepuasnya. Barangkali kami para lelaki ini memerlukan sesekali menangis, dengan puas tanpa jeda, tanpa ada seorang pun menghentikannya.

Kami terlambat sampai ke sekolah, aku sengaja menonaktifkan aplikasiku demi sepenuhnya menemani pelanggan kecilku itu. Bahkan kusempatkan menaiki tangga menuju kelasnya untuk bertemu guru. Kulakukan  demi menjelaskan ban motorku kehabisan angin sehingga telatlah muridnya yang satu ini.

Bu Guru mengangguk sambil mencurigai mata Rendra yang bengkak. Namun tak urung diterimanya alasanku sambil berterima kasih. Aku cukup lega, Rendra berada di sekolah hari ini. Aman dari amukan bapaknya. Meski barangkali tak satu pun pelajaran mampu dicerna otaknya yang sibuk berputar memikirkan kejadian pagi ini.

***

Sudah hampir sebulan aku mengantar jemput Rendra. Melihat wajah Dewi hampir setiap hari dengan bermacam ekspresi. Hari ini aku lagi-lagi dengan jaket andalanku yang buru-buru kucuci tempo hari, bersiap menjemput Rendra. Tidak ada misi yang lebih mulia bagiku, selain membahagiakan bocah satu ini. Jikalau ada bonus memandang sejenak lesung pipit ibunya, maka aku tentu akan lebih berbahagia.

Agak aneh, kulihat Dewi memakai pakaian rapi. Kerudung merah jambu yang dikenakannya semakin membuatnya tampak cantik meski rona wajahnya tampak murung. Rendra memakai baju kemeja berkerah yang bukan seragam. Namun demikian aku tetap diminta mengantar mereka ke sekolah. Rendra duduk di depanku, kurasakan Dewi duduk membonceng dengan anggun. Duh Gusti, aku ingin sekali mengelilingi komplek ini sebanyak tujuh kali sebelum keluar gerbang, demi lebih lama menikmati kebersamaan yang cukup langka ini. Kugigit bibirku agar aku lebih sadar diri, aku tak lebih dari tukang ojek langganan belaka. 

Sampai di sekolah, Dewi berkata padaku. Dia hanya akan sebentar bertemu dengan guru. Jika aku tak berkeberatan maka dia berharap aku mau menunggu sebentar. Aku mengangguk mantap. Lagi pula, orang bodoh mana yang mau menolak tawaran ini.

Hampir setengah jam aku menunggu. Dewi keluar dari gedung sekolah menggandeng Rendra. Wajahnya masih pias, namun aku membaca ada kelegaan di sana.

“Kita ke alun-alun ya, Mas Burhan.”

“Baik, Mbak, eh Bu Dewi.”

Duh, dungu sekali aku tak bisa menyembunyikan kegrogianku. 

Sampai di alun-alun, Rendra bergegas turun dari motor, lalu menghambur menuju lahan rumput luas. Ia melonjak-lonjak dengan gembira. Seperti bukan Rendra yang pertama kali kukenal. 

“Hati-hati, Rendra!” Entah kenapa aku yang bukan bapaknya ini spontan memperingatkan anak itu. Dewi menoleh padaku, kali ini wajah piasnya sudah merona jingga. Sedikit lebih mendekati warna kerudungnya. 

“Mas Burhan….” tiba-tiba diserahkannya sebuah amplop padaku, “ini saya ada sedikit tambahan untuk Mas. Saya berterima kasih banyak, anak saya sangat terhibur semenjak diantar sekolah sama sampeyan.”

“Lho Mbak, jangan repot-repot, saya senang bisa berteman dengan Rendra.” Kali ini aku tidak meralat sebutan Mbak pada Dewi. 

“Selama badan saya masih sehat, jangan khawatir, Mbak.  Saya akan terus mengantar Rendra.”

“Sepertinya ini akan menjadi yang terakhir, Mas. Besok saya akan pulang ke Malang, ke kampung halaman saya. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih.”

Lalu dari kejauhan Rendra berteriak memanggil ibunya. Dewi berlari menuju Rendra. Meninggalkanku, juga segenap luka yang ditorehkan kota ini padanya. Aku hanya memandangnya dengan pandangan kosong melompong. Menyesali waktu bisa sesempit ini. Masih berharap ini bukan yang terakhir kali.

Tyas Ari Lestyaningrum, ibu rumah tangga yang gemar menulis.

[red/TC]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *