Pertanyaan yang Tidak Kamu Tujukan Padaku (2)

“Untuk apa mengajukan pertanyaan yang tidak perlu kamu ajukan padaku? Bukankah aku akan menunggu dan itulah yang aku lakukan? Masalahnya, apakah kamu mau aku tunggu?” tanyanya.

Baca Seri ke-1

Ini Jumat pertama di bulan Maret, bulan kelahiranmu. Dan sekali lagi kamu bertemu dengannya dalam rupa yang begitu ganjil.

Kamu menunjuk sebuah kafe dan dia mengangguk. Makanan atau minuman selalu mampu menjadi penengah dalam kecanggungan, bukan?

Kalian masing-masing memesan secangkir kopi. Mulanya perempuan itu mengatakan akan memesan espresso. Namun, ia menekuri daftar menu dan berkata pada barista berambut sebahu itu untuk membuatkan long black. Espresso dengan tambahan air putih panas.

Kamu menampilkan raut muka heran. Mungkin karena itu bukan pesanan yang biasa. Namun, dalam keganjilan penuh tanya begitu kamu tetap memilih diam. 

Tatapanmu menelusuri daftar penyajian kopi. Meski kamu tidak perlu melakukan itu karena pesananmu selalu sama. Double ristretto.

“Mau makan sesuatu?” Kamu menawarkan. Tampaknya kopi dan kudapan bisa dijadikan jeda jika percakapan terlalu menyesakkan dada.

Dia menggeleng. Seulas senyum mampir di bibirnya yang sedikit berkilau dengan warna merah yang begitu ranum. Gerakan kepala itu membuatmu bisa melihat rambutnya telah sedikit lebih panjang dari terakhir kalian bertemu.

Seraya berjalan bersisian, kalian memilih sofa berwarna merah di sudut. Ada meja kaca dengan pot kecil berisi kaktus. Alasnya dari potongan kayu dengan serat yang kentara.

“Kamu menunggu cukup lama?” Dia memulai percakapan setelah duduk dan menyilangkan kaki dengan elegan. 

Kamu menggeleng. Kamu tahu persis berapa waktu yang dibutuhkan perempuan itu untuk mengikuti misa Jumat pertama di kapel bersama siswa di sekolah Katolik seberang jalan.

Seseorang meletakkan pesanan sebelum kalian mulai bercakap-cakap kembali. Ketika lelaki dengan apron hitam itu menjauh, kamu melirik perempuan yang mengisi malam-malam panjang dengan pertempuran kebaikan dan kebatilan itu. 

“Kita bisa memesan sesuatu lagi meski memang ini terlalu pagi untuk makan siang dan terlalu siang untuk sarapan,” katamu dengan nada begitu gugup.

Dia tertawa. “Kamu belum makan sesuatu?” Sial bagimu perempuan itu mengakhiri pertanyaannya dengan meletakkan tangan di pahamu. Sesuatu mungkin berdesir hebat dan membuat mukamu memerah. 

“Aku baik-baik saja.” Mungkin kamu kemudian memaki dalam hati. Itu bukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan yang diajukannya.

Perempuan itu cukup bijak dengan tidak menertawakanmu. “Aku tahu kamu baik-baik saja. Bukankah kamu memang begitu seharusnya?”

Kamu berdeham. Lalu buru-buru mengambil cangkir pertamamu. Pilihan tepat berada di tempat ini adalah —sekali lagi— kopi menjadi jeda yang sempurna. 

“Aku tidak ingin meributkan sesuatu yang seharusnya dan tidak seharusnya. Setidaknya kali ini aku tidak ingin membicarakannya denganmu.” Cangkir telah bertemu kembali dengan tatakan ketika kamu mengucapkan kalimat itu.

Perempuan itu mengangguk. Ia lalu mengeluarkan ponsel dari tas jinjing berwarna biru. Untuk waktu-waktu yang terasa begitu padat, kalian mencurahkan pikiran dalam pembicaraan mendalam. Pekerjaan telah menjadi penyatu kedua selain cangkir berisi kopi.

Kamu kemudian memesan air mineral dan memutuskan benar-benar memesan kudapan. Sejenak kamu tampak bimbang sebelum akhirnya memesan dua cangkir espresso. 

“Aku tahu ini berlebihan, maksudku tentang kafeina yang masuk itu. Maaf, aku memesannya lagi untuk kita. Aku membutuhkannya dan berpikir mungkin kamu juga.” 

Perempuan itu mengalihkan pandangan dari ponsel ke wajahmu. Senyumnya terulas. “Hei, itu baik. Terima kasih memesannya untukku,” katanya. 

Ada hela lega yang kentara. Pembicaraan tentang pekerjaan telah usai. Rasa gugup bisa jadi kini mendominasi setelah kamu menyadari suara penyeru dari masjid sebelah kafe telah terdengar. 

“Pergilah. Aku bisa menunggumu di sini,” kata perempuan itu. 

Kamu tergagap. Ini jenis perpisahan yang menyesakkan. Kamu telah melakukan upaya sebaik-baiknya dengan merekatkan hubungan dengan pekerjaan. Dan meski telah kalian bicarakan berbagai kemungkinan mengubah hubungan itu menjadi ikatan yang lebih personal, kesadaran di kepala membuat pembicaraan melulu berputar pada pengingkaran.

“Kamu masih akan menungguku? Meski kamu bisa saja pergi karena pembicaraan tentang pekerjaan telah usai?” 

Dia menatapmu. Andai matanya adalah lautan, kamu bisa melihat ombak berkejaran. “Aku menunggu.”

“Untuk apa?” tanyamu. Sepertinya kakimu merasakan dingin serupa tenggelam dalam pasir basah di pantai. 

Perempuan itu tertawa sekilas. Ia menyelipkan helai rambutnya yang menjuntai ke balik telinga kirinya. Kamu bisa melihat ada anting berbentuk bintang di sana. 

“Untuk apa mengajukan pertanyaan yang tidak perlu kamu ajukan padaku? Bukankah aku akan menunggu dan itulah yang aku lakukan? Masalahnya, apakah kamu mau aku tunggu?” tanyanya.

“Tapi, kita tetap akan hanya seperti ini saja.”

Suara musik yang memang telah ada sejak semula akhirnya mampir di telingamu. Syairnya yang begitu patah hati seolah mewakili dua cangkir yang telah kosong.

“Kita bisa memutuskan pergi. Tapi, kita juga punya pilihan untuk tetap menjalani, bukan?”

Pertanyaan klasik itu telah menjadi hantu yang menggantung serupa kelelawar yang berdiam di dalam gua. Kamu mengembuskan napas, mungkin mengusir rasa yang mampir dan tak mau pergi.

Kalian berpandangan lagi. Suara yang memanggil itu membuatmu tahu tak layak menunda sesuatu. Kamu mengangguk, sebuah kode menyetujui frasa jalani saja

Dan di persimpangan, kamu melihat puncak menara dengan salib dan lonceng berdentang. Kakimu melangkah memasuki pelataran tempatmu bersujud dan menyerahkan jarak sejauh doa-doa bisa menggapainya. [red/san]

Katarina Retno Triwidayati, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *