Pengecut

“Saya hanya mesti selesai dengan diri saya sebelum … ya, sebelum saya sepenuhnya menerimamu.”

Akhirnya saya bisa mendefinisikan diri saya: Pengecut. 

Semalam, saya menunggu. Ya, satu jam berlalu sejak pesan itu saya kirimkan padamu. Kamu sudah membacanya. Namun, entah apa yang membuatmu menunda membalas. Ini tampak seperti bukan kamu yang biasa.

Saya tahu betul jiwamu rapuh. Saya ingat bagaimana kamu menghunus malam yang penuh bayang-bayang. Percayalah, saya selalu ada bersamamu. Saya selalu ingin pastikan bahwa kamu baik-baik saja. 

Saya pun tahu tak ada yang lucu dari hal itu. Tak mudah menenangkanmu yang kerap mendengar suara, lalu lonceng, dan sirine ambulan. Tapi, kamu tahu, saya cukup bisa diandalkan untuk menemanimu. 

Saya berulang kali melirik ponsel. Saya mencoba berkonsentrasi pada pekerjaan yang seolah tak pernah selesai. Namun, semua angka dan huruf di hadapan saya seperti tertawa mengejek. Sungguh, saya sekacau itu.

Satu jam lewat lima menit. Pesan itu belum juga kamu balas. Saya mencoba mengendalikan pikiran buruk agar tak semakin liar. Secangkir kopi dan sebatang rokok sepertinya pilihan yang baik. Jadi, saya menyeduh kopi dan membawanya ke teras. 

Langit malam terlalu hitam meski lampu jalanan mencoba memberi terang yang sedikit sia-sia. Tanpa bintang-bintang berpendar menghiasi, langit terasa amat kosong. 

Saya tarik kursi rotan. Gelas kopi itu saya letakkan di meja. Uapnya menari-nari dan aromanya sungguh menggugah selera. 

Sebatang rokok saya keluarkan. Sudah saya bilang, secangkir kopi dan sebatang rokok telah saya pilih menjadi pelarian dari segala pemikiran tentangmu. Nyatanya, setiap embusan asap rokok itu justru membuat bayanganmu terasa hadir dalam dekapan.

Balaslah pesan saya. Sudah banyak malam kita habiskan dengan berkisah melalui pesan singkat. Mengapa malam ini harus berbeda? 

Hai, saya harap kamu baik-baik saja.

Itu pesan yang saya kirimkan tadi. Apakah saya perlu mengubahnya? Kamu bisa saja memutuskan tidak menjawab sebab pesan itu bukan pertanyaan yang mesti dijawab. 

Saya membuka kembali semua cerita yang kita bagikan di malam-malam sebelumnya. Anggap saja saya pria tua melankolis. Saya tidak akan menolaknya. Setidaknya khusus padamu, saya merasa terperangkap nyaris tak bisa bernapas dengan bebas. Oh, maaf, sebenarnya kamulah napas itu. 

Baru saja saya letakkan cangkir kopi ketika sebuah pesan masuk. Setengah dari diri saya berharap itu pesan darimu. Rupanya Tuhan memperhatikan harapan saya yang begitu rawan. 

Saya harus minta maaf. 

Saya menegakkan tubuh meski tak tahu untuk apa melakukan itu. Saya berpikir sesaat. Apakah saya perlu bertanya tentang keadaanmu malam ini? Maksud saya jelas, saya hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. 

Untuk apa?

Sesaat tulisan sedang mengetik muncul. Namun, rasanya terlalu lama kamu mengetikkan jawaban. Apakah kamu mengetik, lalu menghapus, lalu mengetiknya kembali? Apakah kamu melakukannya berulang dan tak ingin kunjung memberikan jawaban untuk memuaskan rasa ingin tahu saya?

Saya mencintaimu. Hari lalu, hari ini, dan nanti. Tapi rasanya itu tidak berarti.

Saya terpana. Kalimat ini jauh dari yang ada di pikiran saya. Apa yang terjadi padamu? Haruskah saya membalas pesanmu? Atau perlukah saya meneleponmu? Atau saya biarkan tanya menggantung begitu saja?

Saya memutuskan menyulut sebatang rokok lagi. Tak masalah bukan sedikit lunak pada diri sendiri? Saya nyaris mengumpat ketika menyadari bahwa kopi dalam cangkir sudah tandas. Juga ternyata ada begitu banyak puntung rokok berserak di asbak. 

Jadi, saya sudah merokok seberapa banyak? Mengapa saya tidak meneleponmu saja untuk menuntaskan tanya? Atau setidaknya membalas pesanmu yang … sangat berbeda itu.

Namun, saya menyadari bahwa ini sudah lebih dari tengah malam. Mungkinkah di sana kamu menanti jawaban saya? Saya membaca kembali pesan itu. Pesanmu bukan pertanyaan, jadi saya tidak perlu menjawabnya bukan?

Namun saya ingat semua roman yang kita bahas. Juga semua film yang kita debatkan. Setiap tokoh mengatakan I love you, tokoh lain menjawab I love you too. Itu bukan pertanyaan. Namun, berbalas. 

Saya harus katakan bahwa saya ingin mengungkapkan hal itu. Namun, saya tidak punya keberanian. Itulah, saya memang pengecut betul.

Tak masalah usia kita terpaut terlalu jauh. Tak masalah kamu adalah gadis yang masih rawan sementara saya mestinya lelaki yang sudah matang. Tak ada bedanya reaksi kita saat perasaan yang sama muncul membuncah di dada. 

Masalahnya memang saya terlalu lama menunda. Ada banyak yang saya pertimbangkan selain jarak usia. Seperti, apakah semua pembicaraan kita selama ini memang telah menunjukkan diri kita apa adanya?

“Aku suka makan gula-gula,” katamu suatu waktu. 

“Tapi itu akan membuat gigimu berlubang,” kataku saat itu. Mukamu mungkret. Persis seperti gadis kecil yang dulu pernah singgah dalam hidup saya. Gadis kecil yang akhirnya dibawa pergi ibunya. 

“Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan setelah makan gula-gula.” Kamu mengetuk-ngetukkan jari di meja kala itu. Saya bisa melihat kuku-kuku cantik dan dipoles warna merah kesukaanmu. 

“Kamu tidak percaya?” tanyamu. Kita bertatapan dan saya pikir kamu memang mengetahui jawabannya. “Jika suatu waktu aku jatuh cinta pada pria tua, apakah aku boleh mengatakannya?” tanyamu. Pertanyaan itu seperti sesuatu yang melesat lalu tersangkut di dahan-dahan cemara. 

Saya curiga, lelaki tua itu adalah saya. Tapi tentu saja saya tidak boleh menerka-nerka. Jadi, saya diam saja. 

“Kamu tidak pernah percaya padaku.” Kata-katamu itu membuat saya termangu. Bagian mana yang membuat saya harus tidak percaya padamu? Kamu adalah gadis mungil yang serupa kelinci yang melompat jenaka. Kehadiranmu membuat taman terasa lebih manusiawi. Dan saya menyukai itu. 

Masalahnya, saya tidak berani menyampaikan perasaan cinta pada gadis sepertimu. Saya merasa tidak layak menerima anugerah itu. Bagi saya, hubungan ini sudah sangat cukup. Saya dan kamu, bercerita dan berbagi mimpi tanpa ada ikatan pasti. 

“Kalau suatu saat ada lelaki muda, tampan dan kaya raya melamarku, maukah menghadiri pernikahanku?”

“Kamu langsung menerimanya sebagai suami?” Saya benar-benar keheranan. Apakah semudah itu jatuh cinta dan memutuskan hidup bersama? 

Saya teringat pada keputusan-keputusan yang salah. Pada perempuan yang telah memberi seorang gadis kecil. Perempuan yang kemudian membawa gadis kecil itu pergi dan tak pernah kembali lagi. 

Saya lalu bicara tentang bintang-bintang di angkasa. Saya pikir dengan abai menjawab, tanya itu akan melesat dan lebur dalam kegelapan. Kita bisa menganggapnya sebagai satu masalah yang selesai. 

Jika kemudian kamu menyampaikannya lewat pesan singkat. Saya hanya bisa termangu. Saya sudah lama menyadari bahwa kehadiranmu memang berbeda. Itu tidak sama dengan kopi dan rokok yang … ah, sialan. Kopi tandas, dan puntung rokok bertebaran.

Saya memutuskan datang ke rumahmu. Saya akan katakan bahwa saya mempunyai perasaan yang sama. Keputusan itu membuat saya merasa tenang. Itu membuat saya tidur nyenyak. Bahkan rasanya memimpikan kamu. Oh bukan, saya memimpikan kita. 

Namun, pagi membunuh mimpi. Kematian telah kamu pilih. Ini sedikit gila. Usiamu masih begitu muda. Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan, tapi mengapa mesti itu yang kamu tetapkan? Dan terngiang-ngianglah di telinga saya tentang sesuatu yang selalu kamu keluhkan. “Di dunia ini, aku selalu sendiri. Dan bahkan kamu pun ikut menolak datang saat kubutuhkan.”

Astaga. Saya lelaki tua yang payah. Mestinya saya memahami bahwa jiwamu rapuh seperti permen kapas. Mestinya saya lebih peka. Masalahnya, saya bukannya tidak mau datang. Saya hanya mesti selesai dengan diri saya sebelum … ya, sebelum saya sepenuhnya menerimamu. Argh, ya, saya hanya mencari pembenaran.

Seandainya saya menjawab pesan tengah malammu, apakah kamu masih hidup, memeluk, tersenyum malu-malu, dan membalas ciuman saya? Saya tahu ini sudah terlambat. Dan itu sebabnya, saya tak keberatan disebut pengecut.

Katarina Retno, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *