Mereka di Sini

Tangannya mencengkeram bahuku, tapi tidak terasa sakit. Darah terus menggenangi lantai sampai kakiku ikut terasa basah.

Aku terbangun. Matahari malu-malu menyinari ruangan melalui jendela yang tidak tertutup tirai. Kekosongan. Aku merasakannya. Kekosongan akibat ketidakhadiran sosok mereka.

Setiap sudut rumah ini, terasa seperti tak ada suara, tak ada warna, tak ada kehidupan. Aku menoleh ke arah nakas. Di atasnya terdapat sebuah foto dan lampu tidur. Sambil mematikan lampu tidur, kuambil foto tersebut. Ingatan mengusik pikiran dan hatiku. Cermin yang memantulkan diriku menjadi saksi dari ekspresiku saat ini. 

Waktu itu, siang hari sangat terik sampai bisa membakar kulit. Pohon-pohon pun tidak mampu mengurangi teriknya matahari. Burung-burung masih saja berkicau seperti biasa. Dan, aku sedang mencuci piring sehabis mengenyangkan perut. Kakak sedang berada di kamar, entah apa yang dilakukannya. 

‘Segarnya,’ pikirku saat air mengenai tangan dan menyiprat wajahku. Selesai mencuci piring, aku mengambil lap dan mulai mengelap piring. Kakak menghampiriku dengan tatapan yang begitu serius. Tetapi jarinya bertaut. Aku menyadari kegelisahannya. Namun, itu tidak menghentikan kegiatanku. 

 “Dek, kita pindah rumah ya?” tanya Kakak.

“Kenapa?” Aku balas bertanya. Kulihat dia semakin gelisah.

“Di sini kan jauh dari pemukiman, enggak baik kalau dua gadis tinggal di rumah yang jauh dari pemukiman. Nanti, kalau ada apa-apa bagaimana? Sulit untuk meminta bantuan,” jawabnya.

Setelah kakak menjawab, aku menaruh piring, tapi lap masih kupegang. “Nggak bakal ada apa-apa. Selama ini kita hidup begini dan nggak ada apa-apa kan?”

 “Iya, Selama ini memang semuanya baik-baik saja. Tapi kita nggak tahu masa depan bakal gimana, ‘kan?”

“Aku nggak mau,” tolakku.

“Kok langsung nolak? Coba dipikir dulu. Apa kamu nggak mau hidup bertetangga seperti orang lain? Atau menikmati suasana sore hari yang ramai karena banyak anak kecil lari ngejar layangan? Memang ada suasana begitu di sekitar sini, Dek? Nggak ada! Rasanya tinggal di sini seperti kita ngejauhin dunia luar. Apalagi Bapak dan Ibu sudah nggak ada. Hanya ada kita di sini, sepi,” lanjutnya.

“Justru karena semua kenangan Bapak dan Ibu ada di sini, makanya aku nggak mau pindah!” jawabku dengan alis bertaut menahan kesal.

“Kenangan Bapak dan Ibu juga nggak bakal hilang kalau kita pindah,” kata Kakak.

“Tetap saja, kalau kita pindah, apa kenangan Bapak dan Ibu juga bakal ikut?” tanyaku tak mau kalah.

“Kok kamu masih saja keras kepala sih, Dek?” Kali ini Kakak berteriak.

Aku terhenyak dan bahuku terangkat sedikit mendengar teriakan itu. ‘Kenapa Kakak berteriak? Nggak seperti biasanya,’ pikirku.

“Kamu egois. Kamu hanya mau hidup dengan kenangan-kenangan!” Kakak melanjutkan kata-katanya, “Kita nggak akan berkembang di sini, mati pun kurasa tak akan ada yang tahu!”

Aku heran juga kesal. Kugenggam lap di tangan kiriku dengan erat. Lalu kulemparkan lap itu ke arah Kakak. Aku mengetahui dengan jelas maksud kakak. Dia hanya ingin pergi dari rumah ini.

‘Sangat jelas dari kata-katanya. Dia ingin meninggalkan rumah dan melihat dunia luar. Hidup di keramaian! Entah sejak kapan dia punya niat itu.’ pikirku sambil berlalu meninggalkannya menuju kamar. 

Kuraih kenop pintu dan membantingnya dengan keras. Kemudian, duduk bersandar pada pintu. Terdengar suara langkah kaki Kakak. Ia terus menggedor-gedor pintu kamarku dan ….

PRAAANGGG!

Suara vas pecah. Aku tebak itu adalah vas yang kutaruh di sudut luar kamar. Kakak terus berteriak dari luar. Berisik sekali. Menyebalkan sekali.

Untuk mengurangi kebisingan, aku memakai headphone dan memutar lagu kesukaanku. Setelah lagu selesai diputar, sayup-sayup aku mendengar suara kakak menelepon seseorang. 

Aku menengadahkan kepalaku dan memikirkannya, mimpi yang pernah kuimpikan sebelum kejadian ini. Aku ingin bersama membangun semua masa depan dengan kehadiran Kakak di rumah ini. Tidak pernah terpikirkan bahwa ia ingin melihat dunia selain di dalam rumah ini. Aku hidup dan mengembara sepertinya, tetapi kenapa pikiran kami berbeda? 

Aku tidak ingin pergi dari sini. Semua kenangan Ayah dan Ibu tidak bisa ditinggalkan. Tapi aku juga ingin selalu bersama Kakak. Aku ingin ikut Kakak di mana pun dia tinggal dan aku juga ingin hidup di mana pun kenangan Ayah dan Ibu ada. 

Ini dilema terbesar di hidupku. Rasanya seperti berada di persimpangan jalan. Aku dipaksa menentukan pilihan sulit. Bingung, kepalaku berisik seperti suara kereta. Pikiranku terus berlari. Sesak sekali. 

Setetes air mata yang membasahi pipi terasa asin di mulutku. Tidak, semuanya masih terisi dengan Ayah dan Ibu. Aku tidak bisa pergi kemana pun. Dan Kakak tidak boleh pergi meninggalkanku. 

Aku sudah memilih jalanku. Aku menarik nafas yang dalam. Menghitung satu, dua, tiga, lalu membuka pintu. 

Pecahan vas masih berserakan. Aku mencoba memungutinya. Lalu melihat Kakak berdiri di sana. Di depan akuarium ikan mas. Matahari masih saja menyengat. Detik jam terus berbunyi. Aku menghampiri dan mencoba meraih tangannya.

“Dek, Kakak bakal pergi seminggu lagi. Kakak akan menyewa kontrakkan bersama teman Kakak. Kamu jaga diri baik-baik ya!” Ia berpesan sambil berlalu.

Aku menahan tangan kakak. Selekas aku memeluknya. “Kakak, aku ….“

Kakak mulai terbatuk-batuk. Sebelah tanganku yang dipakai untuk melingkari punggungnya terasa basah. Aku bisa merasakan Kakak tersentak di pelukanku. Tangannya mencengkeram bahuku, tapi tidak terasa sakit. Darah terus menggenangi lantai sampai kakiku ikut terasa basah. Warna merah di lantai memantulkan bayanganku dan Kakak, seiring napasnya yang semakin lemah. Aku membisikkan sesuatu ke Kakak. 

Kulepas pelukanku. Kupegangi kedua bahunya. Lalu, aku melihat bola mata Kakak hampir keluar. Kutebak, tadi ia sangat terkejut. 

‘Ah imutnya,’ pikirku. 

Napasnya perlahan-lahan menghilang. Kakak, tertidur di pundakku. Tampak nyaman dan tenang. 

Kejadian tersebut sudah lama. Namun, aku masih ingat apa yang kubisikkan waktu itu: “Kak, waktu kita berhenti di sini.”

Hal itu membuatku tertawa. Aku menghentikan waktu. Menggelikan. 

Aku keluar dari kamar dan berjalan menuju sisi akuarium ikan mas, tempat terakhir aku memeluk Kakak. Aku tahu sampai sekarang Kakak masih melihatku dari balik kaca akuarium. Kuambil pelet ikan di sebelah akuarium. Lalu menaburnya di atas air. Ikan-ikan mulai berkumpul dan berebut ingin memakannya.

Mata Kakak dikelilingi ikan mas. Cantik sekali. Dan, mata mereka semua ada di sini: Ayah, Ibu, juga Kakak.

Novenda Fitrianti. Mahasiswa dan anak bungsu. 

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *