Melukis Air

“Aku lebih berhak bersamanya karena akulah yang selalu ada untuk mendengarkan cerita-ceritanya.”

“Lebih baik kita tak bertemu lagi.”

“Mengapa begitu?”

Aku takut rasa ini semakin bertumbuh dan akhirnya aku tidak bisa menjauh darimu,” jawabku dalam hati. Tak mungkin kusampaikan bahwa aku takut terjebak dalam rasa cintaku padanya yang jelas-jelas tak mungkin akan terbalas.

Aku bahkan tak berani lagi menatap wajahnya yang terlihat semakin tirus. Mungkin beban persoalan rumah tangganya memang sangat berat dan memangkas banyak sekali energi hingga berat badannya turun drastis. Lingkaran hitam di sekitar matanya, memperjelas kelelahan yang dirasakannya saat ini. Aku takut terperosok semakin jauh dalam rasa yang sampai saat ini masih tersimpan sangat dalam.

Sejenak muncul rasa kesalku pada Dini, perempuan yang telah membuat laki-laki di hadapanku ini menjadi kurus, sayu, dan terlihat layu. 

Seharusnya ini adalah saat yang tepat untuk menariknya dalam rengkuhan cintaku. Hati Elang sedang rapuh, cinta Elang sedang diuji. Dan ketika saat ini dia memilihku sebagai tempat bersandar, seharusnya aku bisa membuatnya semakin nyaman bersamaku, saat ini dan seterusnya. 

Aku merasa layak memilikinya, karena aku telah mencintainya sejak bertahun-tahun yang lalu. Aku lebih berhak bersamanya karena akulah yang selalu ada untuk mendengarkan cerita-ceritanya. Ya, seharusnya aku bisa membuatnya lebih nyaman di sini, bersamaku.

Kumantapkan hati untuk memandang wajahnya. Bertahun-tahun telah berlalu, tetapi layu tak membuatnya kehilangan pesona. Alis mata yang tebal menaungi dua netra tajam menyiratkan aura tegas pemiliknya. Mungkin itu yang menyebabkan orang tuanya menyematkan nama Elang padanya. 

Wajahnya tetap bersih, selalu bersih. Sepertinya dia masih rajin mencukur cambang dan kumisnya setiap hari. Tanpa sadar aku meraba wajahku yang hampir tak pernah sepi dari jerawat yang muncul silih berganti. Menyebalkan sekali. Tiba-tiba saja rasa tak percaya diri ini muncul kembali untuk yang kesekian kali.

Ingin aku mengelus pipinya yang mulus dan mengguratnya dengan tanda cinta yang tak akan pernah dia lupakan. Ingin aku masuk ke dalam mata tajam itu, hingga hanya aku yang selalu muncul di dalam penglihatannya.

***

Ting. Sebuah notifikasi menyadarkanku. Elang meraih gawai dan membuka salah satu aplikasi percakapan di dalamnya. Seketika mataku tertuju pada cincin yang melingkar di jarinya. Ah, mengapa aku harus melihatnya?

Cincin pernikahan sederhana yang melingkar di jari manis Elang sungguh membuatku tersadar akan posisiku di hatinya selama ini. Cincin sialan itu telah menyatukan cinta Elang dan Dini. Cincin pernikahan itu telah menghilangkan kesempatanku untuk memiliki Elang. Cincin pernikahan itu pula yang telah membuatku memilih keputusan menerima pinangan Andre.

Oh ya, Andre. Aku jadi teringat bahwa beberapa hari yang lalu Andre datang menemui ibu dan menyatakan hendak melamarku dalam waktu dekat ini. Aku menerimanya tanpa berpikir panjang. Aku hanya ingin segera mengalihkan hati dan pikiranku dari Elang. Meskipun aku yakin bahwa hal itu sama saja dengan melukis di atas air.

“Aku akan menikah dengan Andre. Jadi aku ingin fokus dengan pernikahan ini,” akhirnya pernyataan yang aku benci itu meluncur dari mulutku.

“Kau, menikah dengan Andre?” tanyanya berbinar. “Aku senang mendengarnya.”

Dadaku semakin sesak mendengar kata-kata yang diucapkannya. Apalagi kalimatnya yang terakhir. Aku sangat mengharapkan Elang mengucapkan larangan untukku melanjutkan pernikahan ini.

“Aku harap kamu selalu bahagia bersama Andre. Aku dan Dini pasti akan datang di acara pernikahanmu.” Bahkan Elang masih ingat untuk menghadiri pernikahanku bersama istrinya.

Sampai di sini seharusnya aku paham bahwa Elang benar-benar mencintai Dini. Keruwetan rumah tangga mereka saat ini hanya riak kecil yang tak akan mampu menggoyahkan cinta mereka. Dan bodohnya aku jika berharap Elang akan melepaskan istrinya dan berpaling kepadaku.

Aku berharap percakapan ini tidak akan menjadi penutup perjumpaan dan juga menjadi percakapan terakhir kami. Tetapi hatiku terlalu rapuh untuk melihat Elang meninggalkanku dan kembali kepada Dini, istrinya.

“Ya, terima kasih. Aku harus pergi sekarang,” kataku akhirnya. Entahlah, aku sendiri tak tahu ucapan itu tertuju pada Elang atau kepada hatiku sendiri. Ingin segera kuangkat kakiku dari tempat ini, berlari sejauh mungkin dan meneriakkan kesalku pada langit.

***

Aku merasa tak perlu menceritakan pada Elang bahwa dua hari yang lalu, pada Sabtu sore di gelanggang olahraga kota, aku bertemu dengan Dini. Perempuan yang membuat Elang jatuh cinta ini tetap mungil walaupun telah melahirkan seorang lelaki kecil yang mewarisi semua ketampanan Elang.

“Mbak Yesi pasti paham dengan kondisi pernikahan saya dan mas Elang. Kami sedang dalam fase yang sulit. Tapi saya sadar sepenuhnya, itulah pernikahan. Tak selalu datar, tak selalu indah. Terkadang harus juga bertemu badai. Saya sangat memahami pertemanan kalian berdua. Karena itu, jika pada akhirnya mas Elang memilih untuk bersama mbak, saya akan mundur.”

“Pemikiranmu terlalu jauh, Din.” sanggahku.

“Saya tahu, beberapa minggu terakhir ini mas Elang sering bertemu dengan mbak Yesi. Bahkan menghabiskan waktu bersama hingga larut.” tambahnya datar.

Aku ingin menyanggah ucapan Dini. Tapi jauh dari dalam hatiku, aku merasa menjadi terdakwa. Elang datang padaku, mencari pelampiasan, saat rumah tangganya sedang goyah. Tak seharusnya aku menyediakan diri padanya, meskipun hanya sebatas teman. Karena dia pria beristri, sedangkan aku wanita lajang. 

Tak seharusnya aku menemaninya menghabiskan waktu di sela-sela kepenatan hatinya. Aku bahkan menikmati kebersamaan kami. Aku suka saat Elang membawaku berkendara berkeliling sambil bercerita dan berkeluh kesah. Bahkan aku sangat senang saat dia sandarkan kepala penatnya di pundakku. Oh, betapa jahatnya aku.

“Jika mas Elang memilih bahagia bersama mbak, saya rela. Karena bagi saya, kebahagiaan mas Elang adalah hal yang paling penting.”

Dini bahkan tidak menyerangku meskipun dia tahu bahwa aku memanfaatkan situasi keruhnya rumah tangga mereka.

Kepasrahan Dini membuatku tersadar bahwa dia memang layak mendapatkan Elang. Cintanya pada Elang melebihi apa pun.

Dinul Qoyimah, ibu rumah tangga, pemilik bimbel.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *