Lelaki Jahanam

Cerpen

“Bukankah tempat di mana tidak ada rasa aman dan damai tak layak untuk disebut rumah?”

Aku terbangun basah kuyup oleh keringat. Tubuhku gemetar tak terkendali. Kepalaku sakit dan mataku berkunang-kunang. Kukuatkan diri untuk membuka nakas dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Sesuatu yang kuyakin bisa membuatku kembali baik-baik saja. 

Aku harus menghilangkan rasa ini. Kutahu aku kuat, tapi karena dulu tak bisa melawan ‘Dia’, kini aku harus selalu menghukum diriku sendiri saat mimpi itu datang.

Kuayunkan rotan yang kuambil dari nakas ke pahaku dengan sekeras-kerasnya. Rasa sakit yang menghentak membuatku menjengit sesaat. Lagi, Mel. Kamu kuat, kok. Tahan sedikit lagi sakitnya, dan kamu akan baik-baik saja setelah beberapa kali mencambuki pahami keras-keras.

Kuayunkan rotan di tanganku sekeras-kerasnya. Lagi, dan lagi.

***

Tadi siang Mama meneleponku. Entah kenapa sebulan terakhir ini beliau sering menghubungiku. Sebelumnya menyuruhku pulang sambil membawa calon suami. Saat aku bilang tak punya, beliau lalu menceritakan tentang Andika, teman SMA-ku dulu yang baru saja ditinggal mati oleh istrinya. Lalu beliau menyuruhku pulang agar bisa bertemu dengan Andika dan menjalin hubungan dengannya.

“Makanya kamu pulanglah dulu, Mel. Siapa tahu Andika itu jodohmu.” Ah, Mama. Sebegitu inginnya beliau melihatku menikah, hingga duda beranak dua pun ditawarkannya padaku. Namun, bukan masalah pria pilihan Mama yang membuatku tak mau pulang. Melainkan pulang ke rumah yang bukan seperti rumah. Bukankah tempat di mana tidak ada rasa aman dan damai tak layak untuk disebut rumah?

Kali ini beliau menyuruhku pulang karena kangen berat denganku. Wajar saja beliau kangen, karena memang sudah lebih dari lima belas tahun aku tidak pulang. Namun, kejadian selepas kelulusan SMA lima belas tahun yang lalu itu membuatku melihat rumah kelahiranku bagaikan sebuah medan perang. Bahkan, sekadar membayangkan pagar rumah itu pun aku tak berani. Sebab ketika aku membayangkannya, maka terbayang juga sebuah wajah yang membuatku minggat dari rumah.

***

“Kenapa kamu menolak semua laki-laki yang mendekatimu, sih? Usiamu sudah lebih tiga puluh tahun, bukan? Kalau begini terus, kapan kamu akan menikah?” tanya Dita sambil menyikut perutku.

Aku meringis kesakitan. “Aku gak suka …”

“Apalagi yang nggak kau sukai!” potong Dita. “Dulu si Iqbal karena bau badannya, terus si Dodi karena kumisnya. Amran karena rambutnya, dan masih banyak nama-nama lain yang kau tolak karena alasan sepele saja.”

Aku terpaksa menutup mulutku.

“Ayolah, ketemuan saja dulu dengan temanku yang ini. Nggak ada salahnya, kan? Lagian orangnya ganteng banget lho,” bujuk Dita meneruskan rayuannya yang tadi. “Kalau cocok kan bisa lanjut ke pelaminan.”

Punggungku seperti disiram air es. Dingin. Hatiku menjadi gemetar mendengar kalimat Dita barusan.

“Buatmu saja, Dit,” jawabku sekenanya. Kuhela napas panjang, berusaha mengusir rasa dingin di tubuhku.

“Apa? Kamu suruh aku bubar sama Feri? Enak aja!” Dita menjawab sewot.

“Ya … buat cadangan,” jawabku sambil berusaha tersenyum. “Laki-laki kan juga sering punya cadangan.”

Cubitan Dita ke tanganku membuatku memekik kesakitan. “Feri nggak gitu, kok.”

“Iya, iya. Feri memang cowok terbaik sedunia.” Aku lari menghindar sebelum dia mencubit ku lagi. “Awas kau, ya!”

Desakan Dita yang tanpa henti dan terus menerus akhirnya membuatku kehabisan cara untuk menolak, dan di sinilah aku. Di sebuah cafe mungil dengan segelas es jeruk dan seorang lelaki di depanku.

Tak bisa kupungkiri kalau dia memang tampan. Rambutnya yang bergelombang disisir ke belakang, seakan ingin menampakkan keindahan wajahnya dengan utuh. Alis dan bulu matanya yang tebal menambah pesonanya. Belum lagi bibirnya yang sedikit kehitaman akibat rokok yang diisapnya. Tapi, di antara semua itu yang paling mendebarkan hati adalah pandangan matanya yang setajam mata elang. Ah, seandainya ….

“Kenapa menunduk begitu? Aku bukan hantu, lho,” godanya.

Aku melengos, berusaha menyembunyikan kegugupanku.

“Masih aja malu-malu.” Ada nada tawa dalam suara Bayu, pria yang ada di depanku ini. Sebenarnya aku sudah kenal cukup lama dengannya, tapi sebelumnya aku tak pernah membalas perasaannya sama sekali.

“Enggak, kok.” Aku berusaha sekuat tenaga membalas tatapannya. 

“Sini lihat tanganmu,” katanya sambil mengulurkan tangan.

“Mau ngapain?” 

Ternyata dia ingin melihat garis tanganku. Tentu saja kutolak. Aku tak pernah percaya dengan segala macam ramalan. Namun, dia tetap ngotot dan memaksa melihat tanganku. Melihat keseriusan dan kengototannya, aku pun tak kuasa menolak.

“Memangnya kau bisa meramal?” tanyaku.

“Enggak, sih. Aku cuma mau pegang tanganmu saja,” jawabnya sambil tertawa kecil. Tawa yang membuat wajahnya semakin menarik.

Aku berusaha menarik tanganku kembali, tapi dia menggenggamnya erat-erat. Tiba-tiba rasa takut menyergapku. Kupejamkan mata sambil berkata “lepaskan!” Namun, dia sama sekali tak menggubrisku dan malah mengelus lembut punggung tanganku dengan ibu jarinya.

Aku pun membeku. Kurasakan sekujur tubuhku terasa sangat dingin. Kugigit bibir untuk meredakan ketakutan, dan tiba-tiba air mata meloncat tanpa dapat kutahan. Rasa sakit menyengat sekujur tubuhku.

“Mel! Mel! Amel!” Terdengar suara Bayu memanggilku dengan panik.

***

Aku menunduk dalam-dalam. Airmata mengajak sungai di pipiku. “Maaf ….”

“Aku yang minta maaf, Mel. Aku gak bermaksud membuatmu ketakutan.” Bayu berlutut di depanku agar bisa melihat jelas mataku. Sorot matanya nampak prihatin. “Apa yang membuatmu seperti ini?”

Aku terdiam. Aku tak punya keberanian untuk mengatakan aib itu.

“Mel, kamu butuh pertolongan. Aku gak tahu apa yang terjadi padamu, tapi kamu gak bisa begini terus.”

“Aku takut,” jawabku lirih.

“Aku tahu kamu takut, yang tidak aku tahu apa penyebabnya.”

“Aku nggak bisa cerita.”

Bayu terus saja membujukku. Pelan-pelan dia berusaha untuk mengurai penyebab ketakutanku. Dia lalu menyebutkan satu per satu orang-orang yang mungkin saja menjadi penyebab ketakutanku. Mantan pacar, sepupu, guru, mama, kakak, dan juga adikku tidak lupa disebut olehnya. Tinggal satu orang yang belum disebut olehnya.

“Apa mungkin, Papamu?” tebaknya untuk yang kesekian kali.

Aku menjerit dan ambruk di sofa. Tangisku makin tersengal, menjadi-jadi tanpa dapat kutahan. Lalu tiba-tiba, seperti sebuah bendungan jebol, ceritaku mengalir deras tak terbendung.

***

Buka baju!” geramnya. Matanya yang merah melotot kepadaku.

“Jangan, Pa ….”

“Diam!” Tangan kanannya bergerak menyambar rambutku. Jemari kirinya kasar menggenggam daguku, lalu kurasakan ada sebuah benda dingin nan tajam yang menempel di leherku. “Diam, atau kubunuh kau!”

Aku berusaha menolak dan terus mengingatkan kalau aku adalah anak kandungnya. Namun, dia sudah dikuasai setan sepenuhnya. Direnggutnya dengan paksa kaos yang kupakai, lalu dengan menggunakan kaos itu kedua tanganku diikat ke tiang tempat tidur. Tangannya bergerak melepas celana panjang ku. Lalu kurasakan bibirku dikulum dengan kasar, sedangkan tangannya kini leluasa meremas payudaraku.

Aku hanya bisa menjerit dan tenggelam dalam kegelapan panjang. 

***

Dua nama terukir di sana. Satunya nama Mama, dan yang satunya lagi nama laki-laki itu. Dadaku terasa sesak. Aku ingin menangis dan menjerit, tapi tak ada air mata dan suara yang keluar. Selain karena tubuhku terlalu lelah karena perjalanan panjang untuk sampai ke sini, aku juga menahan gemetar ketakutan yang masih terasa membekukan tulang.

Sepanjang perjalanan ke sini, Bayu terus menggenggam tanganku. “Tenanglah. Dia sudah tidak bisa lagi menyakitimu,” bisiknya.

Aku hanya diam, bergelut dengan pikiran dan ketakutanku sendiri. Ya, dia memang sudah mati. Tubuhnya memang sudah terbaring kaku dan tidak mungkin bisa menyakitiku lagi. Tapi, dia masih terus menyakiti jiwaku.

Setiap kali mimpi itu datang, aku harus mencambuk tubuhku sendiri sekeras-kerasnya. Walaupun akhir-akhir ini mimpi itu sudah jarang datang, aku masih kesulitan untuk tidur. Sebab aku sangat takut kalau sampai ketiduran, dia akan datang dan menyakitiku dalam mimpi.

Kupandangi kedua makam itu untuk yang terakhir kali. ‘Aku sangat membencimu’, geramku tanpa suara. Aku membencimu dengan seluruh jiwaku! [red/na]

Luluk Choiriyah, suka menulis suka-suka, suka tinggal di Tangsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *