Kucing Siam (Bagian 1)

Kucing Siam

“Baginya, yang penting Jeff lajang, tidak memiliki pacar ataupun istri, sehingga Monik tidak menyakiti perasaan wanita lain.”

Monik menatap sepasang bola mata biru jernih itu. Lalu tangannya membelai kepala si kucing siam. Barangkali itu untuk yang keseratus kalinya. 

Pandangan Monik menyapu ruang makan rumah mungil itu sekali lagi. “Pulang dulu ya, Sayang. Besok sehabis kerja, aku ke sini lagi.” 

Monik memastikan tempat makan dan wadah minum kucingnya terisi penuh. Lalu ia melangkah ke luar dan mengunci pintu. 

Monik mengayuh sepedanya pulang menembus keremangan senja. Kucingnya ikut mengiringi hingga beberapa meter jauhnya. Lalu kembali masuk ke rumah melalui sebuah pintu kecil yang dibuat secara khusus.

Semerbak harum sampo membelai penciuman Monik di sepanjang perjalanan pulang selama lima belas menit dengan sepeda. Ia memang menyempatkan diri mandi dulu sebelum pulang. 

Kini, kata ‘pulang’ memiliki arti berbeda. Bagi Monik, pulang berarti kembali ke penthouse suami yang dinikahinya sebulan lalu. 

Penthouse itu bergaya elegan. Bahkan ada karpet tebal berwarna lembut melapisi lantai kamar mandi. Hal itulah yang membuatnya segan untuk mandi di sana. Monik takut membasahi karpet yang harganya entah berapa digit.

Di pagi hari, Monik juga nyaris tak pernah mandi di rumah barunya. Beberapa tahun belakangan, ia bergabung dengan komunitas pesepeda Bike to Work. Ia rutin bersepeda setiap hari untuk berangkat kerja. 

Manajer IT di sebuah perusahaan multinasional ini pun terbiasa mandi di kantor sebelum bekerja. Sebetulnya, mandi tanpa membasahi karpet kamar mandi tentu tidak terlampau sulit. Monik bisa saja belajar kalau ia mau. 

Namun peristiwa kecil yang terjadi sekitar tiga minggu lalu membuatnya mengurungkan niat. Sebuah peristiwa yang membuatnya terjaga lebih lama dari seharusnya. 

Sore itu Monik merapikan majalah-majalah otomotif milik Jeff, suaminya. Pada saat itulah dia menemukan novel berjudul The Pale Horse karya Agatha Christie di bawah tumpukan majalah.

Saat duduk di bangku SMA, ia pernah membaca edisi terjemahan bahasa Indonesia novel tersebut yang berjudul Misteri Penginapan Tua. Monik berniat meminjam karena belum pernah membaca novel tersebut dalam bahasa aslinya. 

Namun Jeff melarang. “Di mana kau menemukannya? Eh, ini milik temanku. Harus segera kukembalikan. Kalau kamu ingin membacanya, besok kita beli saja di toko buku.”

“Tidak usah, aku cuma iseng kok. Lagipula aku hanya suka membaca novel-novel tentang computer programming,” Monik mencoba bercanda.

“Kamu tidak suka novel misteri? Beneran belum pernah baca novel ini?” Suara Jeff terdengar penuh selidik seperti detektif dalam serial televisi. 

Monik merasa sedikit heran. Karena itu nalurinya membisikkan agar ia berbohong.

“Belum. Aku ‘kan pernah bilang, 20 tahun terakhir ini aku hanya membaca buku-buku programming.” 

Apakah hanya perasaan Monik saja, atau Jeff benar-benar terlihat lega? 

Monik tiba-tiba merasa harus mengakui bahwa dirinya belum mengenal Jeff dengan cukup mendalam. Perkenalan, pacaran, dan persiapan pernikahan, dijalani dalam tempo tiga bulan saja. 

Amat berisiko memang, menikahi seseorang dalam waktu sesingkat itu. Namun bagi seorang gadis lajang berusia tiga puluh tujuh tahun yang diam-diam mendambakan sebuah keluarga dengan anak-anak, risiko itu dirasa cukup sepadan.

Seperti kebanyakan wanita lain, Monik pernah mendambakan seorang pendamping. Pada suatu masa, ia sering berjalan-jalan di pusat pertokoan untuk melihat-lihat deretan gaun putih menawan. 

Lalu ia membayangkan dirinya mengenakan salah satu gaun itu. Barangkali sehelai gaun satin putih sederhana. Atau gaun putih mewah dengan bermeter-meter kain brokat berhias manik-manik, tule, dan entah apa namanya. 

Namun itu dulu. 

Lantaran sosok kekasih tak kunjung tiba, lama-kelamaan pudarlah minatnya pada gaun-gaun bidadari nan mahal lagi merepotkan. Pupus pula sosok pangeran tampan dalam impian masa mudanya. 

Namun seiring lenyapnya kerinduan lama, tumbuhlah sebuah kerinduan baru.

Usai libur Idul Fitri tahun lalu, staf Monik, seorang ibu muda, terpaksa mengajukan cuti tambahan. Asisten rumah tangganya belum kembali dari kampung. Sedangkan ia harus menjaga putrinya yang masih balita. 

Sementara itu, Monik sangat membutuhkan tenaganya untuk menyelesaikan program pesanan klien. Monik mengusulkan membawa anak itu ke kantor daripada mengajukan cuti. 

Selama beberapa hari, keduanya bekerja dengan ditemani seorang anak perempuan berusia 4 tahun. Gadis mungil itu sibuk bermain boneka, lego, menggambar, mewarnai, dan tidur siang di ruang kerja Monik. 

Si gadis cilik juga diam-diam melukis di dinding kantor yang putih bersih. Lukisan istimewa untuk Tante Monik! 

Ibu si gadis marah-marah. Namun, Monik malah tersenyum geli. Ia meminta petugas kebersihan membiarkan saja coretan krayon itu.

Ketika sang asisten rumah tangga akhirnya kembali dari kampung, si gadis cilik kembali ditinggal di rumah. Ibunya merasa lega karena dapat bekerja dengan tenang tanpa gangguan. 

Namun, diam-diam Monik yang kembali merasa sepi. Ia merindukan celotehan si gadis cilik. Ia juga sering menatap goresan krayon yang masih menghiasi dinding kantor. 

Tiba-tiba, Monik menyadari bahwa kerinduannya telah berubah. Monik mendambakan kehadiran seorang anak.

Di negara maju, barangkali bank sperma bisa menjadi solusi. Namun di negeri ini, ia membutuhkan seorang suami. 

Sejak saat itu, Monik tak lagi mencari cinta. Ia sekedar mencari pasangan yang dapat memberinya keturunan. 

Pucuk dicinta ulam tiba, bos pemilik perusahaan terang-terangan menjodohkan Monik dengan Jeff. Jeff adalah pengusaha berusia awal empat puluhan yang masih melajang. 

“Ia adalah CEO sekaligus pemegang saham terbesar dalam perusahaan yang didirikan oleh almarhum kedua orang tuanya. Jeff putra tunggal. Saya kenal baik dengan kedua orang tuanya. Ayah Jeff dan saya dulu pernah bekerja sama membangun perusahaan ini dari nol, sebelum akhirnya ia mendirikan perusahaan sendiri,” ujar bos pemilik perusahaan.

Lantaran tak lagi mempertimbangkan soal cinta, Monik dapat menerima kehadiran pria itu dengan mudah. Baginya, yang penting Jeff lajang, tidak memiliki pacar ataupun istri, sehingga Monik tidak menyakiti perasaan wanita lain.

Meski demikian, sebelum mengikatkan diri pada institusi pernikahan, Monik merasa perlu menyelidiki latar belakang Jeff lewat internet. Ternyata Jeff telah menjual hampir seluruh kepemilikannya atas perusahaan tersebut. 

Kini ia tak ubahnya seorang CEO yang digaji. Penthouse mewah dan sebuah mobil adalah hartanya yang terakhir di dunia ini. Rupanya ia tidak mewarisi bakat usaha dan keuletan almarhum ayahnya.

Namun, peduli setan dengan prestasi kerja. Bukankah jam biologis Monik terus berdetak? 

Entah sampai kapan sel-sel telurnya akan tetap berada dalam kondisi cukup baik untuk dibuahi. Asalkan Jeff bersedia membangun rumah tangga bersamanya, serta menjadi ayah yang baik bagi anak-anak mereka kelak, itu sudah cukup. 

Namun peristiwa penemuan novel Agatha Christie di bawah tumpukan majalah itu mengaktifkan alarm bawah sadar di benak Monik. Baginya, melarang seseorang membaca novel adalah sesuatu yang aneh. 

Alarm kedua berbunyi seminggu kemudian, pada suatu hari Minggu pagi yang indah. Usai menghirup kopi pagi, suaminya mengulurkan sebuah map tipis bersampul mewah. Ada logo sebuah perusahaan asuransi internasional di map tersebut.

Rupanya Jeff hendak membeli polis asuransi jiwa untuk Monik. Nilai pertanggungannya cukup fantastis. Satu juta dolar Amerika! 

Jeff beralasan bahwa asuransi jiwa sudah menjadi tradisi dalam keluarganya. Sesuatu yang memantik kewaspadaan baru di benak Monik.

“Kamu tahu jantungku lemah. Beruntung ayahku membelikan polis asuransi jiwa untuk kami sekeluarga sejak aku lahir, bahkan sebelum kondisi jantung lemahku itu diketahui. Jadi, asuransiku masih berlaku. Nilainya satu juta dolar. Jika terjadi apa-apa padaku, kamu takkan hidup kekurangan. Karena itu, sesuai tradisi yang dimulai ayahku, aku juga ingin membeli asuransi serupa, atas namamu.”

Kata-kata Jeff itu terasa masuk akal. Monik tidak punya alasan untuk menolak. Ia pun menandatangani polis asuransi tersebut. 

Tiba-tiba angannya melayang pada Ginger Corrigan, tokoh wanita pemberani yang nyaris kehilangan nyawanya dalam novel The Pale Horse. Malam itu, dalam tidurnya yang gelisah, Monik bermimpi masuk ke dalam novel dan menjelma Ginger.

Sambil menyembunyikan diri dalam mantel panjang berwarna hitam, Jeff —atau apakah itu Mark Easterbrook, kekasih Ginger?— mendatangi penginapan tua bernama The Pale Horse alias Kuda Pucat. 

Nama yang aneh. Namun para pengurusnya bahkan lebih aneh lagi. 

Menurut desas-desus, Thyrza, Sybill, dan Bella adalah tiga orang penyihir yang dapat dipesan jasanya untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara gaib. Sedemikian gaibnya sehingga korban akan meninggal secara wajar, tanpa menimbulkan kecurigaan dari pihak berwajib.

“Aku penasaran ingin tahu cara kerja para penyihir itu. Pergilah. Pura-puralah menjadi seorang suami yang ingin membunuh istrinya. Pesanlah jasa mereka untuk membunuhku. Akan kunanti mereka di sini. Kutuk atau sihir macam apa pun takkan membuatku jeri.” Demikianlah Ginger yang gagah berani menawarkan diri. 

Mark yang mulanya enggan, lama-kelamaan setuju. Ia mewanti-wanti Ginger agar selalu waspada dan menjaga diri baik-baik.

Entah sihir atau kutuk itu bekerja atau tidak. Selang beberapa waktu, toh Ginger masih hidup dan baik-baik saja. Ia hanya sedikit lemah karena terserang flu, dan mengeluhkan rambutnya yang mudah rontok. 

Lalu tiba-tiba Mrs. Oliver, penulis cerita detektif kenamaan itu, menelepon Mark sambil melolong-lolong histeris. “Itu thallium! Gejala keracunan thallium! Segera keluarkan dia dari sana!!!” 

Teriakan histeris Mrs. Oliver yang terasa amat nyata. Begitu mengusir Monik dari alam mimpi.

Ya, ternyata bukan sihir yang mampu membunuh orang. Tapi thallium yang secara diam-diam dimasukkan ke dalam produk konsumsi sehari-hari. Seperti pasta gigi, losion pelembab kulit, sabun cair, dan sampo. 

Jika seseorang terpapar thallium sedikit-sedikit dalam jangka waktu lama, pada saat ia meninggal, efeknya akan terlihat seperti serangan penyakit, bukan pembunuhan. Tiba-tiba Monik bergidik. 

Setelah mereka menikah, Jeff memang menghadiahkan seperangkat sabun, losion, sampo, dan parfum mahal dari Paris. 

Namun, Monik baru memakainya sedikit. Hal itu karena kebiasaannya mandi pagi di kantor. 

Dia juga mandi sore di rumah almarhum orang tuanya, sekaligus menengok si Kitty. Kucing kesayangannya yang sudah tua itu terpaksa ditinggal di rumah, karena penghuni penthouse dilarang memelihara binatang. 

Jangan-jangan ….

[red/san-red]

Santi Kurniasari, pecinta kucing, menulis untuk healing.

Baca Bagian 2

2 thoughts on “Kucing Siam (Bagian 1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *