Ke Mana Sepeda Aira?

Cernak

“Tadi saat kakak melintas di pos ronda depan gang, kakak melihat ada sepeda tergeletak di belakang pos ronda. Tadi nggak seberapa kelihatan warnanya, tapi mungkin saja itu sepeda adik. Ayok kita cek lagi ke sana.”

Ibu baru saja akan mengangkat pakaian karena sepertinya hujan akan turun, ketika tiba-tiba terdengar suara pagar besi halaman yang didorong paksa. Aira datang dengan tergopoh-gopoh. Maskernya segera dibuka, lalu menangis.

“Sepedaku dicuri orang, Bu!” teriaknya dari halaman depan.

Ibu tidak menyahut. Ibu sedang fokus mengambil pakaian yang terjatuh. Telinga Ibu mungkin tidak mendengar teriakan Aira. Apalagi, Ibu sedang ada di lantai atas.

Satu atau dua tetes air hujan sudah menetes di baju Ibu. Tangan ibu menengadah untuk mengecek air hujan yang turun. “Wah, sepertinya hujan semakin deras,” pikir Ibu. Dengan cepat, Ibu bergerak ke sana ke mari untuk meraih semua jemuran yang belum terangkat.

Aira mendongak ke atas. Oh, ternyata ibunya sedang mengambil jemuran. Pantas saja, beliau tidak mempedulikan tangisan Aira. Walaupun begitu, Aira tetap cemburu karena ibunya lebih mementingkan air hujan. Padahal, Aira juga berarti air dalam bahasa Jawa. Sama-sama air, kenapa Ibu lebih mementingkan air hujan, pikir Aira.

Ibu akhirnya sadar kalau anak perempuannya sudah pulang saat melihat lambaian tangan anaknya itu. Secepat kilat, Ibu masuk ke dalam rumah dan menyimpan pakaian.

Dengan gerak cepat pula, Ibu menuruni tangga untuk membukakan pintu. Setelah pintu dibuka, Aira segera merangkul Ibunya. Sambil menangis, ia pun bercerita.

“Sepedaku dicuri orang, Bu!” serunya berulangkali sambil terus menangis.

Ibu ikut panik mendengarnya.

“Memangnya hilang di mana?” ujar Ibu sambil mengajak Aira duduk di ruang tamu.

“Tadi sewaktu bermain dengan Rara, aku beli dulu jajanan di warung Bu Ida. Sepedanya kutaruh di luar warung. Pas selesai belanja, sepedanya hilang,” ujar Aira sesenggukan.

“Waduh, sudah tanya Rara?” Ibu mengernyitkan dahi.

“Sudah. Rara tidak tahu karena masuk ke dalam warung juga,” jelas Aira masih menangis.

“Mungkin pas kamu di dalam, ada orang yang minjam.”

Aira tambah merengek.

Ibu yang masih capek karena tadi berlari ke sana ke mari, mengambil air dingin di kulkas. Ibu pun mengajak Aira istirahat di dapur sambil minum air dingin, mencoba mengurangi rasa lelahnya dan juga rasa panik anaknya.

“Sebentar. Kita tunggu kakakmu pulang dulu ya. Di luar masih hujan. Setelah kakakmu pulang dan hujan reda, kalian coba lihat lagi ke warung Bu Ida,” kata Ibu menenangkan Aira.

Satu jam berlalu dan hujan pun berhenti. Kebetulan sekali, beberapa menit setelah hujan reda, Angga -kakak Aira- pun pulang dari membetulkan sepeda di bengkel. Sejak musim COVID-19 lalu, anak-anak di kampung memang senang bermain sepeda.

“Assalamu’alaikum. Aku pulang,” seru Angga.

“Uwaaaaa … hiks … hiksss ….” Aira masih saja menangis sampai-sampai matanya memerah.

Angga heran melihat adiknya menangis. Angga pun bertanya pada Ibu, “Kenapa adik menangis, Bu?”

Ibu menjelaskan tentang sepeda Aira yang tiba-tiba hilang. Angga mengangguk, lalu seperti teringat sesuatu.

“Sebentar. Tadi saat kakak melintas di pos ronda depan gang, kakak melihat ada sepeda tergeletak di belakang pos ronda. Tadi nggak seberapa kelihatan warnanya, tapi mungkin saja itu sepeda adik. Ayok kita cek lagi ke sana. Mumpung hujan sudah reda,” kata Angga.

Angga, Aira, dan Ibu pun pergi ke pos ronda depan gang kampung. Jarak pos ronda dari rumah mereka tidak jauh. Hanya butuh sekitar lima menit berjalan kaki.

“Tadi, aku simpan sepedanya di samping warung Bu Ida sana,” kata Aira menunjuk ke arah kebun dekat warung Bu Ida.

“Ya sudah. Ibu sementara di sini dulu sambil tanya-tanya ke Bu Ida barangkali melihat sepedamu. Kamu lanjut cari bersama Kak Angga ke pos ronda, ya!” perintah Ibu pada Aira.

Aira yang sekarang sudah tidak terlihat menangis, segera mengangguk. Gadis delapan tahun itu memegang erat jemari sang Kakak yang empat tahun lebih tua darinya. Mereka pun berjalan bersama-sama.

Sementara itu, jarak warung Bu Ida ke pos ronda kampung sekitar 50 langkah jalan kaki anak-anak. Jadi, mereka pun melanjutkan langkah hingga ke pos ronda kampung.

“Eh, lihat. Itu sepeda kamu kan, Aira?” tanya Angga sambil menunjuk ke belakang pos ronda.

Mereka pun bergegas berlari. Benar saja, sepeda Aira ternyata ada di sana. Sepeda Aira tergeletak begitu saja di belakang pos ronda. Pada sadel sepedanya terdapat lumpur yang begitu kotor.

Angga melihat-lihat sekitar pos ronda. Ada tiga anak yang kebetulan berada di dekat pos ronda. Ada Dzikri yang sedang memegang payung di depan gapura gang kampung, Fathir yang sedang bermain bola di depan pos ronda, dan Mimi yang sedang bermain sepeda di depan pos ronda.

Angga pun penasaran. Ia meminta ketiga anak tersebut berkumpul di pos ronda dan bertanya pada mereka. Kebetulan, Angga adalah penggemar komik detektif. “Ini saatnya aku memecahkan kasus,” ujarnya pada Aira.

“Apakah kamu melihat siapa yang memindahkan sepeda Aira?” tanya Angga.

Angga bertanya pada tiga anak itu satu per satu. Sambil mengelus hidung, Angga menirukan gaya detektif yang sedang menginvestigasi kasus.

Dzikri mengaku ia hanya kebetulan lewat di depan pos ronda. Ia hendak pergi ke depan gang untuk menjemput ibunya. Ia tadi berjalan melewati pos ronda sambil membetulkan payung, sehingga tidak melihat sekitarnya.

Fathir menjelaskan kalau ia tidak tahu soal siapa yang membawa sepeda. Ia sedang bermain bola sambil hujan-hujanan. Jadi, ia tidak tahu soal sepeda itu.

Mimi berkata, “Aku pun sedang bermain sepeda sebelum hujan turun. Lalu, aku segera pulang saat hujan. Jadi aku tidak melihat orang lain. Aku baru bersepeda lagi di sekitar sini saat hujan selesai.”

Angga mendengarkan ketiga alasan mereka dengan secermat mungkin. Lalu, Angga mengangguk-angguk seolah tahu sesuatu.

“Wah … wah … wah … salah satu dari tiga anak ini telah berbohong. Anak itu sudah memakai sepeda Aira dan memindahkannya ke belakang pos ronda,” jelas Angga pada adiknya.

Angga lalu mendorong sepeda Aira dari belakang pos ronda.

“Coba lihat ini. Tadi, Aira pergi ke warung sebelum hujan kan? Sepedanya masih bersih, betul? Sekarang, coba lihat, sepedanya penuh lumpur,” ujar Angga.

“Iya betul Kak. Tadi tidak sekotor ini,” kata Aira.

“Aku pikir pelakunya adalah Fathir!” seru Angga, lalu menjelaskan alasannya, “Fathir tidak memakai sandal saat bermain bola. Begitu hujan turun, tanah di kaki Fathir jadi lumpur dan mengotori sadel sepeda.”

Fathir menjatuhkan bolanya. Ia lalu meminta maaf. “Kak Angga benar, aku tadi yang membawa sepeda Aira ke sini. Tadinya, aku hanya pinjam saja untuk keliling kampung karena Aira sedang belanja di warung. Tapi hujan turun sehingga aku belum sempat mengembalikannya.”

Angga memaafkan kesalahan Fathir. Ia juga meminta Aira memaafkan Fathir. Bahkan, Aira membolehkan Fathir meminjam sepedanya untuk sehari itu. Angga pun berpesan kalau mau meminjam barang milik teman harus meminta izin terlebih dahulu, agar yang punya barang tidak merasa kehilangan dan persahabatan pun tetap terjaga.

Re Makram, senang mendongeng dan membaca. Bergiat di Taman Bacaan Masyarakat Kopi Kami Sukabumi

[red/na]

One thought on “Ke Mana Sepeda Aira?

  1. Mantab…. sepele ya tapi dikemas dengan bahasa yg ringan dan ahli meramu tulisan tentunya menjadikan cerita yg sepele menjadi waow… saya iri karena tidak bisa, sukses penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *