Kandas

“Ada sedikit sesal dan rasa malu di benak Hadi. Mengapa baru sekarang ia tahu kalau mereka sesungguhnya sudah saling dekat sejak mereka di bangku SMA.”

Sudah dua malam tidur Hadi tak nyenyak. Berbagai masalah berputar kencang di kepalanya. Setiap terjaga di tengah malam, hanya kata-kata Wawan yang terngiang. 

“Mas Hadi, kali ini aku benar-benar minta tolong sama Mas. Mohon Mas Hadi mau mengerti,” pinta Wawan dengan wajah memelas sambil memegang tangan dan menatap Hadi saat mengajukan permohonannya. Hadi tak kuasa membalas tatapan mata Wawan yang penuh harap.

“Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas Hadi ada hati dengan Murti, tapi ketahuilah kami menjalin kasih sudah lama.” Wawan mengatakan itu dengan hati-hati demi menjaga perasaan Hadi.

Tak biasanya Hadi menanggapi lawan bicara seserius itu. Bahkan dia termasuk pemuda yang tak mudah menyerah dan selalu semangat dalam kesehariannya walau hidup dalam keterbatasan. Namun demi Wawan dia akan berusaha melakukan yang terbaik selama ia mampu.

Beberapa kali Hadi mendapati Wawan tengah main ke rumah Murti ketika dia juga hendak main ke sana. Motor Ninja kesayangan Wawan telah lebih dulu terparkir di halaman rumah Murti sebelum ia datang. Hadi tahu Wawan jatuh hati dengan gadis manis itu dan sebaliknya Wawan tahu diam-diam Hadi juga naksir Murti.

Ada sedikit sesal dan rasa malu di benak Hadi. Mengapa baru sekarang ia tahu kalau mereka sesungguhnya sudah saling dekat sejak mereka di bangku SMA. Hadi terlalu polos sampai tak mengendus bahwa mereka sudah berpacaran. Ternyata gadis yang ia idam-idamkan sudah punya tambatan hati.

Malam itu hujan gerimis yang disertai angin membuat sebagian orang berselimut, nyenyak dibuai mimpi. Namun bagi Hadi terasa gerah, sumuk, hingga memaksa tangannya untuk membuka jendela yang kusennya sudah dimakan rayap di sana sini.

Udara malam yang bercampur aroma gerimis dihirupnya kuat-kuat berharap keruwetan di kepalanya sedikit terurai. Para nyamuk nakal yang haus darah muda Hadi, tak menyia-nyiakan kesempatan menyerbu secara berjamaah saat jendela dibuka.

Sengaja ia biarkan nyamuk-nyamuk nakal itu berebutan. Tubuh kekar yang ia miliki seolah tak berarti padahal selama ini banyak yang iri dengan postur tubuhnya yang tegap berdada bidang dan berperut kotak-kotak. 

Di antara teman sepermainannya, terutama di mata para gadis desa, dialah yang paling gagah dan mempesona. Salah satu gadis itu adalah Murti, Siti Murtiningsih, primadona desa ponakan Pak Lurah yang diam-diam ia kagumi.

Hadi, pemuda desa lulusan SMK jurusan otomotif kini bekerja di bengkel sepeda motor milik Pak Rahmad. Dia terkenal jujur, santun, rajin bekerja dan tak banyak omong. Dari hasil kerja di bengkel cukup untuk hidup bersama ibunya yang menjanda karena bapaknya berpulang ketika Hadi masih kecil.

Atas bantuan Pak Rahmad, Hadi mampu menyelesaikan sekolah hingga tamat SMK. Dia tipe anak yang tahu diri dan pandai bersyukur. Budi jasa Pak Rahmad tak akan ia lupa dan ia bersedia kerja di bengkel sebagai balas jasa atas kebaikan Pak Rahmad sekeluarga.

Pak Rahmad sekalian sangat menyayangi Hadi seperti anak sendiri. Tak terhitung bantuan yang mereka berikan kepada Hadi juga kepada ibunya. Bahkan ketika ibunya sempat opname di RS lantaran diare hebat, Pak Rahmad yang mengurus semuanya.

***

Suatu siang yang terik, tampak beberapa pemuda sibuk menghias pagar depan rumah masing-masing. Sejumlah umbul-umbul telah dipasang rapi di pinggir jalan dan bendera merah putih dengan berbagai ukuran ikut menghiasi wajah kampung hingga tampak indah warna-warni.

“Saudara-saudara, khusus Perlombaan Panjat Pinang kali ini bertabur hadiah istimewa dan menarik, tidak seperti tahun-tahun yang lalu. Ayo! Kita meriahkan HUT Kemerdekaan tahun ini dengan meriah. Merdeka!” 

Wawan, putra semata wayang Pak Rahmad memberi pengumuman kepada warga usai salat Jum’at di sebuah Masjid desa dengan penuh semangat.

“Bagi peserta yang tahun lalu menjadi juara, tahun ini tidak diperkenankan ikut perlombaan demi memberi kesempatan peserta lainnya,” lanjut Wawan.

Sebagai seorang mahasiswa yang aktif di kampus, ia juga aktif di setiap kegiatan desa seperti peringatan tujuh belasan dan sebagainya. Tahun ini dia terpilih sebagai ketua panitia berbagai perlombaan yang diselenggarakan dalam acara HUT Kemerdekaan RI di kampungnya.

Perangai Wawan sehari-hari mirip bapaknya. Suka menolong, murah senyum dan berperilaku andhap asor yaitu rendah hati. Hidup serba kecukupan sejak bayi, tak membuatnya sombong. Ini tak lepas dari gemblengan dan tempaan kedua orang tuanya.

Tumbuh sebagai jejaka tanggung yang berparas tampan, dia memiliki banyak penggemar terutama gadis-gadis ABG di kampung meski dia sudah punya kekasih. Semua ditanggapi dengan ramah sehingga makin menambah level ketampanannya di mata orang-orang tua dan di mata teman-temannya baik laki-laki maupun perempuan.

Tepat jam satu siang lomba panjat pinang dimulai. Dari sekian perlombaan, panjat pinang jenis lomba yang paling ditunggu-tunggu. Selain atraksi ini abadi sepanjang masa, panjat pinang memakan durasi waktu yang agak lama membuat para penonton merasa puas dan terhibur.

Ada sosok yang selalu menang di setiap lomba panjat pinang dalam beberapa tahun terakhir. Seolah tak tertandingi karena selalu dia yang menang. Tapi siang itu terpaksa jadi penonton yang ikut hore-hore bersama warga lainnya. Siapa lagi kalau bukan dia? Hadi. 

Kendati selalu menang, Hadi tidak lantas besar kepala. Tidak bisa ikut lomba di tahun ini karena terbentur aturan, tak membuatnya sedih. Hanya ada sedikit kecewa dalam hati yang segera ia tepis yaitu cita-citanya untuk mendapatkan hadiah utama sepeda harus dia pendam dalam-dalam. 

Penonton yang kebanyakan para warga kampung sudah tak sabar menunggu. Ada yang berteriak memanggil nama Hadi. Ada sebagian lain yang menoleh kanan kiri seolah mencari sosok Hadi, si pelanggan juara, karena siang itu tidak tampak di antara para peserta lomba.

Suasana makin seru ketika para peserta lomba satu per satu melorot tajam karena batang pinang yang licin. Di sinilah keseruan yang sangat dinikmati penonton hingga mereka lupa “sang juara bertahan” ternyata tak tampak hingga akhir acara.

Semua penonton baru sadar ketika diumumkan bahwa juara Lomba Panjat Pinang kebetulan dimenangkan oleh Wawan putra Pak Rahmad. Banyak penonton yang terkecoh saat itu karena tubuh Wawan belepotan oli sebagai pelumas batang pinang untuk mempersulit peserta dalam memenangkan lomba ini.

Para penonton yang tadinya riuh rendah sambil bersorak sorai kini sedikit mereda. Para warga sudah mafhum di setiap perlombaan tujuh belasan, Pak Rahmad merupakan penyandang dana terbesar dan itu sudah terjadi selama bertahun-tahun.

Ketika penonton sedang fokus ke Wawan sebagai juara, Hadi yang hanya memperhatikan dari kejauhan berlangsungnya perlombaan, pelan-pelan meninggalkan arena lomba untuk pulang ke rumah. Dia ikut merasa bahagia melihat Wawan memenangkan lomba tersebut. Hatinya lega dan ikhlas, seikhlas dia melepas Murti dari angan-angannya untuk memiliki gadis itu. 

Suatu hari dengan penuh santun Wawan telah memintanya untuk tidak mendekati Murti. Dia harus jantan, ksatria dan memegang teguh komitmen tidak akan merebut kekasih Wawan walaupun gadis itu sangat didambakannya. Meski harapannya kandas bukan berarti kehilangan semangat.

Panah asmara cinta pertama Hadi adalah Murti. Namun kini dia sadar, Wawan pun punya hak untuk memiliki hati kembang desa itu. Tak ada dalam kamus kehidupan Hadi untuk bersaing dengan Wawan. Dia sangat menyayangi Wawan sebagaimana ibunya juga menyayangi.

***

Adegan mengharukan malam itu, dua puluh tahun lalu seakan berlalu-lalang dalam ingatannya akhir-akhir ini. Bagaimana roman muka ibunya saat melepas bayi merah dari gendongan, masih terekam jelas di memorinya dan sulit ia lupakan.

“Ibu tak usah khawatir, kami berdua akan selalu menyayangi Wawan sepenuh hati. Dia akan kudidik dengan sebaik mungkin. Ibu dan Hadi sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri,” Pak Rahmad bicara dengan nada pelan sambil memandang ibu Hadi dan Hadi bergantian.

Hadi ingin menjerit namun tertahan. Air mata ibunya bercucuran di pipinya yang pucat. Sembari memeluk Hadi kecil, ibunya tak kuasa untuk menghentikan tangisannya malam itu. Mereka berdua masih berdiri mematung di serambi melepas bayi Wawan hingga lenyap diujung jalan kampung.

Hadi hanya memandang dengan mulut menganga dan mata berkaca-kaca sebagai bentuk rasa kehilangan yang tidak berani ia ungkapkan. Malam itu Pak Rahmad dan Bu Rahmad tak mampu menyembunyikan rasa bahagia mereka, membawa pulang bayi Wawan dan berjanji akan merawatnya dengan penuh kasih sayang.

Wurry Srie. Ibu rumah tangga yang suka menulis.

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *