Ibu Tana Matao

Tana Matao

“Biarkan aku menyampaikan pesan-pesan tajam itu, yang bisa meledakkan kepala penduduk negeri ini untuk mengalahkan omong kosong penguasa atas nama kemakmuran, tetapi hanya untuk keuntungan segelintir orang.”

Dari atas menara mercusuar tua yang terbengkalai ia memandangi Matao. Angin laut menggoyangkan rambutnya, menampar wajahnya yang dingin. Angin itu senang menyelinap masuk ke dalam kepalanya: ia menimbang-nimbang sebuah keputusan untuk Matao atas penderitaan penduduk yang hidup dari laut dan mengibu dari hutan cedar di pulau itu.

“Ikan-ikan sudah tidak ada. Jauh … jauh pergi dari Matao. Matao telah sepi dari cedar yang kita banggakan.” Ia menirukan keluh kesah penduduk, yang ia perdengarkan kepada angin dan riak-riak air laut. 

Ia menyaksikan banyak perahu-perahu nelayan yang teronggok hingga lapuk dimakan musim-musim yang lewat. Apabila masih ada yang melaut, perahu-perahu itu sudah berlayar terlalu jauh ke tengah lautan, mengejar ikan-ikan yang melarikan diri dari Matao.

Hutan cedar yang gagah telah tandus. Matao yang hijau menjelma kecokelatan, dengan kelabu asap cerobong dari tambang nikel yang mencengkeram pulau itu seperti tentakel gurita. 

Ia begitu menyukai kehadirannya di tempat itu, sehingga ia tidak pernah pergi ke mana-mana dan enggan kembali sebagaimana dirinya yang mula-mula. Dan tentang bagaimana kelahirannya, juga bukan hal yang biasa; ia tidak lahir dari rahim seorang perempuan, tidak pula ia pernah menyusu pada seorang perempuan barang sekali saja.

Ia hanya mengenal seseorang sejak kelahirannya. Seorang penulis muda yang 16 bulan lalu tubuhnya menyatu dengan laut Matao. 

Penulis muda itu bunuh diri karena didorong oleh kemarahan dan kekecewaan atas rasa takutnya, kepada dirinya sendiri. Tubuh penulis itu ditemukan tersangkut di antara batu-batu pemecah ombak, di sekitar menara mercusuar. Kejadian itu disangkakan sebagai kecelakaan oleh penduduk, meskipun ada sebagian anggapan bahwa penulis itu sudah diberangus mulut dan dipatahkan penanya oleh penguasa.

Penulis muda yang ia kenal itu adalah seorang sarjana yang dianggap mampu menghadapi penguasa oleh penduduk Matao. Penulis itu tertekan melihat wajah-wajah penduduk—laki-laki dan perempuan, tua dan muda—yang menaruh banyak harapan kepadanya di balai pertemuan desa.

Tidak ada yang tidak ia ketahui tentang penulis muda itu. Bahkan sampai ke sudut-sudut tersempit hatinya, tempat penulis itu menyembunyikan ketakutan dan kecemasannya—penulis yang bersembunyi dalam tulisan-tulisan, dalam bukunya “Ibu Tana Matao”—atas protesnya kepada penguasa. 

***

Pada sebuah senja yang buram, ia pergi menjumpai seorang laki-laki yang berdiri mematung menghadap laut, di bawah menara mercusuar. Dengan gaun putihnya yang berkibar-kibar lemah, dan rambut panjangnya yang sama bergoyang karena angin, ia berdiri di samping laki-laki muda itu.

“Langkai!” Ia menyapa. Demikian nama laki-laki itu, yang ia kenali sebagai penulis muda yang pengecut.

Laki-laki itu menoleh. Tidak ada keterkejutan di wajahnya, tidak ada sesuatu yang membuatnya dalam keragu-raguan. Langsung saja ia mengenali perempuan yang menyapanya. “Baine ….”

“Lanjutkan tulisanmu, Langkai,” katanya. Kemudian angin dingin berembus makin kencang. Suara ombak pecah menyela ucapan perempuan itu. “Supaya aku bisa menyampaikan pesan-pesanmu,” lanjutnya.

Tidak ada yang dikatakan Langkai. Ia tidak punya nyali menantang tatapan Baine.

“Jangan salahkan aku, bila aku melakukan sesuatu yang buruk.”

“Bagaimana mungkin kau bisa? Kau tidak punya kehendak dan kuasa. Kau hanya tokoh dalam cerita yang kubuat. Tidak ada kehendak atas dirimu, kecuali dari aku. Dan ….” Langkai memutus ucapannya.

“Dan apa?”

“Dan bahkan cerita itu tidak selesai.”

“Karena itulah aku ada di sini. Karena itu aku memiliki kehendakku sendiri. Aku lahir karena sikap pengecut seorang penulis yang bersembunyi dalam komanya!” Mata Baine menembus tajam ke dalam mata Langkai.

Baine lantas menjauhi Langkai, ia melangkah mundur ke arah menara mercusuar, tubuhnya semakin mengecil dalam pandangan Langkai. Dengan suaranya yang dibawa angin, perempuan itu berteriak, “Bangunlah, Langkai! Bila tidak, kau akan menyaksikan kehancuran Tana Matao!”

Kemudian ia menghilang dari pandangan Langkai, keluar dari alam bawah sadar penulis itu.

Denyut jantung Langkai mendadak laju. Aktivitas otaknya yang terekam layar monitor menunjukkan gelombang yang tidak menentu. Tubuh Langkai yang tertidur menggelepar di atas ranjang. Segala kepanikan terjadi di dalam ruang rawat itu.

***

Baine menjumpai lagi Langkai di mercusuar pada sebuah waktu, yang wajah penulis muda itu membawa serta kecemasan. Petang itu sama suramnya dengan petang yang lalu. Di alam bawah sadar Langkai, hari selalu petang dan suram, seperti potret hitam putih.

“Sesuatu yang buruk seperti apa yang bisa kaulakukan?” Langkai memecah kebisuan. Sementara angin dan ombak bercakap-cakap dalam kegelisahan, sesekali camar datang menimpali mereka.

Baine menatap Langkai sebentar sebelum berucap, yang dari gelagat perempuan itu, ia hendak menyampaikan sesuatu yang serius, “Jangan lupakan tentang aku, Langkai. Aku adalah wajah Tana Matao yang kauciptakan. Seorang perempuan tangguh dalam ceritamu. Kekuatan yang kauberikan itu akan menjelma petaka yang tidak bisa kaubayangkan.”

Langkai terenyak sejenak. Kemudian mendapatkan lebih banyak ingatan-ingatan tentang “Ibu Tana Matao”. “Benar kau seorang pemberani yang cerdas. Tetapi kau tidak punya kekuatan aneh yang dahsyat, kecuali ketajaman lisanmu, dan pemikiran-pemikiranmu,” ucap Langkai.

“Langkai, sudah aku katakan sebelumnya bahwa aku telah memiliki kehendak atas diriku. Aku bukan lagi sekadar tokoh dalam cerita. Karenanya kuingatkan padamu untuk bangun, selesaikan “Ibu Tana Matao” biarkan aku menyampaikan pesan-pesan tajam itu, yang bisa meledakkan kepala penduduk negeri ini untuk mengalahkan omong kosong penguasa atas nama kemakmuran, tetapi hanya untuk keuntungan segelintir orang. Yang menjadikan penduduk kehilangan tanahnya, memaksa mereka menjadi buruh di tambang itu, menjadi babu di tanah sendiri.”

Langkai tertegun. Angin dan ombak bernyanyi parau, yang nyanyian itu menyuburkan kecemasan di hati Langkai, semakin liar, nyaris menembus dada dan batok kepalanya.

Baine melangkah pergi menuju laut setelah menyudahi ucapannya. Tubuhnya semakin samar kemudian menyatu dengan laut Tana Matao. Mata Langkai masih bisa menangkap rambutnya yang mengapung di permukaan air dari kejauhan.

Wajah Langkai kembali menampakkan kegelisahan yang nyata dalam tidurnya. Ia meracau, menyebut-nyebut nama Baine. Ia berpeluh, sampai peluh itu membasahi hampir seluruh pakaiannya.

***

Laut Tana Matao bergolak pagi itu. Beberapa hari cuaca begitu buruk. Ada getaran-getaran halus di daratan Tana Matao dan suara-suara seperti sangkakala ditiup dari dalam lautan.

Wajah gelisah Langkai kian menjadi-jadi. Tubuhnya bergetar sampai terguling jatuh dari tempat tidur. Ia sedang berada dalam percakapan dengan seseorang dalam ketidak-sadarannya. Tubuhnya yang menggeliat di lantai mendadak berdiri. Langkai bangun dari tidur panjangnya yang bukan mati.

Tidak kurang suatu apa pun dalam dirinya, termasuk kewarasannya. Ia bisa dengan cepat menyadari sedang berada di mana. Langkai tidak mengatakan banyak hal kecuali, “Tana Matao” yang ucapan itu seperti gumaman untuk dirinya. 

Langkai berlari keluar tidak dengan alas kaki dari rumah sakit menuju pelabuhan. Di sana, ia memaksa perahu ketinting untuk mengantarnya ke Tana Matao. 

Pemilik perahu ketinting menolak karena cuaca buruk di perairan Tana Matao. Tetapi Langkai tidak mau tahu, ia melarikan sendiri perahu ketinting itu di tengah-tengah perang mulut yang sengit.

Kabut gelap menutupi Tana Matao. Dari kejauhan seolah-olah Tana Matao adalah dunia lain yang terpisah dari dunia manusia. Langkai menembus kabut hitam itu, dan mulai merasakan aura yang berbeda: udara yang dingin menusuk, angin kencang, gelombang yang ganas, dan suara-suara aneh.

Langkai melompat turun dari perahu ketinting setelah perahu motor itu menepi ke pantai. Kepada setiap penduduk yang ia jumpai, Langkai meminta mereka segera meninggalkan Tana Matao. Ia tidak punya banyak waktu untuk menjelaskan panjang lebar, dan kemudian meninggalkan orang-orang itu dalam kebingungan. 

Langkai memacu larinya cepat menuju Utara Tana Matao, ke menara mercusuar. Di sana, pada akhirnya ia berdiri gamang. Di puncak menara itu tampak olehnya seorang perempuan bergaun putih, berambut panjang yang pernah ia temui. 

Dialah Baine. Perempuan itu tampak sedang mengangkat kedua tangannya ke atas. Angin dan ombak menurut ke mana jari-jari perempuan itu bergerak.

Langkai berteriak kencang, suaranya menembus kesiur angin, “Hentikan, Baine!”

Wajah perempuan itu menoleh ringan. “Tidak ada yang perlu dihentikan. Tana Matao sedang sekarat.”

“Kau bisa membunuh seluruh penduduk!”

“Mereka dengan senang hati, Langkai. Sejatinya mereka sudah lama mati bersama Tana Matao. Sudah tidak ada kebanggaan di pulau ini. Tidak ada kehidupan lagi di tanah kelahiranmu.”

Langkai kemudian tertawa. Di sela-sela tawanya yang enggan berhenti, ia berkata, “Kau tidak nyata! Betapa bodohnya aku mempercayai keberadaanmu di sini.”

Tawa Langkai mendadak berhenti ketika Baine menjentikkan jarinya dan daratan Tana Matao terguncang. 

“Aku tidak butuh pemikiran-pemikiran luar biasa dan ketajaman lisan yang hanya sebatas angan-anganmu, Langkai!”

Baine turun dari menara. Langkahnya tidak terburu-buru. Gaun putihnya menjuntai di anak tangga, menyapu hamparan pasir, kemudian dibasuh air laut yang asin. Sementara angin terus menderu-deru. Perempuan itu berdiri membelakangi Langkai di tepi pantai.

“Baine ….” Wajah Langkai sedemikian cemasnya.

Baine menimpali Langkai tanpa menoleh sedikit saja, “Bila tidak kulakukan sekarang, mereka akan menenggelamkan seluruh negeri, bukan hanya Tana Matao. Mereka diam-diam melubangi dasar laut pulau ini, mengoyak isi perutnya. Kau terlalu lama melarikan diri sampai kau tidak mengetahuinya. Tana Matao kesakitan, Langkai.”

Langkai tidak mengerti, tidak ada pengetahuan yang dalam tentang hal-hal seperti itu di kepalanya. Ia berusaha menghalangi Baine, sehingga ia turut masuk ke dalam air yang semakin lama semakin dalam.

 “Akulah ibu dari Tana Matao.” Suara Baine begitu rendah. “Aku akan membawa Tana Matao bersamaku.” Baine kemudian menenggelamkan dirinya. 

Bersamaan dengan itu, Tana Matao berguncang hebat. Burung-burung yang bertengger di pohon terbang karena terkejut. Bangunan-bangunan ambruk. Penduduk keluar dari rumah-rumah mereka, lari lintang pukang. Jerit pekik mereka seolah-olah bisa merobek langit.

Air laut surut jauh dari pantai. Suara mengaum terdengar lagi lebih keras. Langkai mendapati dirinya berdiri tidak lagi digenangi air. Ia melihat air yang seolah-olah tersedot ke tengah dan semakin jauh. Hanya sebentar, dan air laut kembali dengan gelombang besar menyapu seluruh daratan Tana Matao. 

Tubuh Langkai terhempas, digulung air laut dan ia mendapati dirinya telah berada dalam pelukan Baine di dasar lautan. “Langkai … akulah ibu dari Tana Matao,” kata Baine. Kemudian perempuan itu melebur ke dalam tubuh Langkai.

Langkai melayang-layang di dasar lautan yang dingin dan suram, sendirian. Dan tatkala napas sudah sampai di tenggorokannya, Langkai menyadari sesuatu. “Akulah Baine, akulah Ibu Tana Matao, akulah yang menenggelamkan tanahku dan membunuh saudara-saudaraku sendiri.” [red/red]

Diana Rustam, tinggal di Gowa, Sulawesi Selatan. Menulis beberapa cerpen dan puisi dengan pseudonim Suara Tonggeret di media sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *