Ibadah Tukang Sapu Jalanan

“Kebahagian bisa didapat ketika kita bisa membantu orang lain.”

Di benakku selalu ada yang mengganjal setiap melihat Bapak menggunakan seragam kuningnya. Di pikiranku selalu saja ada pertanyaan mengapa Bapak mengambil pekerjaan yang amat rendah itu. 

Apakah tak ada yang mau menerima Bapak bekerja? Atau gaji pensiunan Bapak kurang untuk mencukupi kebutuhan? Entahlah. 

Pernah suatu hari pertanyaan-pertanyaan dalam benakku itu aku ungkapkan. Namun Bapak hanya menjawab dengan senyuman.

Seperti hari-hari biasa, setiap pagi, sesudah menjadi imam salat subuh di musala, Bapak selalu mengganti busananya. Dari baju koko, sarung kotak-kotak, dan kopiah hitam menjadi baju kuning, celana kuning, dan topi hitam bertuliskan Dinas Lingkungan Hidup. Hari masih teramat pagi dan Bapak sudah siap menyusuri jalanan menyapu setiap sudut jalan dan taman kota dengan berbekal sapu dan serok. 

“Nggak sarapan dulu, Pak? Sarapannya sudah disiapkan Bulik Fiqoh, lho, Pak,” tanyaku sembari mengambil sepiring nasi.

“Ini kan hari Kamis. Bapak puasa. Sudah, ya, Bapak berangkat dulu,” ujar Bapak sembari mengusap rambutku.

Semenjak ibu menutup mata untuk selama-lamanya, kami hanya tinggal berdua. Untunglah ada Bulik Fiqoh yang selalu menyiapkan kebutuhan rumah mulai dari sarapan, makan siang, makan malam sampai keperluan dapur. Bulik Fiqoh adalah adik Bapak yang tinggal tak jauh dari rumahku. Bulik sudah berkeluarga, namun ia belum dianugerahi seorang anak. Ia bersuka rela menggantikan ibuku mengurus segala keperluanku.

Sebenarnya aku malu setiap kali melihat Bapak memakai seragam kuningnya itu. Apalagi jika sampai teman-teman SMA tahu. Seharusnya sebagai pensiunan tentara berpangkat mayor, bukankah Bapak bisa bersantai saja di rumah? 

Atau jika Bapak ingin bekerja, harusnya Bapak lebih memilih pekerjaan yang lebih mulia. Mengapa ia tak menjadi pengusaha, berbisnis properti, atau mendirikan toko saja? Tapi, entahlah, aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Bapak. Ia tetap kukuh pada pendiriannya. 

Setiap pukul 10 pagi saat sekolah sedang libur, aku menyusul Bapak menuju alun-alun kota. Aku membawa 15 nasi bungkus yang Bapak pesan lewat Bulik Fiqoh. Sampai di sana, Bapak akan mengambil nasi bungkus yang kubawa lalu membagi-bagikan nasi bungkus itu kepada rekan kerjanya. Bapak menyediakan nasi bungkus untuk sarapan, meskipun ia sendiri puasa. Jika nasi bungkusnya sisa, ia akan berikan kepada tukang becak maupun gelandangan.

Dari kejauhan kulihat raut wajah Bapak yang kulitnya sudah mulai keriput dan rambutnya keperakan karena beruban. Wajah Bapak memancarkan senyum bahagia ketika ia berbagi pada rekan-rekannya. Mungkin itulah yang ingin Bapak ajarkan kepadaku, bahwa kebahagian bisa didapat ketika kita bisa membantu orang lain.

Meski begitu, alasan Bapak bekerja menjadi tukang sapu masih menjadi misteri. Dan aku masih selalu malu untuk mengakui pekerjaan Bapak itu.

“Pak, kenapa sih, Bapak tak memilih pekerjaan lain selain menjadi tukang sapu jalan?” tanyaku protes untuk kesekian kalinya tentang pekerjaan Bapak.

“Kadang tak setiap pertanyaan bisa dijawab hanya dengan kata, Nak. Kadang kamu perlu menemukan langsung jawaban dari pertanyaanmu,” jawabnya sembari tersenyum seperti biasanya.

Pernah juga pertanyaan itu kutanyakan pada Bulik, namun ia juga tak bisa menjawabnya. 

“Cobalah sekali-kali kau ikut bapakmu menyapu dan membersihkan jalan-jalan kota, Zam. Siapa tau kau akan menemukan jawabannya.” Kata Bulik.

Jangankan ikut Bapak bekerja, menungguinya saja aku malu. Maka, tak pernah sekali pun aku mau mencari tahu langsung jawaban yang selalu kutanyakan pada Bapak dengan ikut bekerja menyapu jalan kota.

***

Allahu Akbar Allahu Akbar…. 

Suara azan Subuh berkumandang. Tidak biasanya Bapak masih tertidur ketika bunyi seruan salat itu berkumandang. Kuketuk kamar Bapak. 

“Pak, Subuh Pak …”

Tak ada jawaban. kuputuskan untuk membuka pintu kamarnya. Bapak masih terlihat berbaring di kasurnya. Mungkin Bapak terlalu lelah hingga tak begitu mendengar azan. 

“Pak … bangun Pak. Sudah azan subuh,” kataku sembari menyentuh tangannya. Tangannya begitu dingin. Bapak tak bergerak sama sekali saat kusentuh. Kulihat Bapak begitu tenang dalam tidurnya. Hingga akhirnya aku panik saat kusadari tak ada hembusan napas dari hidung Bapak. Bapak pergi meninggalkanku, ia menyusul Ibu untuk selama-lamanya.

Saat proses pemakaman, banyak sekali orang yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Bapak. Mulai dari tetangga, rekan militer, teman sekolahnya, sampai gelandangan teman Bapak mengobrol saat bekerja pun datang. Saking banyaknya pelayat, halaman rumah yang luas tak muat menampung semua. 

Beberapa pelayat terlihat berkerumun di sekitar rumah tetangga. Bapak terkenal baik dan ramah kepada siapapun bahkan kepada para gelandangan di jalan, Bapak tak segan untuk berteman. Patutlah mereka semua turut hadir untuk ikut mengantar kepergian Bapak. 

Sehari setelah pemakaman Bapak, aku mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang pernah kutanyakan pada Bapak. Pertanyaan perihal mengapa ia menjadi tukang sapu jalanan. Bukankah tak ada yang istimewa dari tukang sapu jalanan? 

Kubuka lemari pakaian Bapak. Kupakai seragam peninggalan Bapak. Kuambil sapu di belakang rumahku. Lalu kunaiki sepeda yang biasa Bapak gunakan untuk bekerja. Kukayuh sepeda itu menuju taman kota.

Sesampai di sana, kusandarkan sepeda pada sebuah pohon beringin tua yang terletak di pinggir taman. Kumulai pekerjaan Bapak dengan memungut sampah yang berceceran di selokan taman. Baru kupungut satu helai sampah plastik, aku sudah merasa menjadi orang yang paling hina dan memalukan. 

“Kamu Azam anaknya Pak Sigit, ya?” 

Tiba-tiba seseorang datang mendekat dan menyapaku. 

“i-iya, Pak. “ Jawabku agak bingung. 

“Kenalkan, aku Subroto. Kawan bapakmu dulu di militer,” kata Pak Subroto tanpa ragu mengulurkan tangannya meski melihatku memungut sampah. 

Lalu ia mengajakku duduk di bawah pohon beringin tempat Bapak biasa istirahat. “Bapakmu banyak bercerita tentang dirimu, Zam. Kata bapakmu, kamu adalah anak yang bangga sekali punya Bapak tentara. Terlebih lagi pangkatnya mayor. Benar begitu?”

“Iya Pak, “jawabku mengiyakan. Aku memang bangga punya Bapak seorang tentara. 

“Karena itulah, Zam, bapakmu mengambil pensiun dini. Lalu bekerja sebagai tukang sapu jalanan, “

Mak deg! Apa aku tidak salah dengar? Mendengar apa yang dikatakan Pak Broto dadaku rasanya seperti dipukul begitu keras. 

Aku adalah anak yang begitu bangga dengan pencapaian Bapak. Aku masih ingat ketika seorang kawanku tak sengaja membuat motorku lecet, lalu ia meminta maaf. Namun aku tak memaafkannya. Aku justru memukulnya, dan mengancam dengan nama Bapak yang seorang tentara. Itu kulakukan karena aku teramat bangga dengan status bapakku sebagai tentara. 

Aku juga mengatakan kepada Bapak, bahwa setelah aku lulus SMA, aku ingin mendaftar TNI dan harus diterima karena Bapak seorang mayor. Aku mengatakan kepada Bapak, bahwa tak ada pekerjaan yang lebih mulia selain menjadi seperti Bapak. Aku menunduk. Mengapa rasa banggaku itu justru membuat Bapak memilih pensiun lebih cepat? 

“Zam, bapakmu memang sengaja mengambil pekerjaan yang kamu anggap hina, sebagai tukang sapu jalanan. Banyak hal yang ia ingin katakan kepadamu melalui lakunya. Ia terlalu sayang padamu, hingga tak tega jika harus menceramahimu panjang lebar. Ia ingin menasihatimu dengan lakunya.” kata Pak Broto menatapku dalam-dalam. 

Aku menunduk semakin dalam, tak berani menatap Pak Broto. Rasa bersalah dan penyesalan berkecamuk dalam batinku. 

“Tenang saja, Zam. Bukan hanya dirimu yang pernah kelewat bangga saat bapakmu masih menjadi tentara. Bapakmu pun pernah begitu. Hatinya pernah begitu congkak. Matanya pernah tertutup dengan jabatan. Tapi ia langsung sadar, bahwa kedudukannya terlalu tinggi. Bebannya terlalu berat. Dan ternyata memang hatinya tidak siap dengan jabatan itu. Kata bapakmu, ia begitu menyesal menerima jabatan itu.”

Kata-kata Pak Broto, membuatku cukup kaget. 

“Bapakmu mencoba menghapus segala keangkuhan dan kebanggaannya. Ia mencoba menasihatimu dengan yang ia kerjakan. Dan ketahuilah, Zam. Menyapu itu bukanlah sebuah pekerjaan yang hina. Sejatinya semua pekerjaan itu sama. Tergantung apa yang engkau niatkan. Kau bisa menjadikan pekerjaanmu ibadah. Bahkan sembari menyapu jalan, kau juga bisa menyapu hatimu yang kotor dan angkuh,” katanya sembari menepuk pundakku. 

Tak lama kemudian, Pak Broto bangkit dari duduknya. Aku hanya mematung ketika ia pamit pergi. Kulihat orang-orang mulai lalu lalang di jalan memulai aktivitasnya. Sampah berserakan di mana-mana. Mungkin seperti itu juga gambaran kotornya hatiku.

Muhammad Ulinnuha, santri yang suka menyapu kenangan. 

[red/brsm]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *