Hujan

“Hujan kan tidak menyakiti, apa kau pernah mendengar air hujan bisa membunuh seseorang?”

Pagi ini terasa lebih sejuk dari hari-hari sebelumnya. Biasanya pukul tujuh pagi saja panasnya sudah luar biasa menyengat dan gerah. 

“Ini kan kota khatulistiwa, memang kapan ada sejuknya?” Mendengarmu berkata, kepala ini cuma mematut dari jendela, jika semakin siang udara semakin mengkhawatirkan, panasnya tidak kepalang. 

“Na, kamu suka hujan atau suka cerah? Sebaiknya lebih bagus mana? cerah atau mendung kemudian hujan?” Pertanyaan yang sengaja kubiarkan, aku tak ingin menjawabmu, sebab sudah pasti nanti akan muncul pertanyaan lain lagi. 

Pertanyaan yang mungkin bisa jadi seperti ini, “kenapa kok lebih suka hujan? Kalau cerah kan enak tidak perlu basah-basahan.” Lantas aku biasanya jadi kesal, karena seolah engkau sedang memaksakan pendapatmu padaku. 

Tak lama setelah percakapan itu, hujan turun dengan derasnya. Udara kurasakan menjadi lebih sejuk dan dingin. Bibirku tersenyum, aku senang sekali karena dipastikan hingga menjelang petang nanti, udaranya akan begitu adem seperti yang aku inginkan. Udara yang jauh sangat menentramkan ketimbang hari-hari panas biasanya di kota ini. 

Senang? Iya aku sangat senang pada tiap tetesan air hujan, bahkan hatiku seperti ikut menari-nari di bawah air yang turun dengan derasnya itu. “Apa kau nggak ngerti, betapa kasihannya orang-orang yang sedang berjualan di kala hujan?” 

“Memang kenapa dengan hujan?” jawabku spontan. “Hujan kan tidak menyakiti, apa kau pernah mendengar air hujan bisa membunuh seseorang?” Aku pikir selama hujan bukanlah sesuatu yang membahayakan, turun secara terus-menerus pun akan membuatku sangat bahagia. Kulihat kau akan menyanggahku, namun aku berbalik arah dan meninggalkanmu.

Puluhan tahun yang silam, hujan selalu berhasil memalsukan emosiku saat hari terasa berat. Saat keadaan seolah tak ramah sama sekali padaku, apalagi berharap bersahabat. Tetesan air hujan selalu berhasil menyejukkan hati yang panas akan amarah. 

Menatap hujan sendirian, selalu kulakukan di balik sebuah jendela rumah tua lapuk masa itu. Kehujanan di jalan sepulang sekolah seragam putih biru, dengan kayuhan sepeda menerjang genangan air di jalanan juga sudah menjadi hal yang tak lagi drama, melainkan menyenangkan. 

Aku bersepeda di tengah hujan bukan karena senang, melainkan masa itu aku tak punya pilihan. Dua puluh tahun yang silam, seorang anak perempuan mengayuh sepeda di bawah turunnya hujan yang lebat. Wajahnya abu-abu, apakah menangis atau menikmati dinginnya udara menusuk tulang. 

Seolah senang, karena air yang mengalir dari wajahnya itu terlihat berbeda, bulirnya dari sudut kelopak mata. Iya, aku senang akan hujan, karena dengan demikian air mataku pun turut hilang bersamaan wajah yang basah menghantam cipratan air jalanan. 

Sepanjang jalan yang basah itu, tak ada yang bisa luput dari genangan kotor berpasir atau lumpur. Mobil berlalu-lalang lewat, lalu kulihat wajah anak remaja seusiaku memandang iba dan kasihan, di balik sebuah jendela mobil yang lewat. Aku jadi teringat masa-masa indah sebelum orangtuaku memutuskan berpisah. 

Teringat saat berangkat sekolah, duduk manis di dalam sebuah mobil Toyota Corolla. Pada tahun 1990 masa awal masuk sekolah dasar, adalah masa paling manis yang masih mampu aku ingat. Kaus kaki setinggi betis, dengan renda yang manis. 

Rambutku kepang dua, dengan botol minum, kotak bekal berisikan potongan buah, seperti apel dan anggur. Aku pernah menjadi seorang tuan putri, kulitku putih bersih, jari jemariku rapi. Seragam sekolah selalu wangi, sepatuku tak pernah kotor selalu tetap bersih hingga waktu sekolah usai. 

Keluar dari kelas mencari-cari wajah Mama yang rupanya sudah duduk menungguku, kami pulang seraya Mama pasti bertanya jajanan apa yang aku inginkan? Iya, masa-masa itu pernah menjadi hari-hari indah yang selalu tertinggal dalam ingatanku. Ingatan yang seharusnya mungkin hanya sisa potongan-potongan dari sebuah adegan. 

Ingatan itu bagiku berupa lembaran-lembaran kisah yang kuulang-ulang untuk selalu menguatkan. Ku simpan sebaik-baiknya di dalam rimbunnya saraf-saraf otak dalam kepalaku. Hingga aku tak pernah sekalipun menyangka, bahwa masa itu akan hilang terenggut dari hidupku untuk selamanya. 

Orang-orang baru yang datang, merasa lebih berhak atas mereka berdua yang seharusnya selalu bersamaku. Jadi, tolong jangan tunjukkan wajah ibamu dari balik jendela mobil itu kepadaku. 

Tenang saja, air hujan mampu menghapus kesedihan dan kerinduanku. Membuat orang-orang di jalanan tak menyadari, kalau aku menangis sepanjang jalan. Sambil berlari pulang, menyandarkan sepeda basah-basahan, lekas kucari anak kunci. 

Aku ingin pintu rumah ini cepat terbuka, meski air mengalir hingga ke dasar sepatuku. Memasuki rumah hanya sunyi dengan tirai gelap, lalu tanpa kusadari seragam basah ini menemaniku hingga kering sendiri. 

Di hadapan sebuah tudung saji yang tak ada apa pun untuk menemani hari yang dingin, aku menahan semua air mata agar jangan lagi tumpah. Sudah pasti tak bisa disembunyikan seperti di jalanan tadi, dan akupun tak ingin terlihat seperti anak perempuan yang mengenaskan. 

Tapi tak lama kemudian aku justru makin terisak-isak, sambil berucap lirih “Putriku nanti harus seperti Tuan Putri. Jangan ada meja yang kosong, jangan ada hati yang sepi sendirian. Putraku akan hidup bak pangeran.” 

Begitu terus kukatakan di dalam hati, seperti sebuah janji. Kuulang-ulang dengan harapan, semua kalimat itu menjadi sebuah doa yang mampu menembus langit. Hujan yang turun bagiku adalah bentuk dari kasih sayang Allah Tuhan semesta alam. 

Hujan yang dikirimkan oleh-Nya untuk menghibur hatiku ini, agar tenang dan nyenyak tidurku meski tanpa siapa pun di rumah pada masa-masa itu. Hujan yang membuatku merasakan pelukan alam, bahwa Allah sedang mengijinkan semua doa-doa pasti dikabulkan. Doa-doa di masa lampau yang diwujudkan saat ini atas izin Allah.

Hujan yang di setiap bulir tetesannya, selalu membuatku merasa beruntung dan sembuh. “Asal kau tahu saja, tidak pernah ada hujan yang menyusahkan,” ucapku kemudian, berharap tak ada yang perlu diperdebatkan atas kalimatku itu barusan. 

Aku pun ingin kau menyukai hujan sepertiku, karena hujan pertanda Allah sedang menginginkan hamba-Nya memanjatkan doa lebih banyak lagi.

Arum Weni Abygail, entrepreneur, tinggal di Pontianak.

[red/na]

2 thoughts on “Hujan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *