Halte

ghibahin

“Semua orang berubah gila di masa sulit dan masa senang. Kau pasti tahu hal itu? Tidak ada kewarasan mampir sedikit saja di otaknya yang kecil itu.”

Selama beberapa waktu aku menyusuri gang gelap dari rumahku menuju halte ini. Gelapnya jalanan membuatku melangkah seraya mengira arah. Sampai akhirnya kulihat halte dengan cahaya lampu teramat terang. Segera aku berlari ke halte yang memang kucari itu. 

Kulihat ada angka 33 di dekat pintu masuk halte. Hmm, jadi ini halte blok 33. Kulirik jam di tangan kananku dan menyadari bahwa ini sudah hampir pukul sebelas malam. Harusnya, bus terakhir akan datang. 

Halte ini sedikit berbeda dari halte yang lain. Setidaknya tak seperti halte yang kuingat selama ini. Mungkin karena jarang dilalui bus. Aku tahu itu dari rute bus yang ada di dekat pintu. 

Ternyata ada tiga bus khusus yang melewati halte ini. Bus berwarna merah, biru, dan kuning. Aku tersenyum karena penanda bus menggunakan warna, bukan angka, huruf, atau kombinasinya. Aku bukan pengingat angka yang handal. Namun, aku mengingat warna dengan sangat baik.

Ada kursi panjang dari besi di halte ini. Aku memutuskan duduk di sisi seorang gadis yang tampaknya asyik membaca novel. Rambutnya tergerai. Jika dalam situasi normal, aku akan ketakutan melihatnya yang berpakaian serba putih itu. Sudah pakaiannya putih panjang, rambutnya tergerai menutupi sebagian besar mukanya. Oh astaga, pikiranku sudah pasti mengarah pada perempuan dari dunia lain, yaa … kalian pasti tahu maksudku.

Di dekat kotak pengambilan tiket, ada seorang anak. Mungkin berumur 10 tahun. Sedikit heran juga aku mengingat ini bukan waktu main yang wajar. Namun, aku sedikit tidak peduli. Biarlah. Orang tuanya saja tidak mencari kenapa aku malah ribut sendiri?

Kuputuskan untuk duduk dan mengambil buku sketsaku. Aku ingin membuat sketsa halte ini sebelum bus datang. Membunuh waktu. Aku tertawa dengan pikiranku itu. Bagaimana waktu bisa dibunuh? Bukannya malah dia yang membunuhmu?

“Kau berbakat membuat sketsa.” Aku terkejut. Gadis di sebelahku itu mengajakku bicara. Entah sejak kapan ia memandangiku. Aku baru sadar gadis itu bermata sipit. Rambut lurusnya yang panjang diselipkan di balik telinga. Ada anting-anting berbentuk lumba-lumba di sana. Senyum terukir di bibirnya yang tipis dan dipulas lipstik berwarna merah. 

“Aku baru belajar. Ini masih sangat kasar,” kataku malu. 

“Hei, kenapa kau bilang begitu? Lihat garis-garis ini, juga arsiran ini. Kau sangat berbakat. Aku tahu kau bisa jauh lebih baik. Hanya memang kau harus begini,” kata gadis itu seraya menunjuk beberapa bagian sketsaku. Ia lalu mengambil pensil di tanganku dan menjelaskan teknik mengarsir dan memperagakannya. Aku terpesona dengan efek yang dihasilkan dari teknik itu. 

“Kau sangat berbakat. Kau berbakat yang sebenarnya,” kataku dengan nada kekaguman yang tak kusembunyikan. Dia tertawa seraya menutup mulutnya dengan tangan kanan. Matanya serupa garis dan mukanya kemerahan. 

“Tidak. Aku hanya sedikit terlatih,” katanya setelah tawanya reda. Aku sungguh terpesona. “Rey,” kataku seraya mengulurkan tangan. 

Gadis itu tersenyum dan menyambut dengan tangannya yang mungil dan lembut. “Ren,” katanya. Kami tertawa menyadari nama yang begitu mirip. 

“Kau baru pulang jam segini?” tanyaku. 

Ren tersenyum dan mengangguk. “Sebenarnya aku sudah menunggu beberapa waktu di sini. Namun sepertinya aku sedikit terlambat. Ketika bus warna merah datang, aku belum sampai. Jadi, aku menunggu.”

“Kau naik bus warna merah? Bukannya bus terakhir berwarna kuning?” Aku bertanya seraya melirik jam tanganku. Hm, harusnya sebentar lagi. Benar-benar sebentar lagi. Kalau Ren menunggu bus warna merah, sementara yang datang adalah bus kuning, itu artinya kami akan berpisah.

“Aku tidak terlalu yakin soal warna. Tapi rasanya aku harus naik yang merah,” kata Ren. Ia menunjukkan tiket di tangannya. “Lihat, aku mendapat warna merah.”

“Tidakkah kau mau ikut denganku di bus warna kuning? Apakah kau tidak mencoba menukar tiketmu?” Aku berdiri dan mendekati jadwal yang tertera di dinding halte. Sebenarnya aku tidak yakin dengan usulku, tapi siapa tahu bisa. “Lihat, bus terakhir tiap harinya berwarna kuning,” kataku seraya menunjuk jadwal itu.

Ren berdiri dan mengamati jadwal itu. “Ah, kau benar Rey. Berarti aku menunggu bus pertama esok pagi di sini.”

“Em, kau setuju usulku? Tukar tiketmu di sana” tanyaku dengan perasaan penuh harap yang tak bisa kututupi. Aku menatap ke arah kotak pengambilan tiket dan menyadari ada tiket berwarna kuning menyembul di saku baju anak kecil itu. Ren bisa menukar tiketnya dengan tiket anak itu.

Ren tersenyum. Ia duduk kembali ke tempatnya semula. “Tidak. Aku harus menerima ini bukan? Tiket bus warna merah. Jadi, aku akan menunggu.” Ia melambai pada anak kecil yang berdiri di dekat kotak tiket. Anak kecil itu duduk di pangkuan Ren. Ren memeluknya dan anak itu memejamkan mata dengan senyum tertinggal di bibirnya.

“Kau mengenalnya?” tanyaku.

Ren mengangguk. Anak dalam pelukannya itu tampaknya tertidur. Atau mungkin juga pura-pura tidur. Aku tidak tahu. “Dia anakku,” kata Ren tanpa mengeluarkan suara. Namun aku bisa memahami dari gerak bibirnya. Tangan Ren menepuk-nepuk perlahan paha anak kecil itu. Kulihat tubuh anak itu pun begitu rileks dan napasnya teratur. Mungkin dia benar-benar tidur. Ah, cepat sekali dia tertidur.

Aku kembali duduk di sisi Ren. Sedikit sedih menyadari ternyata dia sudah punya anak. Maksudku, dia bisa saja sudah menikah kan kalau begitu? Meski aku tahu ada juga yang punya anak tanpa menikah, misalnya karena mengadopsi atau apa pun itu. “Kalau dia anakmu, kenapa tiket kalian berbeda?” tanyaku dengan suara setengah berbisik.

Ren menggeleng. “Aku tidak tahu, Rey. Saat kami sampai di sini, aku mengambil tiket dan keluarlah tiket warna merah. Kau tahu, setiap orang mengambil sendiri tiket itu dan … dia mengambil tiketnya. Warnanya kuning. Aku sedih. Ini benar-benar tidak masuk akal bagaimana aku dan dia harus berpisah. Tetapi, ya sudah. Aku tidak bisa memaksakan keinginanku, bukan?”

Aku ada dalam perasaan antara ingin bus itu segera datang. Namun, juga tak ingin bus itu datang. Ah, apakah kalian bingung? Aku pun bingung. Jadi, aku duduk dengan bingung di sisi Ren. Ren tersenyum manis ke arahku. Kemudian ia memandangi anak dalam pelukannya dan mengusap kepala anak itu dengan penuh kasih. 

“Dia ….” Aku tak melanjutkan kata-kataku. Setengah dari diriku merasa tidak sopan menanyakan hal ini. Namun, bukankah semua orang di negara ini penuh dengan rasa ingin tahu?

“Iya. Dia anakku.”

Aku mengangguk. “Bapaknya?”

Ren memandangku. Dingin. Aku terkesiap. Aku menelan ludah dengan susah payah. Rasanya ada sesuatu yang menohok perutku dan menimbulkan rasa tak nyaman. Rasanya ingin kutampar mulutku sendiri yang tidak sinkron dengan otakku. 

“Semua orang berubah gila di masa sulit dan masa senang. Kau pasti tahu hal itu? Tidak ada kewarasan mampir sedikit saja di otaknya yang kecil itu. Meski kecil, tentu saja benda itu berguna jika digunakan. Sayangnya lelaki itu tidak memanfaatkannya.”

Aku merasa baru saja menyiram bensin di tumpukan kayu yang nyaris habis terbakar. “Apa yang dia lakukan?” Duh. Aku memang harus menampar mulutku.

“Tidak ada. Dia hanya merasa tidak sanggup menghidupi kami karena ia tidak lagi bekerja. Jadi dia putuskan untuk … ya, begitulah. Masalahnya, hanya dia yang bisa diselamatkan. Kau sendiri?”

“Aku?”

“Apa yang kau lakukan?”

“Tidak ada. Aku hanya … kau tahu, semacam melompat dari ketinggian? Berlari menyongsong sesuatu yang melaju kencang?”

“Kenapa?”

“Aku ingin melakukan itu. Sudahlah … bukankah hal yang pasti dan tak bisa dihindari hanyalah sebuah pemberhentian akhir?”

“Kau anak muda yang berpikir sempit.”

“Mungkin.”

Ren mengangguk. “Maaf. Aku tidak berhak menghakimimu. Mungkin kau merasa tidak punya pilihan lain.”

Kami diam sesaat. Kumasukkan buku sketsaku dan kembali kulirik jam tangan. “Jadi, aku dan anakmu akan naik bus warna kuning sementara kau naik bus warna merah? Kenapa kita berpisah? Setidaknya kenapa kau dan anakmu tidak bisa bersama? Ke mana tujuannya?”

Kulihat Ren menggeleng. Dia mungkin memiliki pertanyaan yang sama sejak semula. Kami duduk bersisian. Menunggu. Ya, hanya itu yang bisa kami lakukan sekarang. Hanya menunggu.

Selanjutnya aku yakin kalian yang menunggu di halte ini seperti yang kami lakukan. Kita mungkin bisa bertemu. Dengan catatan jika bus warna kuning belum tiba saat kalian sampai di sini.

Katarina Retno Triwidayati. Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

[red/na]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *