Flo dan Keping-keping Puzzle

Puzzle Vadin

“Andai semua benua di dunia ini menyatu, tentu ayah tak perlu berlayar dan aku bisa mewujudkan keinginanku dengan lebih mudah.”

Halo, namaku Flo. Aku adalah anak semata wayang ayah dan ibuku. Sebentar lagi aku berumur tiga belas tahun. Aku sangat berharap kali ini ayahku bisa pulang tepat waktu. 

Ayahku adalah seorang kapten kapal. Setiap hari ayahku berlayar mengelilingi samudera. Berlabuh dari satu kota ke kota lain. Bahkan ayah kerap berkunjung ke negara lain. 

Sayangnya, pekerjaan ayah membuatnya sulit untuk pulang. Aku baru bisa bertemu dengannya tiap tiga atau enam bulan sekali. Kadang di waktu-waktu tertentu ayahku baru bisa pulang ke rumah satu tahun sekali. Tapi, aku sangat bangga pada ayahku.

Aku ingin sekali suatu hari bisa pergi berkeliling dunia seperti ayah. Sayangnya, aku adalah anak yang mudah sekali mabuk laut dan udara. Aku sering panik ketika berada di tengah lautan atau di dalam pesawat. Sebagai anak seorang kapten kapal tentu aku sangat malu. 

Aku sudah berusaha mengatasi kepanikan itu. Aku kira semua baik-baik saja seiring aku beranjak besar. 

Sampai suatu hari kami harus pergi ke Manado karena putra tante hendak menikah. Di tengah perjalanan, aku mulai mual, pusing, dan demam keesokan harinya. 

Aku membuat rencana ayah ibuku berantakan. Tentu aku kecewa dan sedih pada diriku sendiri. Sejak saat itu aku kerap memilih untuk berada di rumah ketika keluargaku memiliki rencana untuk bepergian ke suatu tempat yang tidak bisa dilalui melalui jalur darat. 

Dengan perasaan kacau, aku menata kepingan-kepingan puzzle di hadapanku. Ini adalah salah satu kebiasaanku. Di saat aku merasa kesal, aku menyusun puzzle pemberian ayah. 

Kata ayah, puzzle hadiah darinya ini akan membantuku mengenal benua dan kota-kota di dunia. Ya, aku bisa mengenali itu semua sebelum benar-benar bisa berkeliling dunia.

Minggu ini aku mendapat kabar bahwa ayah akan terlambat pulang. Itu artinya aku akan merayakan ulang tahun ke-13ku hanya berdua dengan ibu di rumah. 

Tiba-tiba aku menatap puzzle peta dunia pemberian ayahku ini dengan marah. Andai semua benua di dunia ini menyatu, tentu ayah tak perlu berlayar dan aku bisa mewujudkan keinginanku dengan lebih mudah. 

Aku membayangkan bisa pergi ke Studio Universal di Singapura seperti yang kerap teman sekolahku, Lola, sombongkan setiap harinya. Aku juga bisa jalan-jalan ke Negeri Tirai Bambu untuk melihat tembok besarnya. Atau berkunjung ke museum dan kota tua di Eropa. 

Bahkan, aku tidak perlu panik ketika harus berkunjung ke rumah Tante di Manado. Waaah, tentu menyenangkan sekali, ya?

Aku lantas menyatukan semua kepingan puzzle itu jadi satu. Aku membentuknya menjadi sebuah wilayah yang luas dan padat. Entah bagaimana, tiba-tiba waktu seolah berhenti. Dan aku sudah berada di dalam ruang kelasku. 

Hari ini Bu Vena meminta semua murid bercerita tentang impian masing-masing di depan kelas secara bergantian. Ketika giliranku tiba, aku dengan semangat menceritakan kepada teman-temanku tentang impianku pergi berkeliling dunia. 

Aku melihat sebagian besar temanku memandangku aneh. Bahkan Bu Vena juga. Bukannya berkeliling dunia itu adalah impian yang keren dan menakjubkan, pikirku.

Kata Bu Vena, impianku itu bukanlah impian yang besar. Menurut Bu Vena, siapa saja bisa melakukannya. 

Bahkan bu guru bercerita kalau liburan akhir pekannya lalu beliau pergi berkunjung ke gedung opera Sydney bersama dengan saudaranya. Kali ini giliranku yang dibuat heran. 

Ketika jam istirahat tiba, aku pergi ke kantin untuk menyantap makan siang favoritku. Ikan adalah lauk kesukaanku. Sayangnya, sekian lama aku mencermati, tak tampak satu pun menu ikan yang terhidang. 

Aku pun bertanya kepada penjaga kantin kenapa menu ikan tidak tersedia. Penjaga kantin hanya terkekeh. Katanya sejak dulu sekolah tidak menyediakan menu ikan karena ikan harganya sangat mahal dan sulit sekali didapat. 

Aku kembali heran. Bukankah di sini ikan sangat berlimpah? Apakah aku sedang bermimpi?

Sekembalinya aku ke rumah, aku dikejutkan dengan kepulangan ayah. Aku memeluknya erat. Ayah memberikan sebuah tiket padaku. 

Tiket kereta cepat? Lagi-lagi aku dibuat bingung. 

Besok adalah akhir pekan. Ayah mengajak kami bepergian ke Jepang. Aku melongo dibuatnya. Berkereta ke Jepang? Yang benar saja!

Keesokan harinya kami menempuh satu jam perjalanan menuju ke stasiun kereta cepat yang akan membawa kami ke Jepang. Kata Ibu perjalanannya membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama daripada kalau kami naik pesawat. Bagaimana pun aku tetap menyambut dengan gembira meski memakan waktu yang lebih lama. 

Hingga tiba-tiba dalam perjalanan aku mulai merasa pusing. Udara di sekitarku terasa begitu pengap, panas dan jalanan terasa lebih padat. 

Aku mulai menyadari tidak tampak sawah-sawah menghijau yang biasa kutemui ketika kami hendak ke luar kota. Tidak ada tanaman-tanaman hijau yang menjulang. Bahkan hutan jati yang biasa kujumpai tampak mengering. 

Mendadak ayah menghentikan laju mobilnya. Tampak serombongan binatang liar yang melintas. Sungguh aku terkagum dibuatnya, ini seperti bersafari di Afrika. Namun, entah kenapa aku merasa pilu melihat kawanan zebra yang tampak kuyu. Binatang lain juga tampak lemah dan lelah. 

“Badak itu kenapa, Yah?” tanyaku.

“Mereka kehausan.” jawab ayah.

“Tidak ada sungai di sini?” tanyaku heran.

“Sungai-sungai airnya disaring kemudian ditutup dengan pipa raksasa untuk kemudian dijadikan sebagai sumber air minum kita. Kamu baru tahu, Flo?” Ibu menatapku keheranan. 

Kehidupan rasanya menjadi sangat kacau. Tidak ada lagi menu ikan favoritku, tanaman hijau mulai menghilang, dan binatang-binatang tampak lemah. 

Impianku mungkin bisa menjadi kenyataan, meski bukanlah menjadi impian yang luar biasa. Tapi rasanya dunia tampak kering dan suram. Aku ingin kembali pada hari-hariku yang lalu. 

“Ngomong-ngomong, Yah, apakah Ayah masih berlayar?” tanyaku hati-hati. 

“Berlayar? Berlayar itu apa?” Kini ayah yang berganti menatapku heran melalui kaca spion. 

Aku melihat sebuah keping puzzle yang jatuh di bawah dan mengambilnya. Tiba-tiba duniaku serasa berhenti. Dan aku mendapati diriku kembali di dalam kamarku dengan kepingan-kepingan puzzle yang menjadi satu. 

‘Tidak, tidak, begini lebih baik.’

Aku menyusun puzzle seperti seharusnya dengan perasaan sangat lega. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras lagi untuk mengatasi mabuk laut dan udaraku agar impianku bisa sungguh-sungguh terwujud. [red/red]

Sandra Srengenge, Pembakul buku dan penulis cerita anak yang tinggal di Klaten. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *