DareCakil

“Mereka yang merencanakan pembantaian itu adalah orang-orang terpandang di kampung saya. Sebuah kampung di pesisir Super Heroes City, kampung Nam Bangan.”

Pada tahun 2340, sebuah meteor jatuh ke bumi. Meteorit yang tinggal seukuran bola sepak kecil saat menabrak bumi itu mengakibatkan sebuah tanjung hancur, air lautnya menguap, ribuan orang meninggal, dan jutaan lainnya terluka. Tempat dimana meteorit jatuh menjadi padang pasir sangat luas yang baunya anyir darah. Desert of Death. Begitulah mereka memanggilnya.

Ekspedisi-ekspedisi dari berbagai belahan dunia dilakukan untuk menyelidiki meteorit tersebut, tapi semuanya pulang tinggal nama. Ada ‘sesuatu’ yang menjaga tempat itu. Lalu seiring berjalannya waktu, tempat itu pun terlupakan. Lebih tepatnya, sengaja dilupakan. Hampir tidak ada lagi yang berani ke sana.

Anehnya, beberapa orang sekitar yang selamat dari musibah itu, mendapatkan kekuatan dan kemampuan spesial dari meteor tersebut. Lalu, mereka dan orang-orang normal yang selamat, hidup berdampingan di sebuah kota yang menjadi pintu masuk ke Desert of Death!

Kota itu dinamakan Superheroes City, yang di dalamnya ada sebuah bangunan bertuliskan ‘GAGAHRO’ di pintu masuknya. Dan, di dalam bangunan itulah kisah ini bermula.

***

“Nama lengkap?” tanya Ziren.

“Anton Wijoyo Hadi Saputro Rintiantyo,” jawab seorang pria bergigi tonggos dengan cepat. Pria itu sedang mendaftar untuk menjadi mitra dari GahRo. Sebuah aplikasi super hero mutakhir masa itu.

“Wah, apa nggak kurang panjang itu nama, Mas?”

“Lho, kok tahu nama aku masih ada lanjutannya, Kak?”

“Hah, beneran masih ada? Nggak usah disebutin lanjutannya deh, itu saja,” sambar Ziren. “Kalau begitu nama heronya siapa?” 

“DareCakil.”

“Hah, siapa, Mas?”

“DareCakil. Itu lho, Kak, pelesetan superhero jaman dahulu yang matanya buta. DareDevil.”

“Oalah, yang itu. Kekuatan yang dimiliki?” 

“Aku punya pendengaran super, Kak. Persis DareDevil.”

“Buta juga seperti DareDevil?”

“Nggak, Kak.”

“Kaya raya seperti DareDevil?”

“Nggak juga, Kak.”

“Bisa berkelahi seperti DareDevil?”

“Sayangnya, tidak juga, Kak.”

“Waduh, kalau cuma pendengaran super, kami sudah punya Si Buta dari Rumah Susun, Mas. Dan dia jago silat.”

“Jadi gimana, Kak? Aku nggak bisa diterima jadi mitra?” tanya Anton dengan wajah yang memelas. 

“Maaf, Mas. Terlalu berbahaya kalau hanya mengandalkan pendengaran. Bagaimanapun, kami bergerak di bidang pengamanan. Syarat utama untuk jadi mitra tentu saja memiliki kemampuan melindungi diri dan klien.”

“Baiklah, Kak. Aku mengerti. Cuman tolong bilangin ke si hitam yang ada di sana ya, Mbak,” jawab Anton sambil menunjuk ke arah Zaky yang sedang bersenda gurau dengan Tedjo. “Kalau nggak bisa ngomong yang baik, mendingan diam!” seru Anton lagi sampai semua orang menoleh ke arahnya.

“Lho, lho, lho, memang dia ngomong apa, Mas?”

“Dia bilang, memang sudah cocok dengan wajahnya nama DareCakil itu.” 

“Wah, sudah ranah pelecehan terhadap fisik itu, Mas. Bisa dilaporkan itu, Mas.” Ziren mengatakan itu dengan menahan rasa ingin ketawa yang muncul sejak Anton mengatakan DareCakil. Bagaimanapun, apa yang dikatakan oleh Zaky itu memang benar adanya.

“Nah, itu dia, Mbak. Saya itu tiap hari mendengar gosip dan gunjingan semua orang yang berada di radius 2 kilometer di sekeliling saya. Mulai dari yang remeh temeh soal menu masakan hari ini, ngomongin sinetron jaman dulu yang katanya ceritanya mbulet gak karuan, hingga yang berat seperti rencana perampokan, penipuan, dan … pembantaian!” 

Ziren mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Anton. Tapi kata terakhir yang diucapkan dengan sedikit penekanan oleh Anton, memang membuat semua orang yang berada di ruangan itu terdiam. 

“I, itu beneran, Mas? Ada satu rencana pembunuhan yang Mas Anton dengar?”

“Lho kok satu, sih, Kak?”

“Bukan satu tok?”

“Ya enggaklah, Kak. Banyak sekali.”

“Terus bagaimana? Masnya sudah lapor ke yang berwajib?” tanya Zaky yang tiba-tiba sudah duduk di kursi yang ada di sebelah kanan Anton.

“Ngapain, Kak. Buang-buang tenaga saja,” jawab Anton, pendek saja. “Eh, Kak Hitam yang tadi kok ikut-ikutan nimbrung di sini?” tanya Anton sambil memandang kurang senang pada Zaky.

“Sudahlah, Mas. Yang tadi itu mungkin dia khilaf. Dimaafin, ya?” potong Ziren sambil tersenyum semanis-manisnya pada Anton.

“Iya, iya. Demi mbaknya yang cantik, aku maafin, deh.”

“Nah, gitu dong. Jadi, siapa yang merencanakan pembantaian masal ini?” tanya Bos Jo. Ternyata tanpa disadari oleh Anton, kali ini seluruh pegawai GahRo dan beberapa orang pendaftar mitra hero telah mengelilingi meja tempat Ziren bertugas.

“Mereka yang merencanakan pembantaian itu adalah orang-orang terpandang di kampung saya. Sebuah kampung di pesisir Super Heroes City, kampung Nam Bangan.” Anton mulai bercerita dengan penuh penghayatan.

“Lho, itu kampung saya, Ma ….”

“Ssst! Diam!” potong para pendengar yang lain.

“A, anu. Maaf-maaf. Silakan diteruskan,” kata Zaky sambil menangkupkan kedua tangannya untuk meminta maaf.

“Dari tadi, Kakak Hitam ini selalu mengganggu saja. Sampai di mana saya tadi?”

“Kampung Nam Bangan!” teriak Zaky.

“Ah, betul. Terima kasih Kakak Hitam. Gitu dong, jadi orang itu harus berguna bagi orang lain.” Kali ini Zaky hanya tersenyum kecut. Uasemmm. Hanya itu yang bisa dikatakannya. Dalam hati saja, tentu.

“Jadi begini. Pembantaian itu akan dilakukan sekitar dua minggu lagi. Orang-orang terpandang di kampung itu sudah merencanakannya sejak lama. Kalau yang kaya bisa beli satu atau dua sapi ataupun kambing sendirian. Kalau yang kurang mampu bisa urunan. Nanti dagingnya akan diberikan ke orang-orang tidak mampu.”

“Stop, stop. Stop dulu, Mas. Jadi yang kamu ceritakan pembantaian itu adalah kurban sapi pada hari raya Iduladha?” tanya Zaky dengan geram.

“Iya. Kakak kira apa?”

“Anu, Bos Jo. Sekali iniii saja, boleh nggak saya mukulin orang di sini?” pinta Zaky pada Bos Jo. 

“Jangan, Zack. Kita tidak boleh mukul hanya karena orang itu begitu ngeselin,” jawab Bos Jo sambil menggelengkan kepalanya. “Kalau hanya njitak, itu boleh.” Lanjut Bos Jo sambil melayangkan satu jitakan yang tak terlalu keras ke Anton. Dilanjut Zaky yang begitu semangat ikut menjitak.

“Aam, ampun …” teriak si DareCakil.

***

Dua hari kemudian, si DareCakil datang lagi ke kantor GahRo untuk melamar pekerjaan. Kali ini langsung ke Bos Jo, sebagai staf khusus bagian pergosipan dan pergunjingan di kantor. Entah apakah Bos Jo akan menerimanya atau tidak.

Nanang ArdiantoSuper hero buruh. Tinggal di Kotakan City.

[red/han]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *