Bulan dan Bintang

ghibahin

“Bodohnya aku meninggalkan bintang demi bulan, Stella.” Nadanya saat menyebutkan namaku membuat perasaanku menjadi hangat.

Semilir angin menyisir rambutku ke belakang. Helaian rambutku bak ombak di udara. Begitu pula perasaanku saat ini yang terombang-ambing. Aku menoleh ke samping dan menatap sosok yang sedang merokok dalam diam itu. Erwin, mantan kekasihku. Degup jantungku terdengar kencang, tapi berirama. Entahlah mengapa aku merasa demikian. Apakah karena pertemuan tak terduga ini menggugah hatiku?

“Kamu seperti mau bilang sesuatu, Stella?” Ia menatapku setelah mengembuskan asap rokok. Aku diam. “Nggak suka ya kalau kita berdua seperti ini?” 

Kupandangi ujung matanya yang berkerut karena tawa yang barusan ia lontarkan. “Enggak. Justru aku yang khawatir kalau kamu nggak suka kita bertemu.” 

Kini senyumnya hilang dan berganti kebingungan. Takdir membawa kami bertemu dengan cara yang tak terduga. Dua jam yang lalu aku baru saja keluar dari toko emas di sebuah mall. Kulangkahkan kakiku ke sebuah kedai kopi untuk memanjakan diri setelah minggu yang sibuk. 

Entah apa maksud Tuhan hari ini. Kulihat sosoknya berada di tempat yang kutuju. Dia duduk sendiri dan menggerakkan jarinya pada tab yang pegangnya. Wajahnya masih nampak tampan dari samping dengan kacamata yang sudah jelas berbeda dari yang dulu. 

Aku terdiam. Seolah duniaku berhenti sejenak kala namanya dipanggil barista dan mata kami bertemu tanpa sengaja. Entah apa yang terjadi dalam detik itu karena aku terlampau bingung menghadapinya. 

Dan di sinilah kami dua jam kemudian, di rooftop mall memandangi langit sore yang berwarna biru keunguan. Kucengkeram teralis yang menjadi batas antara balkon dan kami dengan erat. Rasanya masih sama seperti dahulu. Namun, matanya tidak lagi memancarkan aura jenaka. Ia kehilangan pijar dalam pandangannya.

“Apa kabar?” Aku melontarkan pertanyaan basa-basi yang sudah seharusnya salah satu dari kami keluarkan dari tadi. 

“Pekerjaan dan alamat masih sama. Kadang ada hari buruk, toh tapi gak perlu dipikirkan,” katanya. Benar, ada sesuatu darinya yang hilang. Suaranya kehilangan karisma yang menjadi ciri khasnya. 

“Apa hari buruk itu bisa membuat hidup kamu berubah sepenuhnya, Erwin?” Aku menatapnya. Kucoba mencari hal yang tak kutahu. 

“Hari buruk itu membekas untuk sementara. Lalu hidup berlanjut. Kamu bangun lagi esoknya. Dan tertampar hal yang baru hingga tiba-tiba kamu bisa lupa dengan hal yang kamu gerutukan persoalannya—”

“Seperti aku tiga tahun lalu yang kira bakal sengsara saat kita putus.” Aku memang sengaja memutus penjelasannya yang mulai terasa berbelit-belit.

Erwin terbatuk-batuk mendengar ucapanku. “Saat kamu bilang kita harus selesai dengan alasan bahwa aku bukan lagi sosok yang kamu kenal seperti di hari pertama kita bertemu, itu hari buruk untukku.” Aku coba menyampaikan semua hal yang kupendam sejak tiga tahun lalu.

“Tapi, waktu bergulir dan hidup berjalan. Sejak kamu berkata demikian, aku coba jalani hari dan berusaha berhenti memikirkan kekuranganku yang entah di mana. Aku bertemu teman baru, menonton konser musisi favoritku yang dulu kamu tak suka, menghapus playlist kita hingga akhirnya keluar dari zona nyamanku, yaitu kamu.”

Apakah Erwin merasa bersalah? Apakah ia dihantui dengan perasaan sangsi ketika meninggalkanku? Sekarang wajahnya muram. Kontras dengan langit yang indah di hadapan kami. Sakitkah ia mendengar kalimat-kalimat yang keluar dari mulutku sekarang?

“Hari burukku sudah lewat. Nah, kalau kamu bagaimana?” Aku ingin tahu apa yang ia lalui selama ini.

Ke mana perginya wajah riang yang pernah menemaniku beberapa tahun lalu? Apa seburuk itu hal yang Erwin lewati hingga dia lupa caranya menatap diriku ketika kami masih bersama? 

“Kalau aku menyakitimu tiga tahun yang lalu, berarti aku mendapatkan balasannya sekarang.”

Senyuman getir diberikannya pada langit di atas. “Dua bulan yang lalu, aku putus dengan Selena. Ah tidak, lebih tepatnya aku yang ditinggalkan.”

Selena, kekasih Erwin yang ia gandeng hanya empat bulan setelah putus dariku. Hubunganku dan Erwin berjalan empat tahun sebelum kami—aku diputuskan begitu saja. Diam-diam aku tertarik mendengar karma yang didapatkannya.

“Selena bilang alasan kami berpisah bukan karena keegoan kami maupun kehadiran orang lain. Katanya, apa yang ia cari di lelaki tidak ada dalam diriku. Ia butuh kepastian dan rasa aman. Sedangkan aku hanya bisa memberinya adrenalin sesaat.” 

Erwin, matamu sekarang terisi kesedihan. Apakah sama demikian ketika kamu melepaskan aku?

“Aku kira Selena lebih baik dibanding kamu. Maaf. Jika kamu pernah berdoa agar aku merasa sakit yang sama, doamu sudah terwujud.” 

Haruskah aku bahagia mendengar ini? 

“Apa yang sudah lewat bisa jadi hal berarti namun juga tidak, Win.” Aku memberikan senyuman tulus yang masih kuingat disukainya. Sangat ia sukai. Menurut Erwin, senyumku mengingatkannya pada ketenangan yang ia dapatkan ketika pagi datang dan langit masih berwarna biru dongker dihiasi beberapa bintang.

“Bodohnya aku meninggalkan bintang demi bulan, Stella.” Nadanya saat menyebutkan namaku membuat perasaanku menjadi hangat. “Namamu berarti bintang, sedangkan Selena berarti bulan. Kamu tahu aku dari dulu mencintai bintang, karena ia akan selalu berada di tempat yang sama memancarkan cahayanya. Tidak seperti bulan yang penuh semu, selalu berubah dan memporak-porandakan air yang tenang.” 

Tatapan kami bertemu lagi setelah ia mengucapkan itu. Ia memandangku dengan serius, seolah ingin memaknai yang dia katakan dengan sungguh-sungguh. Kenangan sekian tahun silam singgah di antara kami dan rasanya ingin kulempar semua itu ke arahnya.

“Kamu tidak bisa membandingkan bintang dan bulan. Mereka ada di orbit yang sama dengan keindahan berbeda. Mereka berpijar dengan cara berbeda.” Kami kembali berpandangan dalam diam seolah mencari getaran yang pernah kami rasakan bersama. “Kamu jatuh cinta pada perempuan lain yang bukan aku adalah hari terburuk yang sekarang sudah tak berarti lagi, Erwin.” 

Rokok di jemarinya sudah tinggal seukuran kelingking dan ia buang begitu saja. “Aku ….” Ia tidak meneruskan kalimatnya. Tangannya terangkat menggosok leher belakang, tampak ragu mengatakan sesuatu.

“Kamu harus melepaskan bulan dan bintang apapun yang terjadi. Karena sejatinya mereka tidak akan selalu hadir meski kamu tahu keduanya ada di mana. Justru, kamu harus mencari mentari yang sudah pasti akan selalu menemani bukan?” Erwin terkejut dan menegakkan kepala hingga ada pijar kecil yang seolah terpancar dari tatapannya. Aku bisa melihat bagaimana alisnya terangkat dan wajahnya seperti menemukan jawaban yang selama ini ia tidak tahu ia perlukan.

“Aku sudah memaafkan luka yang kamu berikan padaku. Tiap waktu yang kita lalui selalu terasa bahagia karenamu. Dan aku ingin selalu mengingat Erwin sebagai orang baik saja. Toh, soal luka itu memang akan berbekas namun bisa pudar seiring waktu.”

“Stella, semakin kamu mengatakan ini rasanya penyesalanku semakin dalam.” Erwin mengusap wajahnya dengan kasar. Penyesalan dan kesedihan pada dirinya memancar kuat lalu menjadi satu hingga aku tak sampai hati membuka mulut lagi. Tapi, apa kami masih punya waktu lain untuk menjelaskan cerita lampau yang usai tanpa epilog yang jelas? “Boleh aku memelukmu?” 

Aku melangkah mundur menciptakan jarak. Bukan pelukan yang hendak ia berikan akan membuatku kembali kepada sosok Stella yang dulu. Bukan. Justru aku ingin meluruskan segala hal selagi masih ada waktu.

Kuambil paper bag yang kusimpan dalam tas selempang. Aku ambil kotak beludru kecil yang ada di dalam paper bag tersebut dan kubuka. Ia mengamati dengan saksama. “Ini cincin pernikahanku bulan depan.” Aku hadapkan kotak itu tepat ke wajahnya dengan sengaja. Dua cincin emas putih dengan intan di tengahnya, berukirkan namaku dan calon suamiku.

Pemandangan sore yang indah di rooftop seharusnya menjadi sesuatu yang bisa dikenang dengan indah. Namun Erwin tertegun untuk kesekian kalinya pada sore ini.

“Aku akan menikah, Erwin. Dengan lelaki yang tak pernah lupa akan eksistensiku dan selalu melibatkan aku di hari baik maupun hari buruknya.” Cincin ini menjadi saksi betapa remuknya hati Erwin dalam keheningan, cincin ini pula yang akan menjadi saksi aku melangkah dalam kebahagiaan bersama orang baru. 

“Pelukan yang ingin kamu beri padaku justru akan menjadi kenangan buruk bagimu di masa depan.” Aku tersenyum. Kuturunkan kotak beludru itu dan kupandangi sejenak. Indah, sangat indah.

“Aku sudah mengeluarkan segala hal yang ingin kukatakan padamu sejak lama. Bahkan aku tak ragu untuk menyakitimu hari ini tanpa rasa bersalah.” Aku elus kotak beludru itu dengan lembut sebelum kumasukkan kembali. Kekosongan dalam mata Erwin bisa kurasakan. Mestinya sekarang ia tahu bahwa ia tak bisa lagi mendapatkan hal indah yang dulu ia puja-puja. Ia kehilangan segalanya, baik bulan maupun bintang.

“Aku berharap kamu bisa menemukan matahari yang mampu menerangi hari terburukmu, seperti aku yang sudah bisa menemukan kebahagiaanku sendiri.” Aku maju dan menepuk pundaknya untuk yang terakhir kali. 

Di sini, di bawah langit yang menjadi objek kesukaannya, kupatahkan hatinya. Erwin memaksakan senyumnya, begitu pula aku. Perasaan kami bercampur menjadi satu untuk yang terakhir kalinya. Dalam diam kami bisa saling memahami perasaan satu sama lain. Aku melangkah melewati Erwin yang masih diam. Sebelum tanganku membuka kenop pintu, kutolehkan kepalaku. Kulihat ia mengeluarkan sebatang rokok. 

Helaan napasnya terdengar jelas. Ia mengisap rokok berhadapan dengan langit. Lalu ia menghela napas lagi. 

Hellen Wijaya. Pemimpi yang senang berimajinasi, sekaligus pecinta roti dan teh. 

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *