Aku Hanya Ingin Bisa Menghentikan Waktu

ghibahin

“Setiap mengenang hari kematian bulik, aku selalu ingin membayar rasa bersalahku dengan hidupku.” 

Angin menerbangkan daun-daun di hadapanku. Seorang petugas kebersihan terlihat tetap tekun menyapu daun-daun yang berserak karena angin. Ia tak mengumpat. Ia bahkan tak menggerutu. Ia mengangguk sopan padaku saat pandangan kami bertemu. Kubalas dengan senyum sepintas. Lekas-lekas pandanganku kualihkan ke arah anak-anak kecil yang berlarian di dekat pancuran.

Entah sudah selama satu atau dua jam aku duduk menyendiri di sini. Hal yang biasa kulakukan untuk menenangkan diri setelah berdoa pada Bunda Maria di kapel, sebelah taman ini.

Dulu, aku bersekolah di SD Katolik yang ada di depan taman. Sekolahku terlihat masih megah seperti dulu. Ada hal-hal indah yang tak akan pernah berubah di sini. Merasakan keindahan yang tak lekang oleh waktu nyatanya selalu dapat membuatku tenang. Mungkin juga semua berkat perlindungan Bunda Maria yang menjadi Bunda Pelindungku sejak aku kecil. 

Sebuah pesan masuk ke ponselku. Ibu. Selalu, hanya dia yang mencariku. Ibu seperti selalu tahu kalau aku memiliki tempat untuk menyembunyikan diri. Kadang aku berpikir, mungkin Bunda Maria yang memberi tahu ibuku untuk mencariku. Ibulah yang mengajariku untuk selalu minta perlindungan dari Sang Bunda Suci. Katanya, jika kelak ia tak lagi ada di dunia, aku masih punya Bunda Maria yang tak akan pernah meninggalkanku. 

Kubalas pesan dari ibuku. Kukatakan bahwa aku sedang membeli soto lenthuk[¹] favorit kami. Jantungku kembali berdebar kencang. Keringat dingin membasahi kedua telapak tanganku. Aku harus pulang. Aku harus kembali hidup pada kenyataan. 

Aku berlari kecil menuju warung soto langgananku. Warung ini punya soto lenthuk yang rasanya tak pernah berubah. Walau, Pak Slamet –pemilik warung soto– tak lagi meladeni pembeli seperti saat aku masih SD dulu. Kini ia hanya duduk di dekat kasir, mengawasi, dan menyapa para pembeli. 

“Soto satu dibungkus. Nggak usah pakai nasi ya, Pak.” kataku pada pegawai Pak Slamet yang bertugas meracik soto.

Ia mengangguk tanpa suara. Dengan cekatan ayam disuwir dan dimasukkan ke dalam plastik bersama bihun, seledri, potongan lenthuk, dan daun bawang. Lalu ia membungkus kuahnya di plastik lain. 

Setelah membayar soto, aku berlari lagi menuju parkiran di taman. Kukendarai motor selambat mungkin. Andai bisa menghentikan waktu, mungkin sudah kulakukan. Aku hanya tak ingin bertemu dengan Valeri, suami, dan anak-anaknya di acara sembayang peringatan seribu hari ibunya jam tujuh malam nanti. 

Valeri adalah sepupuku. Ia seperti iblis berbibir malaikat yang sangat dicintai oleh Bulik[2] Imah. Dulu saat Bulik Ratmi –ibu dari Valeri– masih hidup, iblis itu sudah begitu pandai berbohong. Ia lihai mengelabui seluruh keluarga besar dengan aneka drama yang dikarangnya. Dengan kebohongannya, ia selalu mendapatkan uang untuk menopang kebutuhan hidupnya.

Aku tak akan peduli jika saja ia tak melibatkan ibuku dalam perbuatan jahatnya. Sayangnya, ibuku pun ditipu. Ia meminjam uang sebesar dua puluh juta rupiah. Katanya untuk biaya hidupnya nanti selama melanjutkan kuliahnya di Malaysia. Ibuku menggadaikan kalung emas dan cincin warisan dari eyang untuk Valeri si jahat. 

Awalnya, tentu saja aku tak menyadari bahwa ia berbohong. Hingga suatu ketika, ia bilang bahwa uang dua puluh juta itu raib dari loker tempat ia magang. Saat itu juga aku menyadari aneka kejanggalan yang ia buat untuk meyakinkan keluarga bahwa ia mendapatkan beasiswa di Malaysia. 

Aku tak ingin menuduh tanpa bukti. Maka waktu itu aku menelepon kampus tempat Valeri kuliah. Aku tak hanya mendapat fakta bahwa tak ada program beasiswa. Aku juga mendapatkan informasi dari bagian keuangan di kampusnya bahwa ia belum melunasi uang gedung. Padahal, ayahnya telah bekerja ekstra dengan berjualan roti bakar setiap malam demi mencukupi biaya kuliahnya.

Aku memberitahukan semua itu ke ibuku. Lalu atas saran ibu, aku memberi tahu Bulik Ratmi semua hal yang kuketahui. Tak lama setelah itu, bulik jatuh sakit. Dokter mendiagnosa bulik dengan Diabetes Melitus. Dan Valeri yang tahu bahwa aku berusaha membongkar kejahatannya justru memfitnahku. 

Alih-alih minta maaf dan mengakui kebrengsekannya, ia justru menudingku sebagai pembohong. Bahkan ia berteriak dengan histeris pada semua orang, menyebutku sebagai penyebab ibunya jatuh sakit karena stress. Dan yang paling membuatku sakit hati adalah semua anggota percaya padanya. Bahkan, ayahku pun memilih mempercayainya dibanding mempercayaiku. Semua berusaha memeluknya saat ia berteriak histeris seakan sedang dirasuki roh leluhur. 

Kowe sing ngapusi!”[³] teriak Valeri berulang-ulang sambil melotot dan menunjuk-nunjuk ke arahku saat itu. 

Setiap kali mengingat hari itu, tubuhku bergetar. Semakin hari, ingatan tentang hari itu justru semakin nyata. Kadang aku merasa bahwa Valeri benar. Akulah yang paling jahat.

Saat Bulik Ratmi meninggal, aku begitu terpukul. Bulik enggan mengobati penyakitnya. Ia bilang padaku, ia malu punya anak penipu. Ia selalu bilang ia ingin cepat mati. 

Aku sangat kehilangan Bulik Ratmi. Aku merasa sangat bersalah telah membunuhnya dengan memberitahunya kebenaran tentang Valeri. Setiap mengenang hari kematian bulik, aku selalu ingin membayar rasa bersalahku dengan hidupku. 

Hingga hari ini kurasa hanya ibuku dan Bunda Maria yang percaya padaku. Hanya ibuku dan Bunda Maria yang membuatku berusaha berdamai dengan rasa bersalahku. 

Tinggal satu belokan lagi dan aku akan sampai di rumah. Aku bernapas melalui mulut untuk coba meredam degup jantung yang kurasa kembali berdetak cepat. Memang tak seharusnya aku mengizinkan ingatanku mengingat jahatnya Valeri. 

Berpikir tentang Valeri hanya akan membuatku merasa sebagai pembunuh Bulik Ratmi. Tanganku kembali berkeringat dingin. Untung gerbang rumahku sudah terlihat. Ibu ada di sana. Ia tersenyum sangat lebar. Senyum ibuku itu kembali menenangkanku.

Ibu menyambutku dan mengajakku makan siang. Aku tak perlu bercerita. Ia selalu tahu saat aku sedang tidak baik-baik saja. 

Aku menuang semua sambal ke piringku. Ibu geleng-geleng melihatku.

“Banyak banget sambelnya. Awas, bisa sakit perut. Kalau nanti nggak mau datang, ya, enggak apa-apa, Arimbi. Ibu bisa pergi dengan ayahmu saja,” kata ibuku. 

Nggak apa-apa, kok, Bu,” jawabku singkat. 

“Ini tentang Valeri lagi, kan?”

Aku hanya mengangguk tanpa melihat ke arah ibu. 

“Kamu tahu kalau ibu percaya padamu, kan? Seharusnya itu sudah cukup, anakku. Rasa percaya ibu akan melindungimu dari jahatnya bibir Valeri. Atau kamu masih memikirkan soal uang yang dipinjamnya?”

Aku kembali mengangguk. Air mataku tumpah. Kuletakkan sendokku. 

“Aku belum bisa mengembalikan kalung dan cincin warisan Eyang, Bu.” ujarku lirih. 

Nduk[⁴], dengarkan Ibu. Sejak tahu bahwa Valeri menipu, Ibu sudah sadar bahwa uang yang dipinjamnya tak mungkin kembali. Dan yang berutang itu Valeri, bukan kamu. Jangan memupuk diri dengan rasa bersalah yang begitu besar.” 

Ibu berdiri menghampiriku yang semakin terisak. Ibu memelukku. Tangisku semakin keras dalam dekapan Ibu. Sakit di kepalaku semakin menusuk-nusuk dengan kuat seiring isak yang tak bisa kubendung. 

Lalu, teror itu datang lagi. Bukan. Ini bukan lagi soal Valeri. Teror itu semakin sering menggangguku belakangan ini. Aku bisa apa jika kelak Ibu juga meninggalkanku untuk selamanya seperti Bulik Ratmi?

Butet RSM, Ibu rumah tangga, tinggal di Bantul.

Catatan kaki:

[1] lenthuk: perkedel singkong.

[2] bulik: tante.

[3] kowe sing ngapusi: kamu yang berbohong.

[4] nduk: panggilan untuk anak perempuan, Nak.

[red/san-af]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *