The Woman in the House Across the Street from the Girl in the Window, Serial yang Seharusnya Ditonton tanpa Berpikir

The Woman in the House Across the Street

“Segala hal yang berkaitan dengan kesehatan mental memang menjadi menarik belakangan ini. Artinya, ada kesadaran komunal tentang kesehatan mental di masyarakat. Sayangnya, kadang tema kesehatan mental “dijual” dengan cara-cara nggak keren, seperti dalam serial ini.”

Spoiler alert

Bagi saya, malam Minggu adalah malam panjang yang patut dirayakan dengan tidur sangat larut untuk memanjakan diri. Biasanya saya menikmati malam Minggu dengan mencari video konser musik di Youtube, membuat playlist di Spotify, atau menonton film di Netflix. Sayangnya, pesta malam Minggu saya tak selalu sukses. 

Salah satu penyebab gagalnya pesta malam Minggu saya adalah akibat salah memilih film di Netflix. Pernah saya coba antisipasi bencana salah pilih film dengan mencari review sebelum memutuskan nonton. Tapi sungguh itu repot banget. 

Pertama, saya harus cek dulu jadwal tayang film terbaru lewat media sosial Netflix. Kemudian saya mencari review-nya dari Google. Cara seperti ini, telah menyelamatkan saya berkali-kali dari derita salah pilih film, tapi ya, sungguh repot. 

Beberapa pekan lalu, dalam layar Netflix, muncul rekomendasi serial dengan judul yang amat panjang. Bayangkan saja, 14 kata untuk sebuah judul. Saking panjangnya sampai judul tersebut terpotong di tampilan preview. Serial yang saya maksud adalah “The Woman in the House Across the Street from the Girl in the Window”. 

Sebenarnya, saya agak ragu untuk memulai nonton saat mengamati judulnya. 

“Sepertinya ini film wagu, deh.” batin saya. 

Tapi alih-alih mengikuti intuisi, saya justru memilih untuk menekan tombol play di layar. “Masa bodoh dengan intuisi, lah,” pikir saya. Dan rupanya pengabaian saya terhadap intuisi ini akhirnya membawa saya pada pengalaman kurang asik dalam menonton serial Netflix. 

Akhirnya saya menonton serial hasil kolaborasi Rachel Ramras, Hugh Davidson, dan Larry Dorf ini. Saya akui bahwa episode pertama berhasil membuat saya untuk berpikir bahwa saya nggak salah pilih serial. Asik, ringan, menarik, dan akting Kristen Bell sebagai pemeran utama terlihat bagus. Akting Samsara Yett yang memerankan Emma, putri dari Neil (Tom Riley) pun sangat menarik. Mereka berperan sebagai tetangga baru yang rumahnya berseberangan dengan rumah Anna (Kristen Bell). 

Saat masuk episode kedua lalu ketiga, rasa penasaran dan nostalgia saya terusik. Judul serial yang teramat panjang mengingatkan saya pada sekuel “I Know What You Did Last Summer” (1997), “I Still Know What You Did Last Summer” (1998), dan “I Will Always Know What You Did Last Summer” (2006). Sekuel slasher tahun 1990-an tersebut menceritakan tentang pembunuh psikopat yang meneror sekelompok pemuda. Sepanjang film, penonton diajak untuk penasaran dengan sosok psikopat yang misterius. 

Namun ternyata serial mini ini berbeda dengan sekuel tersebut. “The Woman in the House Across the Street from the Girl in the Window” sejak awal mengajak penonton untuk ragu apakah benar ada pembunuhan atau tidak. Tokoh utama, Anna (Kristen Bell), diceritakan sebagai sosok depresif yang sering berdelusi. Narasi tentang bagaimana kombinasi depresi, anti depresan, dan anggur murahan dapat membuat orang berhalusinasi menjadi hal yang terus menerus disampaikan pada penonton.

Segala hal yang berkaitan dengan kesehatan mental memang menjadi menarik belakangan ini. Artinya, ada kesadaran komunal tentang kesehatan mental di masyarakat. Sayangnya, kadang tema kesehatan mental “dijual” dengan cara-cara nggak keren, seperti dalam serial ini. Pesan tentang bahaya mengombinasikan obat antidepresan dengan alkohol menjadi bias ketika pada akhirnya memang ada tokoh psikopat di dua episode terakhir. 

Walau banyak juga yang mengapresiasi serial ini dengan menyebut serial ini sebagai tontonan ringan yang seharusnya ditonton tanpa ekspektasi berlebih. Mereka yang legowo dengan hal klise yang disuguhkan serial ini menyebut bahwa serial ini adalah genre komedi gelap yang sebaiknya dinikmati tanpa terlalu banyak berpikir. 

Perlu saya katakan bahwa episode 7 dan 8 menjadi antiklimaks dari serial ini. Jika Sobat Ghibah terlanjur menonton dan belum selesai, sebaiknya berhenti saja di episode 5. Stop di situ. Misterinya akan terasa makin mantap karena tak terungkap. Tapi percayalah, bahwa Anda akan terhindar dari ngomel panjang akibat kecewa pada ending serial jika menuruti saran saya. 

Durasi setiap episode dari serial ini memang cukup singkat, hanya antara 22 hingga 29 menit per episode. Hal itu membuat saya memutuskan untuk melanjutkan menonton hingga selesai. Toh, hanya butuh waktu sekitar 4 jam untuk menuntaskannya. Andai saya cukup bijak dengan berhenti di episode 5, mungkin artikel ini tak akan pernah ada dan Anda akan mengalami kekecewaan seperti yang saya rasakan. 

Namun, jika Anda malah jadi penasaran dan bersikukuh ingin menonton gara-gara tulisan ini, ya nggak apa-apa. Selamat menikmati. Pesan saya, menontonlah tanpa rasa penasaran, tanpa berpikir, dan tanpa berekspektasi. Lebih baik lagi jika Anda bisa ketiduran. Karena mungkin dengan ketiduran, Anda bisa mendapatkan hiburan visual di alam mimpi yang lebih seru daripada serial ini. [red/nuha]

Butet RSM, tukang ghibah yang baru saja salah pilih serial Netflix. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *