Pengalaman Naik Bandros, Pemandu Adalah Koentji

“Bade ka reuni, Pak.” Sapa suami saya pada bapak penjaga pos. (Mau ke acara reuni, Pak – terjemahan dari bahasa Sunda). Spontan, telunjuknya mengarah ke banner acara reuni kampusnya yang terpampang di sepanjang kompleks Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung ini.

“Sok mangga. Loba parkiran ti payeung.” Ujar bapak berseragam itu sambil menaikkan portal. (Silahkan masuk, Pak. Masih banyak parkiran di depan).

Mobil yang kami tumpangi pun melaju perlahan menuju area parkir yang tersedia, tepat di seberang pintu utama gedung. Tak jauh dari sana, tiga kendaraan seperti bus mini terparkir rapi di muka pintu utama.

Sebagai perantau ibukota yang sepuluh tahun ini tinggal di Sumatera, mata saya langsung membulat melihatnya. Waaaw, lutunaaa…! Ini pasti Bandung Tour On Bus alias Bandros, bus wisata Bandung yang hits itu. Salah satu acara yang dijanjikan di reuni kampus suami saya ini memang jalan-jalan keliling kota Bandung, naik Bandros.

Sepintas, penampakannya memang serupa trem di luar negeri zaman dulu. Selain tanpa pintu dan tanpa kaca jendela, deretan bangku di dalamnya menghadap ke arah depan. Karena di Indonesia nggak ada trem, mungkin bayangannya seperti odong-odong aja kali ya (supaya lebih merakyat gitu)

Tapi tentu saja, “odong-odong” yang ini jauh lebih menarik. Penampilannya yang klasik memang sangat catchy. Kalau zaman sekarang bilangnya berkonsep art deco. Tiga Bandros yang parkir itu masing-masing body-nya bercat toska, putih, dan hitam. Lampu depannya yang bulat bagi saya terlihat seperti sepasang mata sayu yang menggemaskan. Di bagian belakangnya juga ada semacam balkon kecil tempat orang berdiri.

Sepertinya asyik juga nih menyusuri kota Bandung dengan Bandros, sambil berharap tidak tiba-tiba turun hujan. Dengan jendela yang terbuka abadi begini, berharap air hujan nggak bakal tampias masuk ke dalam sepertinya hanya mimpi kali ye.

Untungnya, cuaca cerah, Sodara-sodara. Jadilah petualangan ber-Bandros ria dimulai sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Saya dan rombongan pun bersiap ngariung (berkumpul) di Bandros berwarna toska. Kami masing-masing diberikan tiket Bandros bernuansa vintage yang cucok banget lah buat pamer di medsos, atau sekadar disimpan jadi souvenir kenang-kenangan.

Bandros sendiri sebelumnya dikenal sebagai nama jajanan dari tepung beras, yang tampilannya serupa kue pancong. Sementara Bandros yang ini, mengutip sejarahnya dari laman bandung.go.id diresmikan pada malam tahun baru 2014 sebagai bus yang disediakan oleh Pemda bagi wisatawan yang ingin berkeliling kota Bandung.

Menurut inews.id, Bandros diproduksi dan dirakit di Cimahi, Jawa Barat. Menggunakan chasis Hino, armada ini memiliki dimensi panjang sekitar 7 meter, lebar 2.1 meter, dan tinggi 1.7 meter. Sementara jarak sumbu rodanya 3.7 meter. Awalnya, Bandros merupakan bus tingkat beratap terbuka (double decker). Namun Bandros yang saya lihat saat itu sudah tidak tingkat lagi. Saya menduga, mungkin karena beberapa tahun lalu sempat ada insiden penumpang Bandros yang terjatuh dari lantai atas.

Bandros beroperasi setiap hari dari jam 08.00 pagi sampai 16.00. Harga tiketnya sendiri 20 ribu untuk sekali trip, dan 40 trip untuk multi trip dalam 1 hari.

Ya, Bandros memang memiliki beberapa rute. Rute pertama start dari Alun-alun Bandung, menyusuri Banceu, Cikapundung, Braga, Suniaraja, Perintis Kemerdekaan, Wastukancana, LLRE Martadinata, Ir. H. Djuanda, Diponegoro, Citarum, Lombok Aceh, Sumatera, Tamblong, Asia Afrika, lalu kembali ke Alun-alun.

Sementara Bandros yang kami tumpangi ini sepertinya memang spesial booking-an panitia acara. Jadi kami bisa langsung memulai perjalanan dari Gedung Sabuga titik kumpul kami, dan menjelajahi rute kedua.

Bandros kami melewati Jl. Ganesha, ‘the famous’ Jalan Dago, Diponegoro, kawasan Banda, GOR Saparua, Asia Afrika, Jl. Tamblong yang katanya banyak PSK , Alun-alun kota Bandung, penjara Banceuy, Pasar Cikapundung yang dulu tempat jualan majalah-majalah bekas, Jalan Braga yang ikonik dan banyak pelancong, Wastukencana, dan Jalan Riau yang dulu sering macet karena banyak FO (factory outlet). Setelah itu Bandros kembali ke Jalan Dago, melintasi kawasan Taman Sari, Kebun Binatang, dan kembali ke Sabuga.

Bandros ini berkapasitas sekitar 25 penumpang. Saya mengambil bangku pada baris keempat, di sisi seberang supir. Kursinya dari besi bercat abu-abu, dengan lebar sekitar 1 meter. Sepertinya dirancang untuk diduduki 2 orang, yang bagi saya terasa agak sempit. Tak apalah. Saya membayangkan perjalanan ini toh tidak akan memakan waktu berjam-jam yang bisa melelahkan pantat.

Dan, dugaan saya ternyata terbukti. Petualangan pertama saya ngabandros (naik Bandros) benar-benar mengasyikkan dan saya menyadari, keriaan tersebut tak lepas dari peran sang pemandu Bandros. Ya, di sini kami berkenalan dengan Pak Dadang, pramuwisata yang memimpin “petualangan” Bandros kami.

Pak Dadang menyebut dirinya Dabot, singkatan dari Dadang Botak (kalau kalian langsung membayangkan Pak Dadang nggak berambut, maaf saya juga nggak tahu karena saat itu beliau pakai topi gunung. Haaa …). Perawakannya sedang, cenderung kurus. Dari raut wajahnya saya rasa usianya sudah 70 tahunan. Sepintas, wajahnya mengingatkan saya pada alm. Pak Tile, aktor dan seniman Betawi yang cukup dikenal di era 80-90-an itu.

Pak Dadang terlihat cukup senior sebagai seorang pemandu wisata. Saat itu, ia mengenakan kaos kuning dengan rompi lapangan coklat, senada dengan warna topi gunungnya. Kartu identitas bertali merah tergantung di dadanya.

Cara bertuturnya santai, penuh canda. Logatnya sunda pisan (sunda banget). Apalagi begitu tahu wisatawan yang “dibawa”nya kali ini adalah para alumni mahasiswa Bandung, beliau pun kerap berbicara dengan Bahasa Indonesia campur-campur Bahasa Sunda.

Sambil berdiri dan memegang mikrofon, Pak Dadang aktif bercerita segala hal terkait sejarah bangunan, jalan, kawasan, sampai tentang sang urban legend, rumah kentang, yang memang keberadaannya dilewati rute Bandros ini.

Seperti ketika Bandros kami meninggalkan Sabuga dan menyusuri Jalan Ganesha. Melewati kampus ITB, almamater sebagian besar penumpang Bandros ini, dengan sigap Pak Dadang bercerita tentang sejarah salah satu kampus tertua di Indonesia ini; tentang bagaimana kampus ini berdiri di masa kolonial Belanda. Sebenarnya, Pak Dadang menyampaikan materi yang bisa dibilang serius. Tapi seperti yang saya sampaikan sebelumnya, gaya bertuturnya yang luwes, plus candaan serta ledekan-ledekan beliau pada kami, membuat kami tidak merasa sedang “kursus” pelajaran sejarah yang membosankan.

Bagi saya, Pak Dadang terlihat sebagai seorang pemandu yang mencintai pekerjaannya. Kerutan di wajahnya tidak hanya memantulkan usia paruh bayanya, namun juga memancarkan kematangan pengalamannya sebagai seorang pramuwisata di kota Bandung ini.

Saya merasa, beliau seperti berusaha membuat para penumpangnya senang, tertawa, dan berbahagia saat menaiki Bandros. Seperti ketika Bandros kami melewati Jalan Braga.

Tiba-tiba, Pak Dadang mengajak kami “bermain”. Beliau meminta kami se-Bandros bersama-sama mengucapkan kata “hai …” ketika melihat seseorang atau sekelompok orang yang sedang duduk-duduk di sepanjang Jalan Braga. Bila Bandros kami kemudian melewati orang-orang yang sedang berfoto, maka kami akan meneriakkan kata “cheese…”. Sementara bila Bandros kami melalui sepasang muda-mudi, maka kami akan menggodanya dengan berteriak, “Ciyeee … ciyeee ….”

Kalian kebayang kan, tidak hanya kami di dalam Bandros saja yang ngakak melihat ekspresi orang-orang yang kami “kerjai” sepanjang Jalan Braga, namun para “korban” kami pun mau tak mau tersenyum melihat kelakuan kami. Selamat ya, Pak. Everybody’s happy.

Setelah seru-seruan di Jalan Braga yang bikin kami sakit perut, Pak Dadang ternyata masih menyimpan punchline-nya, “Yak, karena tadi banyak sekali orang yang harus kita ‘ciyeee-ciyeee-in’, maka untuk histori Jalan Braga silahkan browsing sendiri…”

Tanpa Pak Dadang, saya yakin nge-bandros bakalan B aja. Nggak akan seseru ini. Apalagi, sepanjang perjalanan penumpang kudu bertahan di tempat duduk besi seperti itu. Mungkin ini bisa jadi “catatan” kedepannya, apa memang konsep bangku besi seperti ini akan terus digunakan?

Entah paham dengan kondisi ini, atau mungkin juga karena ngelihat posisi duduk saya yang sudah mulai ogal-ogel, pada saat Bandros kembali memasuki kawasan Sabuga, Pak Dadang “menjawab” pertanyaan di benak saya, “Bangku ini memang sengaja dibuat keras. Soalnya kalau dibuat empuk nanti penumpang Bandrosnya pada ngantuk. Keenakan.” Begitu alasan beliau.

Saya cuma bisa manggut-manggut. Iya juga sih. Kalau dikasih sofa empuk, atau model-model sleeper gitu, nanti penumpang Bandros-nya malah pada goleran, ya nggak sih? Tapi, kalau pas dapat pemandunya seperti Pak Dadang mah, dijamin melek dan ketawa-ketiwi.

Saya sempat berpikir bahwa apa yang Pak Dadang lakukan bakal dilakukan juga oleh pemandu Bandros lainnya; sudah jadi SOP gitu. Seperti candaan dan bahkan ledekan yang dilontarkannya adalah memang seperti skrip yang harus diucapkan.

Tapi asumsi saya terbantahkan ketika keesokan harinya saya menyambangi Braga dan kebetulan berpapasan dengan tiga atau empat Bandros yang melintas. Saya tidak melihat keriaan yang sama. Saya berharap mendengar teriakan “hai”, atau “cheese” datang dari dalam Bandros beraneka warna itu. Saya bahkan saat itu merindukan di-ciye-ciye-in. Gawat!

Ternyata, harapan saya menjadi kenyataan kala Bandros kelima lewat. Teriakan, “Ciyeee … ciyeee …,” tiba-tiba terdengar dari dalam Bandros, disambung tawa membahana para penumpangnya. Hahaha …! Bandros kelima itu pasti dipandu Pak Dadang. 

Saya pun tersenyum dan membatin dalam hati, “Hatur Nuhun, Pak Dadang, sudah membuat kami bergembira. Mudah-mudahan lain kesempatan bisa ngabandros bareng bapak lagi.”

Dessy Liestiyani, suka naik bandros.

[red/nat]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *