Panduan Singkat Berpantun Betawi

Fenomena pejabat publik membaca pantun sebelum membuka acara cukup marak akhir-akhir ini, khususnya pada acara semi formal maupun non formal. Hal ini dapat kita saksikan di layar kaca pada acara-acara tertentu. Tentu saja kalau acara formal seperti amanat pembina upacara, pengecualian, ya. Mosok lagi serius tetiba pantun, ya nggak mashook. 

Situasi ini menjadi oase segar bagi para penggiat pantun dan juga bagi perkembangan budaya khususnya tradisi lisan Nusantara. Apalagi jika melihat bagaimana generasi Y dan Z, lebih sering berbahasa alay campur bahasa asing—alih-alih menggunakan atau melestarikan pantun sebagai warisan budaya Nusantara.

Begitu pula lomba-lomba pantun semakin marak di masa pandemi ini—biasanya menjadi selingan hiburan sebuah acara webinar maupun lomba-lomba di akun medsos perusahaan tertentu. Tak heran memang, pantun ibarat ice breaking yang dapat memecahkan suasana yang kaku menjadi santuy dan rileks.

Meski hadiahnya tak besar—kadang produk barang, kadang voucher belanja online, atau saldo Gopay/OVO, namun lomba pantun menjadikan sebuah perusahaan melalui akun medsosnya semakin dikenal. Biasanya, panitia lomba mewajibkan peserta mem-follow akun si perusahaan dan men-tag teman-teman si peserta. 

Sebagai salah satu pegiat pantun, tentu saja saya pernah ikut meramaikan lomba-lomba pantun tersebut. Informasi lomba biasanya saya dapatkan dari circle pertemanan grup percakapan maupun grup medsos pantun, khususnya grup pantun Betawi. Pernah juga  pantun yang saya buat menghantarkan saya menjadi juara dalam lomba yang dipilih secara online tersebut.  

Namun demikian, dari beberapa lomba pantun yang saya ikuti—juga diikuti oleh sahabat saya—sesama pegiat pantun Betawi, ada beberapa lomba yang memenangkan pantun yang kurang masuk kaidah pantun. Hal ini saya diskusikan dengan sahabat saya—Bang Ocad namanya–seorang pegiat pantun Betawi juga dan langganan juara. Ia pun mengaminkan tanda sepakat dengan saya.

Sebenarnya sih, saya santuy aja—karena setelah saya perhatikan latar belakang penyelenggara lomba pantun, memang bukan lembaga kebudayaan yang mengerti kaidah pantun atau menghadirkan juri yang kompeten  di bidang pantun-memantun ini, seperti Babeh Zahrudin, si Raja Pantun Betawi. 

Sesungguhnya susunan pantun terdiri dari empat baris, setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, terdapat 2 baris sampiran dan 2 baris isi, memakai rima berpola a-b-a-b. Dan pola inilah yang dipakai untuk membuat pantun pada umumnya. 

Misalnya pantun Betawi yang mengharuskan berpikir cepat seperti pantun palang pintu yang mengutamakan rima akhir kata yang sama pada baris sampiran dan isi.

Sampiran 1: “Minum sekoteng di pasar Jum’at” 

Sampiran 2: “Mampir dulu di Kramat Jati”

Isi 1: “Saya dateng dengan segala hormat”

Isi 2: “Mohon diterima dengan senang hati”

Pada pantun di atas, pola pantun memang sudah sesuai a-b-a-b, yakni pada kata Jum’at di sampiran ke-1 baris pertama, rima “at” sudah sesuai dengan rima “at” pada kata hormat di baris isi ke-1. Begitu pula pada kata “jati” di sampiran ke-2, rima “ti” sudah sesuai dengan rima “ti” pada kata hati di baris isi ke-2. 

Namun untuk pantun yang tertulis, saya pikir seyogyanya menggunakan kaidah lebih rigid dan tidak hanya rima di akhir tiap baris sampiran atau akhir baris isi pantun saja yang sama, namun rima di kata kedua setiap baris sampiran, harus disesuaikan pula dengan rima akhir kata kedua baris isi pantun. Misalnya begini:

Sampiran 1: “Bakar ikan si ikan tenggiri” 

Sampiran 2:  “Enggak dijaga digondol kucing”

Isi 1: “Nyok lestarikan budaya sendiri” 

Isi 2: “Jangan bangga budaya asing”

Pada contoh pantun Betawi di atas, rima “ri” pada kata “tenggiri” di baris sampiran ke-1 dengan rima “ri” pada kata “sendiri” di baris isi ke-1 sudah senada. Begitu pula rima “kan” pada kata “ikan” pertama, masih di sampiran 1 dengan dan rima “kan” pada kata “lestarikan” masih pada baris isi ke-1 masih senada.

Selanjutnya untuk rima “ing” pada kata kucing di sampiran ke-2 dengan rima “ing” pada kata “asing” di baris isi ke-2 sudah senada. Begitu juga rima “ga” pada kata “dijaga” masih di sampiran ke-2 dengan rima “ga” pada kata “bangga” di baris isi ke-2, masih senada pula. Jadi penekanan untuk pantun tertulis tak hanya kata di akhir baris saja, tapi mencakup juga pada kata kedua pada setiap baris sampiran dan baris isi pantun.

Dan untuk pantun Betawi, sedapat mungkin tidak menggunakan nama orang sebagai pelengkap pantun–demi mencari rima yang pas. Bisa jadi orang yang mempunyai nama yang sama kurang berkenan namanya digunakan. 

Bukankah masih banyak kosa kata yang berima senada dengan kata di barisan isi pantun? Misalnya ada unsur kata “pantun” untuk baris isi calon pantun kita, maka bisa dicari padanan sampirannya seperti katun, gotun, dituntun alih-alih pakai nama Mpok Atun. Begitu pula untuk kata “Betawi”, padanan untuk sampirannya bisa Ciawi, kawi-kawi, dan kiwi alih-alih pake nama Kong Alwi.

Misalnya: 

Sampiran: “Lihat Mpok Atun pergi ke kota, perginya bertiga ke daerah Pesing”

Isi: “Jagalah pantun budaya kita, jangan bangga budaya asing”

Sebaiknya sampirannya diganti jadi: 

Sampiran: “Beli katun di kota Jakarta, pulangnya bertiga mampir ke Pesing” 

Isi: “Jagalah pantun budaya kita, jangan bangga budaya asing”

Bagaimana, SoHib? Semoga nggak bingung, ya? Sesungguhnya contoh yang saya berikan memang bertujuan menjaga pantun yang sesuai kaidah keindahan susunan pantun Betawi seperti yang diajarkan para pemantun pendahulu seperti Babeh Zahrudin.

Apabila masih belum bisa dan biasa, ya nggak apa-apa juga memakai pola rima umumnya pantun a-b-a-b. Yang pasti pelestarian pantun bertujuan menghindari kata-kata kasar dalam percakapan namun tak mengurangi suasana santun dan agar tetap ceria dalam pergaulan. Yuk SoHib, cobain bikin pantun Betawi! [red/szn]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *