Panduan Memilih Metode Curhat Paling Aman

Curhat

“Memilih metode curhat memang harus dilakukan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”

“Indahnya berbagi” yang sempat menjadi jargon penutup postingan paling njelehi di medsos itu bukannya ditulis tanpa alasan karena manusia Indonesia pada dasarnya memang gemar berbagi. Mulai dari berbagi makanan, berbagi cerita, hingga berbagi suami. Eh, yang terakhir itu di sinetron saja, ya. 

Dari berbagai hal yang bisa dibagi, sesuai survey ala-ala,  berbagi gosip menjadi kegiatan paling populer. Sayangnya, kegemaran berbagi gosip di masyarakat kita apabila dibarengi dengan kebiasaan curhat akan menjadi kombinasi yang sangat mematikan bagi kelangsungan hubungan persahabatan.

Mau bagaimana lagi? Bagi orang yang terbiasa mengkomunikasikan masalahnya dengan orang lain, terkadang hal-hal yang menjadi rahasia pribadi pun turut tersampaikan tanpa sengaja.

Sedangkan bagi orang yang gemar menggosip, rahasia pribadi sahabat sendiri yang berhasil diketahui tanpa sengaja ibarat harta karun sebagai bahan gosip sempurna. Klop! 

Memilih metode curhat memang harus dilakukan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Curhat kepada sahabat, meskipun sangat melegakan, tidak sepenuhnya aman. Curhat ke orangtua? Kok terkesan anak mami ya? Curhat ke diary? Waduh, so yesterday sekaleee…. 

Saya teringat obrolan ngalor ngidul yang cukup gayeng di grup telegram komunitas penulis beberapa waktu yang lalu. Saat itu, Mas Pandu, salah seorang penulis senior yang tulisannya sering dimuat di media nasional, melempar pertanyaan iseng ke forum, “Misalnya kita mengalami kondisi darurat di mana kita hanya bisa menyelamatkan tiga buku dari ratusan buku yang kita miliki, buku-buku apa sajakah itu?”

Pertanyaan Mas Pandu segera disambar oleh Pak Guru Ryan dengan jawaban yang sama isengnya, “kalau saya jelas akan memilih buku nikah, buku tabungan, dan buku harian.”

Jawaban yang bikin mesem, tentu saja. Saya tahu dia mengatakan buku nikah sebagai buku pertama yang akan dia selamatkan jelas karena dia adalah sosok suami takut istri  yang setia. Buku tabungan jelas akan diselamatkan karena khawatir saldo berkurang bila rekening tabungan itu ditemukan istri.

Sedangkan buku harian, hmmm, ini jelas karena takut rahasianya terbongkar, kan? Maklum, zaman masih bujangan dulu terkenal banyak penggemar. Eh, rahasia orang kok diumbar-umbar ya? Maaf.

Generasi x yang merasa keren pada zamannya itu memang sangat akrab dengan buku harian. Bahkan media curhat nomor satu di tahun 80-an itu tak hanya diakrabi oleh perempuan saja, namun juga para prianya. Berkedok menulis jurnal di buku harian, padahal isinya, ya sami mawon dengan curhatan perempuan di media yang sama.

Namun, seiring dengan perubahan zaman, media curhat pun mengalami inovasi. Milenial muda yang lebih kekinian ternyata tak lagi akrab dengan buku harian. Medsos lebih dipilih sebagai teman curhat sekaligus sahabat buat ngereceh dan nyampah

Curhat di medsos jelas jauh lebih berbahaya dari tukang gosip kelas kampung pada masa lampau. Rahasia pribadi yang diumbar oleh penggosip jenis ini, meskipun tersebar di seluruh kampung, ruang lingkupnya tergolong masih cukup sempit. Bandingkan dengan ruang lingkup medsos yang bahkan bisa menjangkau seluruh dunia.

HRD masa kini pun ikut-ikutan melakukan screening calon karyawan melalui postingan di medsos. Jejak digital yang terekam di medsos memang membahayakan. Politikus yang sedang naik daun pun bisa dipaksa undur diri dari panggung politik hanya gara-gara secuil jejak masa lalunya yang terkuak dari medsos. Juga selebriti yang terpaksa gigit jari kehilangan job terkait skandal di masa lalu. Masih berani curhat di medsos?

Bagi generasi yang akrab dengan diary, menumpahkan gundah gulana dan kenestapaan hidup dalam diary memang jauh lebih aman daripada menuliskannya di media sosial. Risikonya paling banter ketahuan orang bila buku diary yang hilang dibaca orang. Namun risiko itu bisa diminimalisir dengan cara menyimpan diary di tempat aman.

Cara ini memang berbeda dengan millenials pengusung aliran curhat medsos yang berpedoman ‘biarkan semua orang tahu betapa nestapanya aku’. Padahal semakin viral unggahan curhatan di medsosnya, akan  semakin rawan pula terhadap risiko tersebarnya rahasia pribadi.

Lalu apakah ada metode curhat yang lebih aman? Curhat dengan diri sendiri saja! Dengan tetap memakai cara paling nyaman yang biasa dipilih sebagai metode curhat oleh millennials, yaitu menuliskan di medsos berbagai kegundahan dan unek-unek seolah-olah postingan itu akan benar-benar diunggah. Curahkan semua emosi yang ada, mau misuh-misuh pun nggak masalah. 

Pokoknya biarkan semua aliran emosi mengalir dan tersampaikan hingga segala kesesakan yang tersimpan di dada tumpah ruah hingga hanya menyisakan ruang kelegaan. Efek yang ditimbulkan dengan cara ini akan sama dengan perasaan lega seusai curhat dengan sahabat. 

Namun setelah semua sampah emosi yang mengganjal itu tersampaikan, hapus lagi postingan tanpa diunggah. Atau simpan saja sebagai draft bila masih memerlukannya. Postingan semacam ini paling jauh hanya boleh diposting di wall dengan pemirsa di-private untuk diri sendiri saja, jangan sampai terbaca orang lain.

Metode curhat dengan diri sendiri semacam ini adalah metode paling aman yang telah saya terapkan kepada diri sendiri sejauh ini.  Namanya juga sedang pandemi, sebagai generasi yang tidak mengenal diary, berakrab-akrab dengan diri sendiri untuk sementara sudah cukup  mengurangi tekanan hidup.

Hidup ini berat, Will! Salurkanlah segala hal yang perlu disalurkan. Jangan sering ditahan-tahan, bisa-bisa malah meletus! [red/brsm/eb]

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman: kadang nulis, kadang main.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *