Man vs. Bee; Hal Kecil yang Berdampak Besar

“Seringkali penulis terjebak pada keinginan untuk menulis hal-hal besar, viral, dan wah. Akibatnya, ide-ide sederhana nan kecil di sekitar malah terabaikan.”

Hai sobat ghibah! Adakah sobat yang sering melihat promosi film Netflix di timeline reels-nya? Atau yang lewat di sana hanya mbak-mbak main bola voli dan kompilasi anjing atau kucing lucu nan menggemaskan? Hehehe.

Nah, bagi yang timeline-nya sering dilewati iklan Netflix, pasti setidaknya pernah menonton cuplikan serial komedi Man vs Bee (Netflix, 2022), yang dibintangi Rowan Atkinson (berperan sebagai Trevor Bingley). Teman-teman sebaya saya pastilah tau siapa Rowan. Perannya sebagai Mr. Bean, seakan tak lekang oleh zaman. 

Gegara ada Rowan, saya tergoda untuk berlangganan Netflix kembali. Ada semacam rasa penasaran yang akan terus menghantui, kalau saya tidak menonton serial tersebut sampai tuntas. Halah.

Memang yah, menonton Man vs Bee ini meletupkan lagi memori masa kecil saya, saat menyaksikan berbagai tingkah polah Mr.Bean yang mengundang gelak tawa. Kadang lucu, kadang tidak masuk akal, seringnya kemproh. Do you know ‘kemproh’?

Beberapa kali Rowan membintangi film-film layar lebar. Saya rasa dibanding film-film Rowan sebelumnya, serial ini cukup sukses menampilkan sosok natural dan tidak kemlinthi, walau tentu saja masih berbau Mr. Bean.

Ide cerita yang sederhana namun cukup menyentuh menjadi hal yang dapat dinikmati para pemirsa. Sobat ghibah dapat melihat betapa jeniusnya seorang Rowan Atkinson dalam meramu sebuah cerita yang berawal dari ide yang sederhana. Siapa yang dapat menyangka, seekor lebah dapat menginspirasi Rowan sampai bikin sebuah serial komedi yang begitu segar.

Kalau saya hubungkan dengan kehidupan seorang penulis, seringkali penulis terjebak pada keinginan untuk menulis hal-hal besar, viral, dan wah. Akibatnya, ide-ide sederhana nan kecil di sekitar malah terabaikan. Padahal, justru ide sederhana macam itulah yang jika dikembangkan dengan tepat, dapat menjadi sebuah tulisan yang hebat. 

Ya macam Man vs Bee ini. Semua berawal dari tugas dadakan Trevor (yang seharusnya dilakukan temannya), untuk menjaga sebuah rumah mewah nan serba canggih karena pemiliknya akan pergi liburan. Tugas yang seharusnya bisa dilakukan tanpa banyak kendala. Namun apa daya, seekor lebah mengacaukan pekerjaan Trevor. Barang-barang antik rusak, anjing kesayangan pemilik rumah diare, perabotan rumah pun kacau balau dibuatnya.

Yah, lebah kecil itu dapat membuat dampak yang besar dalam kehidupan Trevor. Dampak besar itu tadinya saya pikir hanya bersifat destruktif. Namun, di balik berbagai dampak destruktif tersebut, ada ‘kebaikan’ yang didapat Trevor. Mungkin ini yang dinamakan blessing in disguise.

Saat iseng nonton serial-serial lawas Mr. Bean yang sudah banyak tayang di YouTube, ternyata Bean pernah juga mengalami konflik dengan seekor lebah. Hal itu terjadi saat ia ber-swatamasya di sebuah taman kota.

Bedanya, di Man vs Bee, cerita tentang lebah itu diperdalam. Penonton jadi sedikit jatuh iba ketika mengetahui bahwa ada yang namanya lebah soliter, jenis lebah yang terusir dari komunitasnya. Ia harus menjalani sisa hidup sendirian, tanpa sarang, sampai mati. Ya, Trevor pun akhirnya mengerti, bahwa lebah itu hanya ingin ditemani, memiliki sarang baru, sebagai perteduhan sampai akhir hayat.

Seperti layaknya sebuah serial komedi, cerita ini happy ending. Dan menurut saya, Man vs Bee juga membuat Netflix happy, mengingat belakangan ia mulai kepayahan menjaring pelanggan saat aktivitas manusia sudah mulai berjalan normal, tidak seperti awal pandemi. Setidaknya, teman-teman seangkatan saya, bisa tertarik Netflix-an kembali, gara-gara ada Mr. Bean.

Oh ya, apakah pada akhirnya Trevor menjadi sahabat si lebah? Ah, anda seperti tidak kenal Mr. Bean saja.

Yesaya Sihombing, Pendeta yang kadang nulis, kadang nonton.

[red/zhr/sl]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *