Kisah-Kisah Senyap yang Diangkat

“Dua kisah keren yang jarang terlihat dan sulit menjadi viral, sebab warganet kita lebih gemar meramaikan kabar-kabar yang amburadul daripada yang keren-keren hehehe.”

(Daryono, 2022: 355)

Kualitas tulisan Iqbal Aji Daryono tentu tak diragukan lagi. Penulis yang kurang lebih lima tahun menjadi kolumnis Detik ini menerbitkan dua buku pada tahun 2022. Satu buku berisi kumpulan esainya yang dimuat di Detik. Dan satu lagi tentang cerita sisi lain polisi dari Aceh hingga Papua. 

Buku ini menjadi antitesis obrolan terkait polisi. Terutama saat akhir-akhir ini Kepolisian disorot karena adanya beberapa peristiwa. Tapi toh, tanpa adanya peristiwa itu, masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa kinerja polisi jauh dari memuaskan. 

Maka, Iqbal mencoba membuktikan hal itu. Melalui catatan perjalanannya, ia mengisahkan cerita yang tak pernah viral karena masyarakat lebih menyukai bad news. Bukankah bad news is good news seperti kata Iqbal dalam pengantar bukunya?

Sesuai judul, buku ini menyampaikan kisah kerja polisi dari Aceh hingga Papua. Ada 23 bab, satu di antaranya menggunakan judul berbahasa Inggris. 

Persoalan masyarakat yang dikisahkan dalam buku ini begitu beragam. Dan hal itu dibidik secara apik dalam buku ini. Polisi melakukan pemetaan persoalan secara jelas dan diselesaikan dengan cara yang kadang terlihat sepele, unik, tapi mencapai tujuan. 

Sebagai contoh, kisah Polisi Jakarta (kisah ke-6) yang berupaya memaksimalkan vaksinasi saat pandemi terjadi. Beberapa solusi yang ditempuh cukup unik. Termasuk mengerahkan dokter kecantikan agar anak muda di slum area itu mau divaksin.

Tiap daerah tentunya memiliki persoalan yang khas. Dikisahkan Kepolisian menggunakan jalur sosial, budaya, agama, pendidikan, bahkan juga mengubah sedikit wajah yang ada. Dan hal itu disampaikan Iqbal dengan menggunakan teknik mengajak pembaca ‘menyimak’ obrolannya dengan narasumber.

Penyelesaian permasalahan dengan pendekatan keagamaan dominan digunakan untuk mengatasi persoalan sosial tersebut. Cerita polisi Banten salah satunya. Iqbal bahkan mengawali tulisan dalam kisah ke-5 ini dengan flashback penjelasan sejarah dan kaitannya dengan sinergi polisi dan ulama.

Dua kisah yang memaparkan pendidikan sebagai solusi yang dipilih adalah kisah dari Jawa Tengah dan Papua Barat. Di kisah polisi Jawa Tengah, pendidikan digunakan sebagai cara polisi merangkul anak-anak yang kesepian ditinggalkan orang tua yang merantau ke Jakarta. Hal yang sama dilakukan polisi dari Papua Barat. Sentimen negatif terhadap polisi itu salah satunya direduksi dengan jalur pendidikan.

Kisah ke-9 ditulis secara berbeda karena satu-satunya kisah yang ditulis menggunakan analogi. Analogi dapur restoran yang keras, oven yang panas dan rentan membuat kulit wajah terkelupas disandingkan dengan kisah Korlantas Polri yang mengawal arus mudik dan balik. Sederhana dan mudah dipahami.

Pertikaian antar kelompok/ suku juga menarik untuk dicermati. Jelas pendekatan sosiologis dan budaya menjadi tulang solusi yang dipilih. Tapi itu tak mudah. Seperti yang ditulis Iqbal di halaman 341, kekerasan kadang menjadi satu-satunya cara yang diketahui masyarakat (orang/kelompok yang bertikai itu) untuk menyelesaikan konflik. 

Di akhir tiap kisah, Iqbal kerap mengajukan pertanyaan reflektif. Hal ini merupakan teknik menulis yang asyik untuk mengajak pembaca terlibat. Dengan keterlibatan secara emosional itu, bukan tidak mungkin pembaca (baca: masyarakat) kemudian berpartisipasi aktif membantu menyelesaikan persoalan sosial kita. 

Iqbal juga kerap mengajukan pertanyaan dalam tulisannya. Dengan demikian, pembaca tergiring untuk berpikir terkait topik yang dibahas. Pemikiran itu tidak hanya sekadar setuju dan tidak setuju saja, tapi terciptanya kesadaran bersama. 

Foto-foto yang melengkapi buku ini juga merupakan foto yang bercerita. Meski tentu saja ada foto polisi yang berpose dengan latar sesuai dengan kisah yang dituliskan. Sayangnya, tidak ada keterangan foto meski bisa diperkirakan siapa tokoh dalam foto itu. 

Buku ini bukan hanya bisa menjadi referensi penulisan kisah perjalanan yang asyik. Tapi berhasil jauh dari upaya ndakik-ndakik mengangkat citra positif polisi saja. Dekat tapi berjarak. Dan itu menarik.

Buku ini tidak hanya memaparkan dengan jelas sisi manusiawi, prestasi kerja, atau persoalan yang dihadapi polisi di lapangan. Tapi juga banyak pertanyaan yang belum terjawab. Hal itu khas tulisan Iqbal yang selalu menempatkan keraguan dan berbagai tanya untuk menuntunnya selalu bergerak dan menulis. 

Detail yang ditulis Iqbal dalam tiap tulisannya berhasil membawa pembaca seolah tengah menonton film dengan Iqbal sebagai pengisi suaranya. Sinematik.

Sayangnya, buku menarik ini di beberapa bagian menggunakan warna yang terlalu mengejutkan. Misalnya kontras antara warna gelap lalu tiba-tiba warna kuning terang di halaman selanjutnya. 

Editor juga kurang teliti di halaman 96 hingga ada nama narasumber yang terlewat tidak dituliskan. Dan hanya terdapat satu kesalahan ejaan. Namun jelas hal itu tidak mengganggu keseluruhan tulisan.

  • Judul Buku: Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput; Cerita-Cerita Sisi Lain Polisi, dari Aceh sampai Papua
  • Penulis: Iqbal Aji Daryono
  • Penerbit: Giga Pustaka
  • Tahun Terbit: 2022

Katarina Retno, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

[red/nuha]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *