Site icon ghibahin.id

Girl in A Picture, Film Dokumenter Kriminal Netflix yang Tak Boleh Dilewatkan

Menonton “Girl in A Picture” dapat membuat kita semakin memahami bahwa korban kejahatan seksual memang membutuhkan dukungan dari banyak pihak.

Film dokumenter kriminal Netflix adalah salah satu suguhan yang nggak kalah asyik dengan drakor-drakornya. Selain disajikan dalam kemasan sinematografi yang ramah untuk mata, film-film dokumenter kriminal Netflix juga sering menyajikan hal istimewa. Tak heran jika genre dokumenter kriminal Netflix selalu dinantikan. Ada satu film dokumenter kriminal Netflix yang perlu SoHib saksikan yaitu, Girl in A Picture

Film dokumenter kriminal yang tayang sejak Juli 2022 ini berdurasi 1 jam 41 menit. Ia tayang tepatnya pada tanggal 6 Juli 2022. Film ini diproduseri oleh Skye Borgman. Lewat Girl in A Picture, ia kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam memproduksi film dokumenter kriminal. Sebelumnya, sineas perempuan dari Amerika ini pernah memproduksi Abducted in Plain Sight pada tahun 2017.

Syke Borgman mampu mengemas sebuah film dokumenter kriminal menjadi sajian yang jauh dari membosankan. Dalam laman profesional profilnya di LinkedIn, ia menyebutkan bahwa tujuannya –dalam membuat film– adalah berkisah tentang orang-orang dengan cara yang indah, pantas, serta otentik. Apa yang ia sebutkan itu memang terlihat jelas dalam caranya mengeksekusi film Girl in A Picture.

Film Girl in A Picture berkisah tentang seorang perempuan yang menjadi korban kejahatan seksual dari predator narsistik bernama asli Franklin Floyd. Pelaku kejahatan dalam film ini awalnya dikenal dengan nama Clarence. Ia mengaku sebagai suami dari Tonya Hughes, perempuan yang meninggal akibat tabrak lari di Oklahoma pada bulan April tahun 1990. Saat itu, Tonya meninggalkan seorang putra berusia dua tahun yang bernama Michael. 

Dalam perjalanan penyelidikan polisi, peristiwa tabrak lari tersebut membuat terkuaknya fakta bahwa Tonya Hughes bukanlah nama asli dari istri Clarence. Peristiwa pun berkembang menjadi penculikan anak. Clarence yang tak punya hak asuh atas Michael menculik anak itu dengan cara yang kejam. Kasus pun berkembang, meski sangat lambat. Nama alias Tonya Hughes dan Clarence dimunculkan bertahap. 

Ternyata meninggalnya sang tokoh perempuan yang menjadi pusat dari cerita menjadi sebuah awal untuk mengungkap betapa kejamnya Clarence yang kemudian diketahui bernama asli Franklin Floyd. Identitas asli Tonya diungkap di menit-menit terakhir film dokumenter ini. Keberhasilan pengungkapan identitas asli Tonya membuat kebanyakan penonton mengaku terharu setelah menonton film ini.

Bagaimana tidak terharu, sepanjang film penonton diajak mengenal sosok Tonya yang tak diketahui kebenaran asal usulnya. Ia dikisahkan sebagai perempuan yang hidup dalam neraka akibat manipulasi yang dilakukan oleh Franklin Floyd. Mulanya ia diasuh sebagai anak. Lalu, ia dinikahi untuk mengaburkan identitas aslinya. Bukan hanya itu, Tonya juga disiksa secara seksual dan dieksploitasi dengan dipekerjakan sebagai penari di klub striptis. 

Tonya menjalani kehidupan yang sepenuhnya dimanipulasi oleh Clarence. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana penderitaan Tonya selama ia hidup. 

Dari film Girl in A Picture, terkuak bahwa Tonya sempat punya kesempatan untuk kabur atau minta bantuan sebelum terlambat. Namun, tentu saja Tonya sudah dimanipulasi sehingga jangankan kabur, minta bantuan pun ia tak mampu. Bahkan ada bagian yang mengesankan bahwa Tonya sudah maklum terhadap perilaku si bangsat, penyiksanya. 

Pengungkapan nama-nama alias Tonya membuat penonton seakan diajak untuk semakin mengenal sekaligus mengupas misteri identitas asli dari mendiang. Kejanggalan demi kejanggalan terkuak berkat orang-orang di sekitar Tonya yang menyadari ada ketidakberesan dan tidak berdiam diri. 

Butuh dua dekade dan banyak sekali pihak yang dilibatkan untuk menguak identitas asli Tonya. Apa yang dialami Tonya memang mengerikan dan teramat menyedihkan. Tak berhenti di kisah Tonya, kemunculan ayah dan ibu mendiang di akhir film membuat hati seakan dikucuri lemon setelah sempat diiris-iris dengan kisah yang sangat tragis. 

Saya membatin, “Kok, bisa ibunya Tonya bersikap cukup dingin.” Timbul pula pertanyaan, peristiwa apa sih yang membuatnya seakan tak mempedulikan Tonya saat dibawa kabur Floyd? Rasanya tak cukup adil bagi saya ketika melihat penggambaran karakter ibu Tonya di bagian akhir film. Ia disebut sebagai ibu yang ignorant oleh dua orang penutur. 

Sementara peristiwa traumatis yang diduga melatar belakangi terbentuknya karakter kejam Franklin Floyd dinarasikan dengan lebih gamblang. Tapi, ya, namanya juga film. Nggak mungkin juga semua hal dibahas dengan detail demi memuaskan rasa penasaran penonton. 

Nah, belakangan ini, kasus-kasus kejahatan seksual mendapat sorotan di berbagai media. Tentu, hal itu terjadi berkat andil Anda semua yang mau peduli dan ikut angkat suara dalam mengawal kasus-kasus pelecehan seksual. Salah satu yang sedang banyak diungkap adalah kejahatan seksual terhadap anak-anak.

Menonton “Girl in A Picture” dapat membuat kita semakin memahami bahwa korban kejahatan seksual memang membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Semoga negara pun mau berperan lebih serius dalam menangani kasus-kasus kejahatan seksual tanpa menunggu harus viral dulu. Dan semoga tak perlu ada lagi korban yang harus menderita seperti Tonya atau Suzanne Marie Sevakis.

Butet RSM, Ibu dari tiga anak.

[red/nuha]

Exit mobile version