Amygdala: Dilan dengan Sentuhan Akademik

“Bukan hanya itu saja, di dalam cerita kita dikenalkan dan bisa banyak belajar tentang ilmu Biologi.”

Ini adalah cerita tentang Biji Kapuk dan Biji Mahoni. Keduanya terbang ditiup angin. Kadang mendekat kadang menjauh. Biji Mahoni berputar-putar ke kiri dan ke kanan sementara Biji Kapuk terbang dengan tenang di sampingnya. 

Seperti halnya kehidupan, nasib mereka tergantung pada embusan angin. Barangkali begitulah metafora cerita tokoh utama dari novel berjudul Amygdala karya Dandelion. 

Novel ini bergenre romantis. Nama tokoh utama dalam novel tersebut adalah Switenia Ekasandra dan Randu. Nama Switenia diambil dari nama ilmiah Mahoni yaitu Sweitenia mahagony, sedangkan Randu diambil dari nama tanaman yang menghasilkan kapuk. Konflik yang dibangun adalah terhalangnya cinta dua orang manusia dikarenakan sejarah keluarga dari kedua tokoh.

Biji Mahoni merupakan nama julukan yang dipakai oleh Randu untuk memanggil Switenia dan Switenia memberikan julukan Randu sebagai Si Biji Kapuk. Tampaknya pengarang merupakan seorang Biolog, sehingga pemberian nama tokoh utamanya terinspirasi dari nama tanaman. Bukan hanya itu saja, di dalam cerita kita dikenalkan dan bisa banyak belajar tentang ilmu Biologi.

Setting cerita dalam novel ini adalah romantisme masa SMA. Novel ini membuat saya teringat dengan cerita novel Dilan karya Pidi Baiq. Ceritanya juga mirip-mirip, sama-sama menyorot perjuangan seorang siswa untuk mendapatkan cinta gadis idamannya dengan berbagai kegombalan yang sophisticated, kadang juga wagu

Bila pada novel Dilan, tokoh utama Dilan digambarkan sebagai anggota geng motor, maka pada novel ini, tokoh utama digambarkan sebagai siswa-siswa yang pintar dan berprestasi. 

Cerita tentang kondisi pembelajaran tokoh yang penuh dengan perjuangan mengejar prestasi akademik sangat ditonjolkan. Menurut saya, penokohan yang berbeda ini menjadi salah satu kekuatan dari novel ini bila dibanding dengan novel Dilan. Novel ini mengandung “pesan moral” buat pembacanya. Ia bisa menginspirasi, khususnya bagi para pelajar untuk berpacaran secara positif.

Kekuatan yang lain dari novel ini adalah, penulis dalam menuangkan cerita romantisme pelajar, mengalir tanpa paksaan, sehingga membacanya tidak perlu ada aksi berhenti sejenak untuk mengernyitkan dahi, karena merasakan adanya kejanggalan. Atau kalau istilah kerennya tidak ditemukan adanya plot hole dari cerita yang dibangun. Meskipun demikian kejutan-kejutan di dalam cerita dapat ditemui dan membuat sesekali merinding.

Di akhir cerita, penulis cukup lihai dalam mengarahkan pembaca untuk menduga bahwa cerita tersebut akan berakhir tragis. Alur dibuat bercabang, bisa ke kanan bisa juga ke kiri. Sampai-sampai membacanya saya perlu sedikit menahan nafas. 

Walaupun masih ada nasib beberapa tokoh yang belum diceritakan secara tuntas, saya bersyukur penulis mengakhiri cerita ini dengan elegan. Tapi tidak apa-apa, justru memberikan kebebasan pembaca untuk berimajinasi sendiri. 

Kesimpulannya, novel ini sungguh sangat layak dibaca. Bukan hanya buat orang muda saja, orang tua seperti saya dan Jenengan juga masih cocok, kok. Bisa dijadikan sebagai wahana bernostalgia mengenang romantisme masa lalu.

Oh ya, sebagai bonus, penulis di setiap bab memberikan quote yang unik. Bisa dijadikan bahan untuk status, bila sedang galau. Misalnya pada Bab 14 terdapat quote

“Semoga perasaanmu tidak seperti makhluk bernyawa: hidup, tumbuh membesar, kemudian mati.”

Tersindir, ya? Sama.

  • Judul: Amygdala
  • Penulis: Dandelion
  • Penerbit: Lovrinz
  • Tahun terbit: 2022

Mamik Istiyarto, Si Bocah Tua yang sedang senang baca buku.

[red/but/nuha]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *