A Star is Born: Cara yang Tidak Dianjurkan untuk Bertemu Tuhan

“Mengapa pada kondisi modern, fasilitas kehidupan serba mudah, kesenangan begitu gampang ditemukan, tapi kenapa kebahagiaan semakin menjauh?”

Peringatan pemicu. Tulisan ini mengandung kata-kata terkait dengan percobaan bunuh diri. Kami sarankan untuk tidak melanjutkan membaca artikel ini jika SoHib tidak berada dalam keadaan yang stabil. Jika membutuhkan, SoHib juga bisa hubungi layanan pencegahan bunuh diri di Indonesia:

  • LISA Suicide Prevention Helpline (Love Inside Suicide Awareness) +62 811 3855 472 / 
  • Yayasan Pulih (021) 78842580 atau email lewat pulihfoundation@gmail.com
  • Segera telepon nomor layanan darurat 119 atau menuju ke IGD di RS terdekat. Jangan menunggu.

Jackson Maine, Potret Suram Seorang Musisi 

“Tell me something, girl

Are you happy in this modern world?

Or do you need more?

Is there something else you’re searching for?”

Teks berbahasa Inggris di atas adalah bagian awal dari sebuah lagu berjudul “Shallow” yang merupakan soundtrack film A Star is Born. Lagu dengan lirik penuh makna itu dibawakan oleh Bradley Cooper dan Lady Gaga. Dalam film ini, mereka berperan sebagai Jackson Maine dan Ally. 

Rasanya, tak semua lagu asing tetap terdengar indah saat diartikan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, tidak demikian dengan lagu ini. Bait demi bait berisi lirik dengan makna yang mendalam. 

“Katakan padaku, Sayang. Bahagiakah kau di dunia yang modern ini?” 

Lantun Jackson Maine mengawali lagu ini.

“Atau kamu perlu lebih? Adakah sesuatu lain yang sedang kamu cari?” 

Masih dalam bait yang sama, Maine kembali melanjutkan tanyanya. Lalu, pada bait selanjutnya, ia menyuarakan kegelisahannya seperti yang tampak dalam terjemahan berikut ini. 

“Pada saat-saat baik, aku ingin berubah. Dan pada saat-saat buruk, aku takut pada diriku sendiri.” 

Ada kesakitan dan kesedihan yang bisa diinterpretasikan oleh para pendengar lagu tersebut.

Saking berkesannya film A Star is Born, setelah ia tersiar, banyak yang menyangka bahwa Jackson Maine merupakan tokoh nyata. Termasuk saya. Namun, ternyata tidak. Jackson Maine, penyanyi country yang begitu gandrung pada minuman keras, sepenuhnya merupakan karakter dari sebuah karya fiksi. 

Film ini berbeda dengan film Way Back Into Love, meski memiliki kemiripan isi cerita yaitu tentang seorang pencipta dan proses mencipta lagu. A Star is Born memunculkan lebih banyak sisi kelam seorang pencipta lagu dan penyanyi. 

Pada dunia nyata, sisi kelam para penyanyi bukanlah hal yang asing. Cerita tentang bagaimana para penyanyi mengakhiri hidupnya dengan tragis sudah sangat sering kita dengar. Sebut saja, Kurt Cobain, Chester Bennington, lalu Chris Cornell. Mereka meninggalkan gemerlap dunia dengan memori kelam yang terekam di ingatan para penggemarnya. Mereka semua meninggal karena bunuh diri. 

Kisah-kisah itu sudah ada sejak lama. Bintang legendaris, Elvis Presley pun, diduga pernah melakukan hal yang serupa. Singkatnya, kisah tentang seorang penyanyi yang bunuh diri bukanlah cerita yang sama sekali baru. Namun, film yang menceritakan tentang hal itu tidak banyak. Bahkan, bisa dihitung dengan jari.

Dalam film A Star is Born, sosok Ally yang diperankan oleh Lady Gaga sangat kontras dengan sosok Maine. Ally masih muda, ia hidup dipenuhi gempita semangat. Mereka bertemu di sebuah bar, mereka jatuh cinta dan membuat lagu. 

Ally menemukan kebahagiaan bersama Maine. Begitu pula dengan Maine, sesungguhnya ia bahagia bersama Ally. Ada keinginan menjadi orang yang lebih baik dalam diri Maine yang membuatnya memutuskan untuk menjalani rehabilitasi.

Namun diri, tentu saja tidak akan diuji hanya sekali. Maine juga tidak selamanya dibersamai Ally. Dan pada saat-saat seperti itu, Maine selalu takut dengan bisikan suara lain dalam dirinya sendiri. Maine selalu kalah. Maine menyerah. 

Pada satu malam, sementara Ally menyanyi di pentas mewah, Maine memberi makan anjingnya. Lantas pergi ke garasi seperti halnya kebiasaan menggantung jaketnya yang lusuh, ia menggantung dirinya sendiri. Maine dikisahkan meninggal karena bunuh diri, seperti kisah-kisah para penyanyi di dunia nyata yang memilih mengakhiri hidupnya secara tragis. 

Bagian dari lagu “Shallow” yang dinyanyikan oleh Ally, seakan menerjemahkan kehampaan yang dirasakan oleh Maine.
“Katakan padaku, Sayang,

Apa kau tidak lelah hidup dalam kehampaan? 

Bukankah itu menyakitkan?”

Modernitas, Kehampaan, dan Kepercayaan pada Sang Pencipta

A Star is Born merupakan film yang suram namun mencerahkan. Suram sudah jelas, SoHib bisa melihat kesuraman mendominasi film ini. Namun, kenapa saya menyebutnya sebagai film yang mencerahkan?

Pertama, film ini menggambarkan dengan jelas bagaimana efek modernitas pada kehidupan seseorang—yang diwakili oleh sosok Maine. Popularitas yang memudar disertai ketiadaan tujuan hidup ternyata menjadi kombinasi yang mematikan.

Oleh karena itu tidak keliru kemudian Maine bertanya, “Bahagiakah kau di dunia yang modern ini?” Sejatinya pertanyaan itu bukan untuk orang lain melainkan ia ajukan untuk dirinya sendiri. 

Mengapa pada kondisi modern, fasilitas kehidupan serba mudah, kesenangan begitu gampang ditemukan, tapi kenapa kebahagiaan semakin menjauh? Adakah hal lain lagi yang belum diraih? Apa itu?

Inilah tipikal kondisi manusia modern yang dengan apik dijelaskan oleh aktor Jim Carrey, “Saya kira setiap orang harus jadi orang kaya, terkenal, dan bisa melakukan segala yang ia impikan sehingga mereka tahu bahwa hal tersebut bukanlah jawabannya.” 

Maine melarikan diri pada minuman keras. Ia berharap mendapat jawaban. Padahal minuman keras tidak menyembuhkan penyakit apa pun. Oh tunggu, dengan mabuk ia memang bisa mengalihkan pikiran. Pikiran yang kebingungan mencari jawaban dari pertanyaan yang tidak kunjung Maine dapatkan dari apa pun di dunia ini. 

Kecuali, sebetulnya ada hal yang menurut saya bisa menjawab keresahan Maine, yakni agama. Namun tipikal manusia modern dengan segala kedigdayaan rasionalitasnya, Maine juga begitu menghindar dari jawaban yang sudah ada di depan matanya. 

Setiap manusia pasti rindu akan Tuhan, Penciptanya. Maine pun demikian. Ia merindukan kedamaian, ketenangan yang dulu pernah ia temukan, ia dapatkan. Ia ingin bahagia. Tapi tak bisa ia dapatkan. Bukankah kebahagiaan sejati selalu berasal dari Tuhan? Bukankah hanya Tuhan yang bisa memberikannya pada setiap dada manusia.

Untuk mendapatkan itu manusia harus berserah. Manusia harus mengaku bahwa ia bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Ia adalah hamba. Ia harus pasrah. Melepaskan seluruh kedigdayaan yang melekat pada dirinya—kekayaan, popularitas, jabatan termasuk kepintaran. Manusia perlu mengalah dan menyerah untuk mendapatkan kebahagiaan dari-Nya. 

Jika tidak begitu, yang manusia dapatkan hanyalah bayang-bayang dari nafsu.

Pada satu malam, Maine menyadari akan hal itu. Pada totalitas keberserahan diri Maine berencana kembali pada Sang Pencipta. Namun sial, ia menemukan cara kembali yang sama sekali keliru. Sama sekali tidak dianjurkan. Maine menemui Tuhan dengan melepaskan nyawanya pada tiang gantungan. 

Satu bintang memutuskan pergi sementara satu bintang lainnya terlahir kembali; Ally. Duka yang mendalam atas kepergian seorang mentor, seorang kekasih membuat Ally menetapkan Maine sebagai namanya; Ally Maine. 

Begitulah A Star is Born, sebuah film yang menceritakan tentang bagaimana seseorang menjadi bintang pada tangan seorang bintang lainnya dan bagaimana seorang bintang pergi menemui Tuhan dengan cara yang sangat tidak dianjurkan.

Taufiqrahman Tedi. Lelaki Lugu.

[red/brsm]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *