3 2 1 Action, Fenomena Quiet Quiting dan Kualitas Acara Televisi Kita

“Sebelum membaca buku ini, saya sudah membayangkan bahwa bekerja di stasiun TV dengan jangkauan nasional tentu berat, karena banyak rambu-rambu yang harus diperhatikan.”

Siapa yang tidak senang memiliki pekerjaan yang menyenangkan, bisa dikerjakan dengan santai, tidak memerlukan kerja keras, bisa pulang tepat waktu, sekaligus diganjar rupiah dalam jumlah fantastis yang membuat kita seketika sejahtera?

Sejatinya, keinginan semacam itu bukan hanya milik kaum Quiet Quiting saja, namun telah menjadi cita-cita kita semua. Sayangnya, dunia kerja tidak selalu seindah itu. Terlebih di tengah ancaman krisis ekonomi yang diramalkan akan terjadi sebentar lagi. Mempertahankan pekerjaan yang saat kita miliki saja sudah cukup sulit, bagaimana mau pilih-pilih pekerjaan dengan kriteria selangit?

Saya baru saja menamatkan buku 3 2 1, Action! Sebelas Tahun Menjadi Kru Produksi TV  karya Dessy Liestiyani. Buku itu berisi cerita tentang perjuangan dari balik layar demi menghasilkan hiburan berkualitas di layar televisi kita ini telah membuat saya mempertanyakan kembali konsep Quiet Quiting yang saya yakini.

***

Tren kerja secukupnya sesuai job description saja dengan jam kerja ketat atau dikenal dengan fenomena Quiet Quiting pada saat ini memang tengah marak. 

Penganutnya sebagian besar adalah pekerja pemula yang merasa kecewa karena pekerjaan yang digelutinya ternyata tidak membuat mereka sejahtera sebagaimana harapan semula ketika mulai memasuki dunia kerja. Mereka pun memutuskan untuk bekerja secukupnya saja sesuai imbalan yang mereka terima.

Quiet Quiting tidak selamanya berkonotasi negatif. Sebagian penganut aliran ini adalah pekerja senior yang mulai jenuh dengan rutinitas kerja yang bersifat material belaka dan mulai mengejar pengalaman spiritual yang lebih bermakna, seperti menyediakan waktu yang lebih berkualitas untuk keluarga. 

Mereka menarik garis batas yang tegas untuk menjaga supaya tidak terjadi ketimpangan di antara kedua sisi tersebut. Ketika keduanya telah mencapai titik keseimbangan, diyakini tingkat kebahagiaan menjadi lebih optimal. 

Meskipun bukan penganut Quiet Quiting, namun saya tetap memilih teng go alias pulang kerja tepat waktu karena berdomisili di luar kota (bahkan luar propinsi karena saya tinggal di propinsi Jawa Barat dan bekerja di DKI Jakarta) dengan jarak tempuh lebih lama. 

Namun apabila diperlukan, saya masih membuka laptop di malam hari sesampainya di rumah untuk menyelesaikan pekerjaan yang masih tersisa di hari itu.

Saya merasa sudah sangat all out dalam bekerja alias merasa sudah memberikan segenap tenaga dan pikiran untuk perusahaan, dengan merelakan sebagian waktu dan menambah jam kerja demi menyelesaikan pekerjaan. Namun buku 3 2 1, Action! telah membalikkan fakta bahwa yang saya lakukan untuk perusahaan ternyata bukan apa-apa, bahkan belum mencapai seujung kuku dari pengorbanan para pekerja di belakang layar TV.

Sebelum membaca buku ini, saya sudah membayangkan bahwa bekerja di stasiun TV dengan jangkauan nasional tentu berat, karena banyak rambu-rambu yang harus diperhatikan. Berusaha menghibur jutaan kepala dengan berbagai latar belakang yang berbeda tentu memerlukan kreativitas tanpa batas. 

Namun setelah membaca buku ini, saya menjadi paham bahwa bayangan saya belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kenyataan yang dibahdapi kru produksi TV. 

Selain menuntut kreativitas, ternyata mereka juga harus cerdas, tanggap, siap bekerja keras sekaligus wajib memiliki kesehatan yang prima. Tak salah bila saya selalu merasa bahwa Dessy Liestiyani, penulis buku ini, sedikit mirip wonder woman, paling tidak dalam hal semangat berkarya.

 Dessy juga pribadi yang kompetitif dan tidak mudah menyerah. Saya mengenalinya dengan jelas pada saat duduk bersama dengannya di kelas menulis cerpen yang diselenggarakan media online Ghibahin.id dengan mentor Katarina Retno yang menghasilkan buku antologi Mosaik.

Buku 3 2 1, Action!  ini menarik bukan karena memberikan informasi kepada pembaca yang awam tentang seluk beluk produksi TV, dunia gemerlap yang hanya kita saksikan sisi keindahannya di depan layar kaca, namun juga menggelitik etos kerja kita dengan melihat kinerja kru di belakang layar. 

Disandingkan dengan fenomena Quiet Quiting yang muncul seusai pandemi, maka kesediaan kru TV untuk bekerja keras tanpa memperhitungkan waktu demi menyelesaikan pekerjaan menjadi semacam oase yang menyejukkan, terutama bagi para pemberi kerja, tentu saja. 

Mengetahui bahwa Quiet Quiting bukanlah satu-satunya konsep bekerja yang dianggap membahagiakan pekerja dengan metode keseimbangannya, membuat para HRD yang kesulitan meningkatkan loyalitas pekerja bisa menarik nafas lega. 

Konsep bekerja secara all out  ternyata masih ada. Tak adanya ruang untuk bermalas-malasan justru dapat meningkatkan kapasitas dan potensi dalam diri yang menjadi sarana untuk mencapai tingkat kepuasan bekerja yang jauh lebih besar. 

Bagi kru produksi acara TV, ukuran tingkat kepuasan kerja itu sendiri sangat berbeda. Bukan pujian bos atas kinerja yang baik, tetapi penilaian masyarakat dalam bentuk rating-share. Mengerikan bukan, membiarkan kinerja kita ditelanjangi oleh netizen yang terkadang pilihannya tidak masuk akal, hanya ikut-ikutan yang sedang viral tanpa memperhatikan kualitas acara yang disaksikannya?

***

Sungguh disayangkan bila kinerja luar biasa yang dilakukan kru produksi TV untuk memproduksi tayangan bermutu tinggi menjadi sia-sia hanya karena rating yang jeblok di pasaran.

Apakah kemudian mereka menyerah memproduksi tayangan bermutu atau masih diperbudak rating-share sebagaimana pengalaman Dessy Liestiyani saat masih menjadi kru produksi TV? Jawabannya ada pada jadwal acara televisi di layar kaca kita masing-masing.

  • Judul Buku: 321, Action!
  • Penulis: Dessy Liestiyani
  • Tebal: vi+122 hlm
  • Tahun Terbit: 2022
  • Penerbit: Buku Mojok

Margaretha Lina Prabawanti, Dosen praktisi yang bekerja di perusahaan asuransi.

[red/nuha]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *