Usaha Preventif Terhadap Maraknya Bullying di Lingkungan Sekolah

Dalam setiap kasus bullying yang terjadi, pihak orang tua dan korban adalah pihak yang berkali-kali dirugikan.

Tahun ajaran baru sudah di depan mata, dan saya sendiri sudah sibuk wira-wiri mencari sekolah SMP untuk anak saya. Hampir semua SMP swasta saya kunjungi, saya juga berkomunikasi dengan salah seorang perwakilan humas sekolah di sana. 

Survei sekolah saya lakukan guna melihat lingkungan belajar yang akan menjadi rumah kedua anak saya. Survei bukan semata-mata untuk mencari sekolah mana yang paling modern dan paling unggul dari segi akademiknya. Melainkan lebih daripada itu.

Pengalaman menjadi orang tua yang anaknya pernah mengalami perundungan, survei sekolah bukan sekedar untuk melihat-lihat fasilitas sekolah yang mumpuni. Bagi saya fasilitas sekolah itu nomor sekian, yang paling penting dalam memilih sekolah nomor satu adalah lingkungan, dan bagaimana interaksi para siswa di sekolah. Selain bertanya soal cctv di area koridor dan kelas, saya juga terus mencari informasi terkait sikap guru-gurunya apabila peserta didik kedapatan melakukan bully kepada peserta didik lainnya. 

Prinsip saya sekarang, menjadi orang tua yang “cerewet” di depan, lebih baik daripada cerewetnya belakangan saat sudah kejadian. Menurut laporan Comparitech yang dimuat dalam Katadata, pada tahun 2018 terungkap bahwa dari sekian banyak kasus perundungan, 82,8 persen terjadi di lingkungan sekolah. Dapat dikatakan saya masih beruntung, karena mengetahui dengan cepat bullying yang terjadi pada anak saya di lingkungan sosial pertemannya. 

Tentu saja kejadian dan pengalaman buruk itu membuat saya lebih hati-hati apalagi ketika bullying di lingkungan sekolah, makin marak viral dalam pemberitaan televisi dan media sosial. Oleh karena itu mencari sekolah yang cepat tanggap alias gercep dalam menangani kasus bully di sekolah, menjadi urutan pertama bagi saya. 

Mau fasilitas sekolahnya bagus, siswa-siswanya pintar setara Albert Einstein sekali pun. Anak tidak akan bisa belajar dengan baik, apalagi bahagia di sekolah kalau lingkungan sekolah rawan bullying. Embel-embel sekolah akreditasi A itu tidak akan ada lagi nilainya, kalau anak sudah menjadi korban perundungan. Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, perundungan adalah segala bentuk penindasan, atau kekerasan yang dilakukan secara sengaja dan terus menerus. 

Perundungan biasanya dilakukan secara bersama-sama, sementara korbannya hanya satu orang. Lebih tepatnya “pengeroyokan” yang dilakukan secara terencana, brutal, dan setiap hari bila ada kesempatan. Lantas mengapa perundungan seolah tidak bisa serta-merta hilang? Kenapa selalu saja ada tindak kekerasan perundungan baik fisik, verbal, dan emosi di lingkungan sekolah? 

Sebagai orang tua saya menyadari, bahwa tidak ada sekolah yang tidak ada bully-nya. Pasti ada saja oknum siswa dengan latar belakang kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Mereka mencari mangsa empuk untuk menjadi pelampiasan gejolak emosi dan amarah yang tidak terdeteksi oleh guru dan orang tua di rumah.

Menciptakan Lingkungan Sekolah Bebas Bullying

Kembali bagaimana usaha sekolah dalam menciptakan iklim belajar yang nyaman, sekaligus menekan kasus bullying di lingkungan sekolah. Hal inilah yang menjadi fokus saya dalam memilih sekolah. Seringkali kasus-kasus perundungan di sekolah hanya berakhir dalam satu ruang tertutup dan privasi. Kemudian semua pihak, termasuk kepala sekolah, guru, orang tua korban, dan orang tua pelaku duduk bersama-sama, istilahnya “rembukan”.

Menyelesaikan perundungan hanya secara kekeluargaan, diakhiri dengan saling bermaaf-maafan persis seperti suasana lebaran. Sejujurnya ini sangat memalukan dan memprihatinkan, ketika orang-orang dewasa “mewajarkan” perilaku tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak mereka. Cara-cara berbau sistem kekeluargaan ini membuat pelaku dan orang tua yang tidak peka atas kelakuan anaknya. Menggampangkan dampak yang harus diterima dan dijalani oleh korban. 

Terkadang orang tua pelaku menganggap bahwa itu “cuma” masalah anak-anak saja. “Sebagai orang tua nggak perlulah terlalu ikut campur urusan anak.” Ada lagi begini, “Biasalah anak-anak berantem, nggak perlu dibesar-besarkan.” Akhirnya sekarang bullying di sekolah sudah seperti wabah. Menyelesaikan bullying hanya dengan musyawarah bicara empat mata antara pihak sekolah dan para orang tua pelaku dan korban, tidak akan memberikan efek jera pada si pelaku.

Faktanya seperti yang sudah-sudah, pelaku mengulangi perbuatannya dengan sembunyi-sembunyi, mengintimidasi korban habis-habisan. Oleh karena itu, saya berharap pihak sekolah, dan pejabat di bidang terkait harus tanggap dan mencari solusi dalam berbagai pendekatan, misalnya secara gencar dan konsisten menyelenggarakan seminar, sosialisasi ke sekolah-sekolah mengenai bullying. 

Tentu saja seminar disampaikan oleh para konselor dan pakar ternama dari Komnas Perlindungan Anak di kota setempat dengan melibatkan semua pihak dan peserta didik. Memberikan imbauan kepada mereka, bahwa perundungan termasuk tindak pidana dengan ancaman penjara. Karena mungkin saja peserta didik baik anak maupun remaja belum menyadari bahwa perundungan termasuk perbuatan yang melanggar hukum. 

Dalam aspek hukum, bullying sebenarnya sudah diatur dalam pasal 80 ayat (1) Jo Pasal 76C UU Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 6 (enam bulan) dan/atau denda paling banyak Rp.72.000.000.00, dan pasal 345 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Korban yang sudah menderita secara fisik dan psikologis masih harus menempuh jalur hukum yang rumit, panjang dan berliku, dan masih harus menanggung sederetan trauma dan depresi. Lantas saya berpikir, apakah tidak ada terobosan baru yang mutakhir baik alat atau cara dalam memberantas bullying?

Usaha Preventif dari Sekolah

Dalam setiap kasus bullying yang terjadi, pihak orang tua dan korban adalah pihak yang berkali-kali dirugikan. Selain memulihkan kondisi mental anak dengan biaya mahal, tanpa mendapat kompensasi apa pun baik dari pihak pelaku dan sekolah. Mereka memilih mencari sekolah baru demi memulihkan mental korban. Berharap anak mereka dapat belajar dengan tenang di lingkungan sekolah yang baru. 

Bukankah sekolah berwenang mengeluarkan pelaku dari sekolah bila terbukti bersalah? Apabila perbuatan mengarah pada tindak kekerasan serius, sekolah seharusnya membantu korban mengumpulkan bukti-bukti dan melaporkan pada pihak berwajib. 

Pihak sekolah dapat meminta kepada dinas sosial untuk melakukan peninjauan dan penyelidikan pada orang tua pelaku, terkait pola asuh. Perlu ditinjau apakah orang tua melakukan pengabaian terhadap anak mereka. 

Bisa saja pelaku juga mengalami pengabaian atau bentuk kekerasan dari kedua orang tuanya. Karena fakta dalam setiap kasus perundungan, baik pelaku maupun korban, keduanya sama-sama korban. Terapi dan konseling seharusnya diberikan terhadap pelaku dan orang tuanya. 

Selain itu pelaku harus mendapat surat pernyataan sehat secara mental dari seorang konselor, atau psikolog yang ditunjuk secara langsung oleh dinas sosial dan pendidikan, ketika bergabung ke sekolah baru. 

Saya pikir sudah saatnya semua pihak lebih serius dalam menangani bullying. Demi generasi muda dengan kesehatan mental yang berkualitas, dan tercapainya generasi emas Indonesia. Semoga semua segera menjadi nyata, agar saya menjadi lebih lega dan tidak lagi merasa khawatir menjadi orang tua yang menitipkan anak belajar di sekolah.

Arum Abygail. Perempuan Jawa yang hidup di kota khatulistiwa.

[red/zhr]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *