Unpopular Opinion: Menikah Berarti Siap Menjadi Nomor Dua

“Jika sudah menikah dan punya anak, porsi untuk komunitas harus dikurangi bahkan mungkin dihilangkan sementara.”

Eits, setelah baca judulnya, jangan tegang dulu, SoHib! Ini bukan tentang poligami, kok. Ini tentang peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga setelah menikah. Saya ingin menceritakan segala hal tentang kehidupan rumah tangga tanpa pencitraan. 

Jadi begini. Menikah adalah konsekuensi untuk hidup bersama dengan pasangan seumur hidup. Hidup berdua dalam pernikahan terdengar menyenangkan, bukan? Makan berdua, tidur berdua, bekerja berdua, dan ibadah juga berdua. Kita tak akan pernah kesepian. Tapi jika semuanya berdua, artinya kita punya dua keinginan. Ada kalanya kita harus ngalah. Iya, pada akhirnya, menikah juga dapat membuat kita terlatih untuk menomorduakan kebutuhan dan keinginan kita atas pasangan.

Terlebih saat sudah punya anak, kehidupan pribadi sebagai seorang individu akan melebur. Kita akan semakin sering mengesampingkan hal-hal pribadi menjadi nomor dua atau bahkan nomor tiga. Yang menjadi prioritas, tentu saja anak. Lalu yang kedua, barulah pasangan. Faktanya begitu, setelah menikah, kita bakal mengorbankan seluruh kehidupan pribadi demi keluarga. Ya, inilah fakta yang akan SoHib temukan setelah berkeluarga. Dengan kata lain, keluarga menjadi tempat kita berkorban dan merelakan segalanya. 

Nah, apa saja sih, yang perlu dinomorduakan setelah menikah? Simak paparan berikut ini, ya. 

#1. Pekerjaan

Suami memiliki kewajiban bekerja dan memberi nafkah, istri boleh bekerja sebagai bentuk aktualisasi potensi dan bakat yang dimiliki. Setelah menikah, nyatanya saya harus mengorbankan pekerjaan demi ikut suami.

Tadinya, saya memiliki bimbel dan usaha makanan di Jawa. Bimbel saya sudah mulai stabil. Penghasilan saya pun sudah lumayan. Tapi setelah menikah saya harus meninggalkan semua itu dan pindah ikut suami ke Sumatra.

Setelah pindah, saya pun membuka bimbel, ngaji untuk mahasiswa dan anak-anak, serta usaha online. Tapi, lagi-lagi saya harus berhenti karena sakit parah ketika hamil. Jadi, semua yang saya rintis harus saya tinggalkan sebelum sempat berkembang.

Hal seperti contoh tersebut yang membuat kita akan menomorduakan kehidupan pribadi. Tak jarang, hal seperti itu terjadi sebaliknya. Ada yang istrinya sudah punya pekerjaan yang stabil dan ternyata sang suami harus ikut ke kota istrinya. Atau ada juga yang istrinya kuliah ke luar negeri dan suami ikut menemani sehingga meninggalkan usaha di tanah air. 

Selain berkorban dalam pekerjaan, kita juga harus berkorban ketika menjalaninya. Misalnya, kita punya pekerjaan yang menumpuk, tapi pasangan sakit. Kita mau nggak mau bakal menomorduakan pekerjaan. Bukankah yang utama adalah kesehatan keluarga? Apalagi jika anak yang sakit. Tak jarang, kedua orang tua harus membagi waktunya untuk bergantian menemani anak.

Apakah ada yang tidak mau meninggalkan pekerjaannya demi keluarga? Banyak. Ada banyak suami atau istri yang meski sudah menikah masih belum siap dengan konsekuensinya. Akibatnya pasangannya yang akan menderita. Misalnya, saat pasangan atau anak sakit tapi kita lebih memikirkan karir. Jika begitu, tentu pasangan atau anak yang akan kesulitan menghadapi sakitnya. Bahkan, bisa memberi dampak yang fatal jika tidak langsung ditangani. 

#2. Makan Mandi Tidur

Bagaimana jika selera makanan kita berbeda dengan pasangan? Misalnya, saya orang Jawa dan sakit maag, anti makanan pedas. Sedang suami orang Sumatra. Bagi suami, makan pedas itu wajib. Jika demikian, apakah makan bersama menjadi momen menyenangkan? Jawabannya TIDAK. Makan menjadi momen yang sangat membosankan karena saya atau suami harus mengalah. Nah, di sinilah waktunya kita harus menjadi nomor dua dalam hal selera makan. 

Ada kalanya kita makan sesuai keinginan kita. Tapi ada kalanya kita harus mengalah, menomorduakan selera kita. Kalau hanya terjadi satu dua kali tentu baik-baik saja. Namun, bayangkan jika itu terjadi seumur hidup! Setiap makan masakan Padang, saya akan sakit perut. Malam hari atau besoknya saya akan mulas luar biasa dan tidak bisa beraktivitas dengan normal. Begitu juga sebaliknya, jika seumur hidup tidak makan pedas, tentu suami saya akan merindu berat pada makanan kesukaannya. 

Jika sudah punya anak, kita juga harus memasak sesuai selera anak. Bahkan, kadang harus berkali-kali masak dalam sehari jika anak sedang susah makan. Sebagai orang tua, kita juga harus mengalah dengan kebutuhan anak. Seringkali saya telat makan karena si kecil masih menyusu. Kadang saya makan sambil menggendong si kecil karena ia bangun jika ditinggal di kasur. Hal ini juga berlaku untuk kegiatan lain seperti mandi, tidur, buang air, ngopi/ngeteh, dan lain-lain.

Biasanya dampak ini lebih dirasakan oleh para ibu. Maka salah satu kewajiban ayah adalah memastikan ibu nyaman dan kebutuhannya tercukupi. Jangan sampai ayah bisa makan, tidur, mandi, bahkan ngopi dengan tenang tapi ibu kewalahan sendirian. 

#3. Ritual Ibadah

Hal ini seringkali menjadi perdebatan karena berkaitan dengan Tuhan. Ritual ibadah memang sangat penting dan harus didahulukan. Tapi keadaan berbeda ketika kita sudah menikah dan punya anak.

Misalnya, kita ingin shalat sunnah tapi pasangan sakit. Maka kewajiban kita adalah mengurus pasangan, bukan shalat. Anak sakit dan harus periksa, maka segala macam ritual ibadah harus dinomorduakan. Karena mengurus keluarga juga termasuk ibadah. Dan memenuhi kebutuhan keluarga adalah kewajiban.

#4. Passion

Selain pekerjaan kita pasti punya passion, misalnya kuliah (pendidikan), entrepreneur, sosial, dan sebagainya. Saya harus mengundur rencana kuliah lanjutan demi menunggu anak saya siap. Berbagai usaha yang saya jalankan juga harus dinomorduakan dan dijalankan sekedarnya karena yang utama adalah pendidikan dan pengasuhan anak.

Begitu pula untuk kegiatan sosial. Seberapa besar kita ingin melakukan kerja kemanusiaan, tapi terkadang kebutuhan keluarga lebih utama. Misalnya, saya dulu mengajar tahsin, tak lama kemudian pandemi datang. Tahsin saya alihkan menjadi online. Awalnya berjalan lancar karena si kecil masih tidur siang tiga kali.

Seiring berjalannya waktu si kecil mulai berkurang frekuensi tidurnya, akibatnya saya harus full menemani si kecil dan tidak ada waktu untuk mengoreksi bacaan teman-teman. Akhirnya tahsin online pun harus dihentikan.

Begitu pula yang punya passion di bidang lain. Misal pendampingan dan advokasi masyarakat, semua harus dinomorduakan demi keluarga. Bukan egois, tapi kewajiban utama serta yang akan kita pertanggungjawabkan kelak adalah keluarga. Kecuali jika masyarakat butuh pertolongan yang sangat urgen, barulah kita wajib mendahulukannya.

#5. Komunitas & Hobi

Tentu saja sebagai makhluk sosial kita butuh berkomunitas. Namun, jika sudah menikah dan punya anak, porsi untuk komunitas harus dikurangi bahkan mungkin dihilangkan sementara. Pasalnya, anak sangat membutuhkan perhatian saat baru awal lahir hingga 5 tahun pertama kehidupan mereka. Mau tidak mau, kita memang harus mengalah untuk memberikan pengasuhan dan pendidikan terbaik bagi mereka.

Begitu pula dengan perihal hobi. Mungkin kita hobi bersepeda, marathon, main game, nonton drama korea, atau yang lainnya. Sebelum menikah dan punya anak, kita bisa melakukannya dengan bebas kapan pun kita mau. Tidak demikian setelah menikah. Kita harus memperhatikan kebutuhan keluarga terlebih dahulu. Jika semua kebutuhan keluarga telah terpenuhi, barulah kita bisa menjalankan hobi.

Gimana, SoHib? Udah siap nikah? Saya menulis ini bukan untuk menakut-nakuti. Saya ingin SoHib menikah bukan karena tekanan sosial atau pengen segera halal. Tapi saya harap SoHib menikah dengan mengetahui segala resiko dan tanggung jawabnya. Jadi, sudah siap menjadi nomor dua, SoHib?

Mahdiya Az Zahrasuka ghibahin parenting di ghibahin.id

[red/brsm]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *