PARENTING : Tiga Hal Penting agar Anak Memahami Sportivitas sejak Usia Dini

ghibahin

..Peran orang tua sangat diperlukan untuk membuat anaknya move on. Begitu juga dengan saya. Saya mencoba untuk bicara dari hati ke hati dengan anak saya.

Pertengahan minggu lalu, anak saya mengikuti sebuah turnamen bulu tangkis tingkat kabupaten. Langkahnya terhenti sampai babak perempat final. Setelah pertandingan selesai, anak saya tersenyum dan menghampiri lawannya sembari memberikan ucapan “selamat”. Saya cukup terkejut dengan sikap yang ditunjukkannya. Sungguh pemandangan yang tidak biasa.

Saya menyadari kemampuan anak saya perlu diasah dengan latihan yang lebih keras lagi. Namun ada hal penting yang membuat saya sangat mengapresiasi sikapnya. Ternyata dia bisa bersikap lebih dewasa dari yang saya kira. Kini dia mampu mengendalikan diri dan tidak mencari-cari alasan atas kesalahannya. 

Apakah sulit menanamkan nilai-nilai sportivitas pada anak? Saya tidak bisa mengatakan sulit atau mudah karena semua itu kembali pada kepribadian masing-masing anak dan cara orang tua memperkenalkan sportivitas. Yang pasti memerlukan waktu dan kesabaran orang tua.

Dari pengalaman saya, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita perkenalkan pada anak-anak untuk melatih sportivitas khususnya dalam bidang olahraga. Apa saja tiga hal itu? Yuk, kita simak bersama ya, SoHib.

#1 Pentingnya Memahami Aturan Main

Menurut saya, memahami aturan main adalah hal yang fundamental untuk mengajarkan sportivitas pada anak. Mengapa saya katakan hal tersebut fundamental? Karena tanpa memahami rule of the game, seorang atlet akan seenaknya mengklaim sesuatu yang menguntungkan dirinya. Tentu saja hal tersebut akan merugikan lawan. Dengan adanya aturan main, atlet yang bertanding mengetahui mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta mana yang menjadi dan bukan menjadi haknya. 

Saya jadi teringat awal anak saya masuk klub badminton. Dia sama sekali belum memahami aturan main pertandingan bulutangkis. Celakanya, belum lama dia latihan, malah disuruh ikut turnamen oleh pelatihnya. 

Apa yang terjadi? Sudah pasti anak saya menjadi bahan gunjingan penonton yang menyaksikan pertandingan itu. Salah satu kejadian yang menggelikan adalah ketika anak saya turun pada nomor tunggal putra. Dia mengklaim shuttlecock yang jatuh di luar “garis samping dalam” bidang permainan lawan menjadi poinnya. 

Tentu saja wasit menganggapnya out dan tidak ada poin untuk anak saya. Anak saya tetap saja memprotes keputusan wasit. Dia tidak mengetahui bahwa ada perbedaan aturan main untuk nomor tunggal dan ganda. Nah lo jadi runyam, kan? 

Beruntung, pelatihnya segera turun tangan memberi pengertian pada anak saya dan pertandingan dilanjutkan kembali.      

#2 Siap Menang Siap Kalah

Saya rasa inilah bagian tersulit bagi orang tua ketika harus memberikan pengertian pada anaknya yang ngambek karena kalah setelah bertanding. Di awal-awal tulisan ini, saya menceritakan bagaimana anak saya “seolah-olah” berjiwa besar mengakui ketangguhan lawannya. Sebenarnya ada kisah yang lebih panjang di balik itu. 

Pada sebuah turnamen, anak saya melewati putaran pertama dengan mudah. Maklum, lawan yang dihadapi sepertinya belum lama belajar badminton. Begitu juga dengan putaran kedua. Meskipun ada sedikit perlawanan tapi anak saya mampu menang dari lawannya. Dua kemenangan ini membuat dia “besar kepala” merasa sudah juara padahal turnamen belum usai. 

Memasuki putaran ketiga, anak saya bertemu lawan yang tangguh. Kondisi yang terjadi seakan-akan berbanding terbalik dari sehari sebelumnya. Anak saya tidak berdaya menghadapi lawannya. Poin demi poin begitu cepat berlalu hingga akhirnya anak saya menelan kekalahan. Kekalahan inilah yang membuat anak saya drop. Sesampainya di rumah, dia menjadi anak pendiam. Setiap ditanya baik-baik selalu dijawabnya dengan marah. Keadaan semakin parah ketika dia tidak mau makan dan memilih menyendiri di dalam kamar.

Dalam kondisi seperti ini, peran orang tua sangat diperlukan untuk membuat anaknya move on. Begitu juga dengan saya. Saya mencoba untuk bicara dari hati ke hati dengan anak saya. Pelan-pelan saya menasehatinya untuk segera bangkit dan melupakan kekalahannya. Selain itu, saya ajak dia healing ke tempat bermain favoritnya. Pokoknya, segala cara saya lakukan agar dia semangat lagi. 

Sampai suatu saat ada momentum yang tepat untuk menasehatinya bahwa kekalahan bukan akhir dari segalanya. SoHib ingat aksi “banting raket” yang dilakukan oleh Anthony Sinisuka Ginting baru-baru ini kan? Ginting adalah pebulutangkis idola anak saya. Hari itu saya bersama anak saya melihat serunya final Singapore Open 2022 antara Anthony Ginting melawan Kodai Naraoka dari Jepang. Pertandingan berjalan seru dan anak saya tak henti-hentinya memberi dukungan pada idolanya itu. Hingga akhirnya, dia melihat Anthony Ginting membanting raket untuk meluapkan emosi atas kemenangannya. 

Dalam sesi wawancara, Ginting mengatakan bahwa menjadi juara Singapore Open adalah kali pertama pada tahun 2022 mengingat selama enam bulan lebih penampilan Ginting terus menurun. Dari wawancara itulah anak saya menjadi mengerti bahwa idolanya pun tak luput dari kekalahan tetapi Ginting pantang menyerah dan berusaha keras memperbaiki kekurangannya. Sepertinya, apa yang diucapkan oleh Anthony Ginting begitu mengena pada hati anak saya. Sampai akhirnya, dia berjanji kepada saya untuk segera melupakan kekalahannya dan kembali semangat berlatih.

#3 Respek kepada Lawan

Respek atau rasa hormat kepada siapapun harus diajarkan kepada anak-anak kita sejak kecil. Tidak hanya hormat kepada orang tua, rasa hormat juga ditujukan kepada saudara, guru, teman dan lainnya. Respek seringkali kita jumpai pada pertandingan olahraga. 

Contohnya dalam pertandingan sepak bola. Sebelum pertandingan dimulai, kedua kapten tim yang bertanding dipertemukan oleh wasit. Mereka dijelaskan aturan main selama pertandingan. 

Setelah itu mereka berjabat tangan dan tukar menukar panji klub atau biasa disebut “pennant”. Tujuan dari tukar menukar benda tersebut adalah untuk menunjukkan adanya sportivitas dan saling menghargai selama pertandingan berlangsung. 

Bahkan setelah pertandingan para pemain bertukar jersey sebagai simbol bahwa semua yang terjadi selama pertandingan diselesaikan di dalam lapangan. Setelah pertandingan selesai mereka kembali berteman seperti biasa.

Respek kepada sesama atlet juga ditanamkan oleh para pelatih klub badminton anak saya. Setiap hari kamis dan sabtu mereka diminta melakukan sparring dengan lawan yang sudah ditentukan oleh pelatih. Setelah pertandingan selesai, kedua atlet yang melakukan sparring saling berjabat tangan sebagai simbol saling menghormati dan menghargai. 

Kebiasaan ini penting dilakukan agar sesama atlet saling menaruh respek siapapun yang menjadi lawannya. Lebih-lebih jika hal tersebut dilakukan pada atlet lain yang tidak satu klub dalam suatu pertandingan resmi.

Dalam kehidupan sehari-hari akan selalu ada kompetisi. Oleh sebab itu perlu menanamkan nilai-nilai sportivitas sejak kecil agar kelak ketika dewasa mereka respek bagi orang lain termasuk kepada orang yang menjadi kompetitornya.

Rudy Tri Hermawan. Penulis dan pendidik, tinggal di Blora.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *