Site icon ghibahin.id

Stop Menyuruh Anak Belajar!

stop menyuruh anak belajar

Photo by Karolina Grabowska from Pexels

Jika kita tidak memahami karakter anak dengan baik, maka akan sering timbul kesalahpahaman dalam mengartikan gaya dan cara anak dalam menikmati proses pembelajaran.

Saya sering mendapatkan pertanyaan, baik dari para orang tua siswa les maupun dari teman-teman sesama orang tua, tentang bagaimana cara membuat anak-anak mau belajar. Sebagian besar dari mereka merasa kesulitan untuk bisa membuat anak-anak duduk manis dan belajar. Halah, boro-boro duduk manis, dengar kata belajar aja udah alergi banget kayaknya. Hehe.

Saya rasa, kata belajar adalah momok bagi hampir semua anak. Mereka anti melakukan hal yang satu itu. Mengapa? Karena dalam benak mereka belajar adalah duduk manis menghadapi setumpuk buku dengan deretan huruf dan bacaan panjang yang membosankan. Belum lagi, jika kebetulan yang harus dihadapi adalah matematika. Yang terbayang di benak mereka adalah deretan angka rumit yang bertele-tele. Dan, jangan lupa, belajar juga berarti harus tahan dengan perintah yang bertumpuk-tumpuk dari buku dan dari guru. Masih ditambah dengan rentetan perintah dan omelan orang tua jika belajarnya ‘gak bener’.

Pada dasarnya, tidak ada anak yang dengan senang hati mau disuruh belajar. Selalu ada berat hati saat akhirnya mereka melakukan aktivitas tersebut. Jika pada akhirnya mereka mau duduk manis untuk menekuri pelajaran, bisa dipastikan ada sesuatu yang menjadi sebuah tendensi, sampai akhirnya mereka mau melakukannya. Dan itulah tugas kita, orang tua dan guru agar bisa mengkondisikan “tendensi” itu menjadi sebuah daya pikat yang selalu bisa membuat mereka “menikmati” belajarnya.

Menjadi Teman Bercerita

Membawa anak pada suasana belajar akan lebih mudah dengan memasuki dunianya. Pada dasarnya, setiap anak sangat ingin kita mendengarkan suaranya. Mereka sangat menghargai orang-orang yang mau mendengarkan apapun dan merespon setiap penuturan mereka dengan tulus. Pada saat mereka kita dengarkan, mereka pun akan mendengarkan perkataan kita, bahkan meresapi dan mengingatnya.

Jadi, mari kita awali ajakan belajar dengan mengajak mereka bercerita tentang apa yang disukai mereka, apa yang tidak disukai, apa yang menjadi mimpi dan keinginan mereka dan tentang banyak hal menarik di sekitar mereka.

Saya ingat sekali, pernah ada seorang siswa les, namanya Celo, yang benar-benar malas belajar bahasa Inggris dengan alasan bahwa dia tinggal di desa. Katanya, tak pernah ada impian memiliki pekerjaan yang berhubungan dengan bahasa Inggris dan sangat tidak mungkin juga untuk  dirinya bertemu dengan ‘bule’. Jadi, ngapain harus belajar bahasa Inggris, toh gak akan digunakan juga, begitu sanggahnya.

Saya mengiyakan pendapatnya, “Wah iya, betul kamu, Cel. Ngapain dipelajari kalau akhirnya nggak dipakai juga kan?”.  Kemudian saya membiarkannya setelah beberapa lama, karena seorang anak yang dibantah akan semakin sulit untuk dibuka pemikirannya.

Pada saat gejolak penolakannya mulai ‘tenang’, saya memulai pembicaraan dengan tema yang lain. “Kamu suka main game di handphone?”, tanya saya. Dengan antusias tinggi Celo pun menceritakan asyiknya bermain game. Siapa sih yang menolak pembicaraan bertema game? Saya rasa hampir semua anak akan suka bercerita tentang game.

Akhirnya berceritalah Celo tentang serunya Mobile Legend dan Free Fire yang sedang hits di kalangan remaja, eh kalangan orang tua juga deh kayaknya. Ups. Celo bahkan menunjukkan kepada saya cara bermain dan bertanding di game tersebut.

“Ini, keterangan senjatanya pake bahasa Inggris semua ya? Kalo gak tau artinya terus gimana?” tanya saya

“Ya, kalau gak tepat memilihnya, kita bisa kalah, Bu.”

“Jadi, harus ngerti artinya dong, biar pas milihnya, biar bisa menang. Wah, ternyata ngerti bahasa Inggris ada gunanya juga ya” kata saya menanggapi ucapannya.

Sekarang, tanpa harus disuruh atau dipaksa, setiap kali ada jadwal pelajaran bahasa Inggris di bimbel, dia tekun menyimak, mendengarkan dan berusaha memahami materi dari awal sampai akhir jam pelajaran.

Memahami Karakter Anak

Setiap anak memiliki karakter yang berbeda, itu pasti. Karakter dasar yang melekat pada diri setiap individu akan berpengaruh sangat besar pada pola pembelajarannya. Jadi, sangat penting untuk memahami karakter dasar yang dimiliki oleh seorang anak sebelum kita menentukan metode pembelajaran yang tepat untuknya.

Seorang anak yang memiliki kinestetis tinggi tak akan mungkin bisa duduk diam saat belajar. Diam, adalah satu hal yang sangat menyiksanya. Energinya yang tinggi apabila tidak disalurkan dengan baik akan mengganggu konsentrasi belajarnya. Maka tak heran jika jenis karakter ini akan mendengarkan pelajaran sambil jalan-jalan dengan alasan mengambil alat tulis , mengambil minum, atau makanan. Bahkan mungkin ada pula yang mendengarkan penjelasan sambil memainkan mobil-mobilannya.

Hal yang berbeda akan kita jumpai pada anak dengan karakter auditori dan visual. Pembahasan tentang macam-macam karakter belajar anak akan dibahas di judul esai yang lain. Hehe.

Jika kita tidak memahami karakter anak dengan baik, maka akan sering timbul kesalahpahaman dalam mengartikan gaya dan cara anak dalam menikmati proses pembelajaran. Hayo, adakah yang sering memarahi anak hanya karena dia belajar sambil sering mengubah posisi duduknya? 

Membuka Pemikiran Anak

Satu hal yang sering membuat anak malas belajar adalah, tidak ada alasan yang cukup memikat hati untuk dirinya melakukan kegiatan tersebut. Alasan klise yang dikatakan oleh guru dan orang tua biasanya hanyalah belajar supaya pintar, memiliki nilai bagus, naik kelas, atau agar mendapatkan hadiah.

Pada akhir Januari ini, saya secara khusus masuk ke kelas 9 untuk memberikan gambaran singkat tentang penjurusan di SMA dan SMK. Tanpa sengaja, ada yang nyeletuk bahwa melanjutkan sekolah sekarang sangat mudah. Dengan adanya sistem zonasi, tak perlu nilai bagus pasti bisa masuk sekolah lanjutan. Ditambah lagi dengan tidak adanya Ujian Nasional memberikan keyakinan penuh bahwa mereka pasti lulus SMP. Karena tidak mungkin sekolah akan rela dianggap tidak kompeten karena ada siswa yang tidak lulus ujian Sekolah.

Akhirnya, pembahasan tentang penjurusan di SMA/SMK saya kaitkan dengan kompetensi dan nilai akademis mereka. Saya jelaskan dengan detail tentang perhitungan nilai yang digunakan dalam meloloskan anak di jurusan tertentu. Sangat tidak mungkin bagi mereka akan lolos di jurusan otomotif misalnya, jika nilai IPA dan Matematika jelek. Dengan begitu mereka menyadari bahwa proses pembelajaran tak melulu tentang bisa dan tidaknya mereka melanjutkan sekolah, tetapi juga terkait dengan lolos tidaknya mereka pada jurusan yang diminati.

Biarkan Anak Menjadi Dirinya

Sangat penting juga untuk kita membebaskan anak untuk menjadi dirinya sendiri. Biasanya kita memiliki harapan tersendiri terkait pencapaian hasil belajar anak. Hal ini sering memicu ketegangan karena perbedaan standarisasi.

Pada umumnya orang tua sangat bangga jika anaknya memiliki kompetensi maksimal di Matematika dan IPA. Padahal, setiap anak terlahir dengan tingkat kecerdasan yang  berbeda. Tidak pandai dalam berhitung, bukan tidak mungkin si anak ternyata mampu cas cis cus dalam bahasa asing. Tak pernah terdengar berisik, bisa jadi dia banyak berbicara dalam coretan-coretan sketsa dan desain di buku gambarnya.

Jadi, penting sekali untuk kita menggali dan mengorek hal-hal yang mungkin bisa memotivasi anak untuk bisa menikmati belajarnya. Setiap anak pasti memiliki sesuatu yang menjadi penyebab utama kemalasannya. Dan pasti ada pula sesuatu yang bisa membangkitkan gairah belajarnya. [red/nat]

Dinul Qoyimah, ibu rumah tangga & pemilik bimbingan belajar. Tinggal di Kudus.

Exit mobile version