PARENTING: Peran Orang Tua dalam Mewujudkan Cita-cita Anak

“Orang tua yang memberikan dukungan penuh dengan membayar mahal semua peluh demi anaknya mencapai apa yang menjadi minat bakatnya, menurut saya adalah orang tua yang spesial.”

Saya selalu angkat topi pada setiap orang tua yang penuh dedikasi membimbing putra-putrinya untuk menjadi atlet, apa pun itu. Untuk hal ini saya punya alasan tersendiri. Apalagi usia atlet itu pendek sekali. Setelah usia 35 tahun ke atas, atlet pada cabang olahraga kebanyakan sudah memasuki masa pensiun. 

Dulu, saya sejak kecil hobi bermain badminton dan jatuh cinta sama mbak Susi Susanti sama suaminya, mas Alan. Nah saya bilang dong ke Mama saya, “Kok aku pengin jadi atlet ya, Ma.”

Dengan gercep dan sat set Mama bilang nggak usah saja, jadi atlet itu nggak bisa kaya. Hidupnya kalau sudah tua itu susah. Tentu saja Mama saya ini memang punya pola pikir materialistis sejak dulu. Yaah down juga padahal saya pengin banget ikut ekstra badminton. 

Saat duduk di bangku SMP saya sudah tertarik menulis. Dan suka baca-baca karya fiksi. Jadilah saya sering dapat nilai tinggi untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Karangan fiksi saya dipuji guru Bahasa Indonesia. Beliau bilang kelak saya bisa jadi penulis. Dari beliau saya dapat hadiah buku karangan JS Badudu lho. Ya akhirnya saya bilang ke Mama kalau saya pengin jadi penulis. Eh Mama saya bilang nggak usah jadi penulis, nggak bikin kaya. Kamu bakalan miskin. 

Setelah bertahun-tahun, saya mencoba berbaik sangka dengan pemikiran materialistis Mama. Bisa jadi yang dianggap beliau benar. Di mata beliau uang itu penting. Banyak uang itu kudu. Carilah pekerjaan yang stabil. Menghasilkan banyak uang. 

Dengan menjadi atlet yang usia produktifnya pendek, di usia menjelang kepala empat sudah harus gantung sepatu, gantung raket sampai gantung jemuran, bisa jadi masa depan ruwet. Yang beruntung bisa diangkat menjadi PNS di bawah Kemenpora, jadi pelatih yang dibayar tinggi, bahkan bisa jadi pelatih di luar negeri sampai pindah kewarganegaraan seperti Mia Audina, mantan atlet badminton. Meskipun Mia pindah karena menikah dengan bule.

Atau ada mantan atlet sukses membangun bisnis dengan memanfaatkan nama besarnya atau mereka bisa sejahtera karena memang pintar berinvestasi. Namun, kondisi yang kurang beruntung pun juga dialami mantan atlet yang sudah mengharumkan nama bangsa dengan kondisi ekonomi kurang menguntungkan. Begitu juga jadi penulis yang menurut Mama saya kembang kempis ekonominya. 

Yang kedua, saya berbaik sangka, mungkin Mama saya memang tidak melihat saya mampu saja. Ya cuma asal suka terus nyemlong (menyelinap) selintas dalam pikiran. 

Akan tetapi setelah saya makin tua eh dewasa, saya menyadari memang Mama saya itu materialistis. Itu cukup mempengaruhi saya. Saya dulu mencari kerja pokoknya yang gajinya gede. Enggan kalau gajinya kecil. Tawaran menjadi guru Wiyata Bakti di sekolah negeri banyak saya tolak dengan alasan pastinya tidak mau digaji kecil dong. Kalaupun mengajar di sekolah negeri saya harus berstatus PNS. Ini benar-benar saya tanamkan. 

Akhirnya, seiring berjalannya waktu tentu persepsi ini lama kelamaan memudar. Saya ingat peran seorang penjual warung makan kecil dalam drama Korea Vincenzo yang ia dulunya mantan atlet nasional taekwondo Korea Selatan. Di masa tuanya, ia berjuang secara ekonomi dengan membuka warung makan. Artinya apapun kondisi kita, dalam keadaan apa pun, pastinya tetap berjuang dengan level yang berbeda-beda. Di mana-mana ya memang begitu.

Saya tidak mau mewarisi pemikiran materialistis pada anak saya. Jika pun mereka ingin jadi atlet saya akan mendukung sepenuhnya. Orang tua yang memberikan dukungan penuh dengan membayar mahal semua peluh demi anaknya mencapai apa yang menjadi minat bakatnya, terutama di bidang olahraga yang menurut saya adalah orang tua yang spesial. 

Mereka rela membayar semua materi untuk anaknya. Bayangkan saja lah, sepatu yang bagus bisa seharga jutaan, belum alat olahraga lainnya, mereka juga harus membayar biaya kelas olahraga dengan pelatih yang mumpuni. Mereka harus ikhlas mengantar bolak-balik latihan ke Pelatnas. Dan pengorbanan yang lebih besar lagi adalah mereka mengikhlaskan anak-anak mereka untuk menomorduakan nilai akademis di sekolah. 

Ya, bagaimana mau fokus kalau mereka sering meninggalkan kelas sampai berbulan-bulan untuk berlatih di Pelatnas hingga pertandingan internasional. Maka atlet ini biasanya lahir dari keluarga yang nggak punya tuntutan academically oriented. Kayak Hee Do sama Yu Rim yang menduduki peringkat paling bawah di sekolah, tapi orang tuanya tetap mendukung mereka jadi atlet.

Menjadi atlet apalagi bisa mengharumkan nama bangsa itu suatu kebanggaan. Big applause untuk para orang tua atlet. Percayalah, masa depan tidak akan sesuram itu. Nama besar atlet akan tetap gemilang. Apalagi di era kekinian, akan selalu banyak cara untuk mencintai passion kita dan menemukan harta yang lebih berharga dari sekadar materi yang membuat kita selalu merasa cukup dan sejahtera.

Hanifatul Hijriati. Seorang guru, tinggal di Sragen.

[red/maz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *