Site icon ghibahin.id

CURHAT: Saya Korban atau Pelaku KDRT?

Perang Bantal

Foto oleh Tima Miroshnichenko dari Pexels

Assalamualaikum wr.wb. 

Selamat pagi, siang, atau sore terserah Mbah Ghibah kapan bacanya.

Sebelumnya kenalkan nama saya Inang, tinggal di Medan. Horas bah!

Begini, Mbah, tadi malam saya mengalami sebuah peristiwa traumatis yang belum pernah saya alami sepanjang perjalanan rumah tangga saya dengan suami.

Semua berawal ketika suami memegang tangan saya yang baru divaksin kemarin. Dia sebenarnya berniat main-main, tapi buat saya sakitnya gak main-main. Karena sakit, kaki saya refleks menendang. Dan ndilalah-nya yang kutendang burungnya suami.

Nah … tau dong sakitnya para pria kalo benda pusakanya tersakiti. Dia juga refleks memukul saya. Saya gak terima. Kami jadi pukul-pukulan. Awalnya gak sengaja jadi betulan. Saya cakar mukanya. Saya maki. Dia lempar saya dengan bantal sekuatnya. 

Pokoknya kami tarung. Sumpah, ini gak pernah terjadi selama ini. Saya shock. Saya merasa jadi korban dan pelaku KDRT sekaligus. Dan tarung itu berakhir dengan saling diam sepanjang malam. 

Saya mohon solusinya ya, Mbah. Ini saya bingung, gak tau apa mau nangis atau ketawa. Meskipun saya berusaha gak kepikiran, tapi mau tak mau saya baper juga.

Antara rasa bersalah karena telah menyakiti suami, bercampur dengan rasa sakit hati karena suami kok tega membalas pukul saya. Harusnya kan dia mengalah. Saya jadi merasa dia gak secinta itu sama saya. Hiks …

Aiihhh … begitulah pokoknya. Mohon maaf bahasanya belepotan, Mbah. Ini sama dengan suasana hati saya saat ini. Belepotan semua. Huhuhu.

Terima kasih buat Mbah Ghibah. Semoga ada solusi yang menenangkan. Horas!

Wassalamualaikum wr.wb.

Inang, tinggal di Medan yang bukan perang.

*****

Mbak Inang yang baik, kali ini Simbah panggil mbak, jarang-jarang kayak gini, mungkin Simbah lagi tidak ingin mendapat hadiah jotosmu.

Kasus yang Mbak Inang alami sungguh terlihat sederhana. Tapi bagi Simbah yang sudah melalang buana ini, tidak ada kasus yang sederhana. Di mata Simbah semua rumit, sehingga jangan heran banyak masalah pribadi Simbah yang terselesaikan. Semua Simbah tinggal lari, sambil ngopi, eh, kopinya tumpah.

Jika dinalar secara logika, harusnya, Mbak Inang yang meminta maaf secara baik-baik kepada suami. Toh, itu reflek karena bekas suntikan vaksin Mbak Inang masih sakit. Bilang saja begini: “Maaf, Mas, yang kemarin reflek, Inang nggak sengaja. Maafin Inang, ya, Mas.” Selesai, sat-set, sat-set.

Hmmm …

Tapi tenang, saya paham betul dengan suasana hati Mbak Inang. Tidak akan semudah itu bagi seorang istri meminta maaf. Bukan karena istri selalu benar, bukan. Namun dilihat dari suasana keluarga Mbak Inang yang begitu banyak canda menjadi kesulitan tersendiri untuk sesekali menjadikan suasana serius. 

Uhuk, uhuk, tapi jangan panggil saya Simbah yang suka ghibah jika tidak mempunyai solusi untuk kasus Mbak Inang yang satu ini.

Dengarkan Simbah baik-baik.

Pertama, Mbak Inang mulailah menyapa terlebih dahulu Sang Suami. Sapaan ini bisa macam-macam tergantung situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan (jangan pernah menyingkat kata ini) yang terjadi saat Mbak Inang ingin menyatakan niatnya. Nih, Simbah kasih contoh. (Apa sih yang nggak untuk Mbak Inang)

“Mas, galonnya berat, angkatin dong, dipasang sekalian, ya.”

“Mas, gentengnya bocor, benerin dong, dicat sekalian, ya. Semuanya.”

“Mas, beliin minyak satu kwintal, dong, buat mandi.” 

Dan lain sebagainya, disapa terlebih dahulu kemudian baru dikasih tugas yang lebih berat juga boleh, membangun candi atau danau, misalnya. Yang penting, menyapa dulu, jangan banyak mikir. Nanti kalau semakin nerunyam WA saja Simbah Ghibah, dijamin aman. 

Kedua, Simbah punya pengalaman. Waktu muda dulu, ketika Simbah dan Uti marahan, kita diam-diaman sampai lama. Simbah juga bingung. Hingga suatu hari Simbah kaget, malam-malam tiba-tiba Mbah Uti sudah nangkring di atas Simbah. Simbah langsung melek lah, dan langsung melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara singkat namun seksama.

Eh, gimana, gimana? 

Yang Simbah ingat, Mbah Uti cuma bilang, “Matanya off kok anunya on.”

Nah itu bisa dipraktekkin sama Mbak Inang, pelan tapi pasti, gendam tanpa aji-aji, memanjat tanpa tangga, keringatan tanpa olahraga, suara keras tanpa Toa. Sat-set, sat set, lepas semuanya. Dan, nganu.

Selamat perang bantal, Mbak Inang. [red]

Exit mobile version