Site icon ghibahin.id

Alasan Rasional Kenapa Istri Lebih Suka Bilang “Terserah” daripada Bilang “Tidak”

Foto oleh Danang Wicaksono dari Pexels

Beberapa waktu lalu suami bertanya sesuatu, saya jawab, “Terserah.” Lalu dia bilang baru saja nonton video kalau arti terserah itu sebenarnya tidak. Ya, benar. Istri memang lebih suka bilang terserah daripada langsung bilang tidak. 

Pernah suatu hari suami bilang mau ke masjid padahal saya dan si kecil belum makan. Saya bilang, “Aku kan belum makan.” Suami tidak paham dan tetap ingin ke masjid, jadi saya bilang dengan nada sangat kesal, “Ya terserah lah, sana pergi aja ke masjid.” 

Dan benar saja, dia langsung pergi ke masjid. Yang terjadi setelahnya adalah si kecil makan sendiri dan tersedak. Sedangkan saya sibuk masak karena sudah terlalu lapar. Tentu saja saya marah. Bapak-bapak yang mendengar ini pasti akan menyalahkan saya kenapa bilang terserah. 

Alasan Rasional

Semoga jawaban saya ini bisa dipahami dan diterima oleh bapak-bapak dan cukup rasional untuk dipertimbangkan. Jadi, istri itu pada dasarnya tidak ingin melarang dan mengekang suami. Tapi istri ingin suami menyadari sendiri tanggung jawabnya. Sebelum meninggalkan rumah, apakah anak dan istrinya dalam keadaan kenyang, sehat, aman, dan nyaman?

Apa tanggapan kita secara spontan jika saya melarang suami ke masjid? Masa suami shalat jamaah dan menjalankan syariat malah dilarang? Di luar sana banyak istri yang kesulitan menyemangati suaminya agar mau jamaah di masjid, kok malah gak bersyukur? Masa istri menghalangi suami untuk ibadah?

Saya tidak ingin melarang suami melakukan ibadah. Tapi saya hanya ingin dia sadar dan menentukan sendiri apakah ini waktu yang tepat untuk shalat jamaah ke masjid? Misal, dalam kondisi lapar saya harus masak dan menyuapi si kecil.

Saya juga tidak tahu apa yang ada dalam pikiran suami jika saya melarang. Dia akan sadar atau malah merasa tertekan dan takut setiap akan ke masjid atau keluar rumah. Jadi, daripada saya melarang saya lebih suka menggunakan kata terserah.

Arti Kata Tidak

Kata tidak memberi kesan larangan, pengekangan, penjajahan, tidak bebas, dan tidak merdeka. Suami berpikir tidak bisa pergi karena dilarang istri, bukan karena ia sadar bahwa seharusnya ia tidak pergi.

Misalnya begini, Paijo bilang ke istrinya, “Aku mau ikut pengajian di Masjid Agung, ya?”

“Nggak boleh,” jawab Painem. Lalu Paijo akan mengabari teman-temannya kalau istrinya melarang dia pergi. Apa yang terjadi setelahnya?

Paijo merasa dikekang oleh istrinya, dijajah, tidak merdeka, tidak bisa mengendalikan istri, dsb. Harga diri sebagai pemimpin terluka, seolah ia tak bisa menentukan pilihan hidupnya sendiri. Suami ngaji bukannya didukung malah dilarang. Sama halnya dengan shalat di masjid. Apa salahnya pergi ngaji tiap malam selama berjam-jam? Toh teman-temannya tetap bisa dan bebas pergi kemana saja.

Arti Kata Terserah

Kata terserah berarti pilihan ada di tangan suami. Mereka memiliki hak utuh untuk menentukan pilihan mereka sendiri dengan penuh tanggung jawab. Bukan karena dilarang istri, bukan juga karena takut sama istri, atau takut istri marah.

Tapi, apa yang diharapkan istri dengan kata terserah adalah dengan menganalisis kondisi dalam rumah. Terserah, suami boleh keluar, tapi apakah istri sudah istirahat seharian ini? Apakah suami sudah bermain bersama anak hari ini?

Apakah anak dan istri sudah makan? Apakah suami sudah berbagi cerita dengan istri? Bagaimana kondisi istri? Kelelahankah? Kelaparankah? Bahagiakah? Sedihkah? Kesepiankah? Dari berbagai analisis itu, suami bisa menyimpulkan, apakah pergi adalah pilihan yang tepat?

Begitu pula jika ingin membeli sesuatu. Istri mungkin sering melarang dan akhirnya bilang terserah. Kadang ada suami yang membeli diam-diam tanpa sepengetahuan istri. Padahal, istri hanya ingin suaminya mempertimbangkan, bukan melarang. Apakah ini saat yang tepat untuk membeli sesuatu?

Sebelum Istri Bertindak

Pernahkah para suami memperhatikan istri? Semenjak menikah dan punya anak, berapa kali ia pergi keluar? Berapa kali ia bisa ikut pengajian di luar? Jangankan pengajian, berapa kali ia bisa ngaji tadarus Qur’an di rumah? Berapa kali ia bisa shalat sunnah? Berapa kali ia bisa membaca doa dan amalan, membaca buku, diskusi, dan kajian? 

Bukan hanya itu, berapa kali dia makan tanpa interupsi? Bisakah dia ketemu teman-temannya? Kalau keluar rumah, pernahkah dia meninggalkan anak-anak? Kalaupun ditinggal, apakah anak-anak dalam keadaan lapar dan tidak terurus?

Sebelum istri keluar rumah, ia akan mempertimbangkan banyak hal. Mulai dari kondisi anak, suami, makanan, dan rumah. Itu pun sangat jarang. Jika bisa tidak pergi, ia lebih memilih di rumah, membersamai anak. Jika pun pergi, pasti bersama suami dan anak. Dan itu pun bukan refreshing karena pada dasarnya ia tetap mengasuh anak di luar rumah dan tetap kelelahan begitu sampai rumah.

Maka, suami bisa mempertimbangkan kondisi anak dan istri sebelum keluar rumah. Saya yakin, jika kondisi istri dan anak nyaman, sehat, dan bahagia, istri pasti tidak keberatan jika suami pergi. Tapi sebelum itu, bahagiakanlah keluarga terlebih dahulu.

Nabi SAW bersabda,

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.”

Hadits itu memberikan makna bahwa membahagiakan muslim yang lain –dalam hal ini muslim yang paling dekat adalah keluarga– lebih baik daripada i’tikaf di masjid sebulan penuh. 

Jadi, itulah alasan rasional kenapa istri lebih suka mengatakan “terserah”. Bukan karena ingin main kode-kodean, bukan juga karena ia makhluk yang sulit dipahami, bukan pula karena ia egois. Tapi justru karena ia ingin memberikan keputusan sepenuhnya pada suaminya. 

Mahdiya Az Zahra, suka ghibahin parenting di ghibahin.id

[red/brsm/nuha]

Exit mobile version