Site icon ghibahin.id

Waduk Kali Bening, Surga Para Pemancing di Madiun

Foto oleh Darcy Lawrey dari Pexels

“Sama sekali saya tidak merasa merinding atau merasakan energi gaib atau apa pun yang senada dengannya.”

Saya lupa tepat waktunya. Di suatu malam saya tidak sengaja melihat sebuah acara misteri televisi. Program itu bertajuk “Bukit Setan Waduk Widas Madiun”. Waduk Kali Bening memang mempunyai sebutan resmi Waduk Widas. Dan seperti yang saya duga, dokumenter misteri itu berisi seputar waduk Saradan yang begitu angker.

Waduk yang dibangun di era Soeharto itu diceritakan dengan penuh peristiwa mistis dimulai dari banyak penampakan hingga orang yang konon sudah meregang nyawa di sana secara misterius. Hingga ketika saya ketik di Youtube dengan kata kunci Bukit Setan Waduk Widas, berbagai video bertema sama akan muncul. Intinya angker lah.

Saya tercatat, eh, nggak ding, pokoknya pernah berkali-kali ke sana. Yang saya lihat adalah pemandangan manis sepanjang mata saya memandang. Tidak ada kesan angker sama sekali. Ya, kecuali ada yang datang dengan niat mencari gaman atau pesugihan mungkin hasilnya berbeda lagi.

Saya sungguh ingat kali pertama datang ke Waduk Kali Bening. Saat itu saya menjadi panitia jelajah alam dengan tujuan utamanya waduk tersebut. Saya mulai berjalan kaki dari Makam Syeh Suluki Wilangan, salah satu makam yang ditemukan Gus Dur, menuju ke arah barat hingga menemukan kitab suci ke Waduk Widas sebelah timur. Sama sekali saya tidak merasa merinding atau merasakan energi gaib atau apa pun yang senada dengannya.

Jadi, lupakan tentang masalah gaib itu, saya akan membahasnya dari sisi mata pancing. Waduk Kali bening ini memang menjadi tujuan terpopuler para pemancing. Ali Nurdin teman satu asrama saya dulu di pesantren selalu menyempatkan diri untuk memancing ke tempat ini saat mudik ke Nganjuk. Tentu, diawali terlebih dahulu dengan meminta restu istrinya, kalau nggak gitu bisa pulang tanpa membawa apa-apa. Hahaha.

Bagi para pemancing pemula, tidak usah risau kala lupa membawa umpan. Di sana, lapak yang menjajakan umpan ikan sudah banyak. Kebanyakan mereka menyediakan udang kecil-kecil sebagai umpan yang memang menjadi menu favorit para ikan.

Ali Nurdin sering bercerita kepada saya perihal memancing di sini. Dia memastikan ada hal-hal yang harus disiapkan agar tidak mengalami kekecewaan.

Pertama, mencari spot yang tepat untuk memancing. Saya pernah datang ke sana untuk memancing saya mengira spot yang tepat berada di sekitar kios para penjual yang saya ceritakan tadi. Rupanya, yang dimaksud dengan kawan saya itu ialah spot pedalaman yang hanya bisa dilewati oleh motor. Tepatnya agak masuk ke arah timur melewati jalan searah yang ada di sana. Semi petualangan lah pokoknya.

Kedua, harus all in. Saya juga bingung menggunakan padanan kata yang lain. Pokoknya, memancing dengan menenggelamkan diri hingga hanya terlihat kepala saja. Ini berfungsi untuk menghindarkan diri dari panas yang menyengat. Sekaligus, bagi para pemancing expert dia akan mampu merasakan banyak tidaknya ikan di tempat itu hanya dengan merasakan kontur tanah yang mereka injak.

Ketiga, harus update peralatan pancing. Nurdin mengatakan terakhir ia memancing di sana adalah dengan pancing jaring. Maksudnya, pancing itu dibuat dari jala dan di tengahnya terdapat umpan ikan. Dengan itu dia sukses mendapatkan banyak ikan.

“Saya sering mendapatkan berbagai jenis ikan di sana, mulai dari gurame, nila, hingga ikan mujair,” kata Nurdin melanjutkan ceritanya. 

Sepertinya teman saya itu melupakan satu tips lagi, yaitu restu istrinya. Hehehe. Ada info yang juga pernah dia berikan kepada saya yaitu cara masuk ke wilayah itu dengan gratis. Penasaran, saya bertanya bagaimana caranya.

“Kalau ke sana, jangan dandan rapi. Kamu dandan seperti orang mancing saja. Pakai celana pendek, kaos toko pertanian, dan ember ikan. Dengan itu kamu akan masuk sana seperti kamu bosnya.”

“Hahaha .…” Saya tertawa mendengarnya, sambil membayangkan saya dan istri saya masuk ke sana dengan memakai kaos swan dan seperangkat alat pancing. Sah!

Jadi, kapan SoHib mau mancing di Waduk Widas?

Ahmad Natsir, pernah tinggal di Nganjuk, Madiun, Ponorogo, juga Tulungagung.

[red/rien]

Exit mobile version