Site icon ghibahin.id

Trauma, Inner Child dan Pilihan Menjadi Childfree: Salahkah?

Meskipun memiliki sepasang anak yang cerdas dan berbakat, yang tentu saja sangat membanggakan saya sebagai orang tuanya, diam-diam saya juga mendukung aliran childfree bagi mereka yang memiliki inner child dan trauma di masa lalu. Kontradiktif atau sekadar plin-plan? Silahkan menilainya sendiri.

Saya akan menjelaskan pendapat saya melalui sebuah kisah nyata yang dialami oleh seorang kenalan saya. Tenang, saya sudah meminta izin padanya untuk menuliskan kisahnya. Namun dia melarang keras saya  untuk menyebutkan namanya, atau mengungkapkan jenis kelaminnya. Baiklah, privacy masih dihargai di negeri ini, bukan?

Dia bagian dari generasi sandwich yang menanggung beban generasi di atasnya dan sekaligus menjadi tulang punggung keluarga intinya. Itu adalah gambaran umum bagi orang yang mengenalnya sekilas sebagai seorang pekerja keras. Namun dari sudut pandang yang berbeda, saya melihatnya sebagai pribadi yang tidak stabil. Luapan emosi yang ditunjukkannya seringkali berada di titik ekstrim, entah terlalu gembira atau sangat sedih, timbul tenggelam dalam dirinya karena masalah inner child yang terluka.

Dalam sebuah sesi penyembuhan luka batin yang diadakan oleh kelompok kecil di mana saya menjadi bagian dari panitia penyelenggara, dia menceritakan sebuah kejadian yang selama ini selalu disimpannya rapat-rapat. Rupanya ketika masih kecil, dia pernah menjadi korban pedofil. Kejadian itu masih diingatnya samar-samar, dan tak bisa sepenuhnya hilang dari ingatannya, sekeras apapun dia mencoba melupakannya. Pelaku pedofil yang masih berkerabat dengan dirinya itu memang sudah menebus perbuatannya di penjara selama lima tahun. Tetapi, luka batinnya atas pelecehan itu menetap selamanya dalam dirinya.

Dia tak bisa mengampuni pelaku itu. Dan salah satu hal yang membuatnya geram justru sikap penuh ampun yang ditunjukkan oleh kedua orang tuanya kepada pelaku itu. Ketika sang pelaku sudah keluar dari penjara, orang tuanya masih mau menerima kedatangan pelaku itu di di rumah mereka dan bercakap-cakap dengan akrab layaknya tak pernah terjadi apa-apa yang menimpa anak mereka sebelumnya.

Tak heran bisa sang anak, kenalan saya itu, tumbuh menjadi manusia yang rendah diri. Dia tak pernah percaya pada dirinya sendiri dan selalu menganggap orang lain lebih tinggi derajatnya dari dirinya. Dia merasa dirinya tidak berharga.

Dia memang berhasil keluar dari rumahnya yang menyesakkan. Tak lagi bertatap muka dengan pelaku pedofil yang dibencinya dan berhasil menghidupi dirinya sendiri pada usia yang masih sangat muda. Namun, dia tidak pernah merasa benar-benar bahagia dengan hidup yang dijalaninya.

Permasalahan hidupnya ternyata tidak berhenti hanya dengan keluar dari rumah saja. Dengan luka batin yang masih menganga karena pelecehan yang terjadi pada masa kecilnya, dia menyadari bahwa apapun yang dilakukannya, ternyata tidak berhasil membuat orang tuanya bangga.

Orang tuanya kini menatapnya dengan gamang, merasa menjadi orang tua tak berguna karena tak bisa memberikan yang terbaik pada anaknya. Kemandirian yang berhasil diraihnya di usia muda, justru menjadi beban sosial bagi orang tuanya. Tak ada kebanggaan yang dirasakan orang tuanya karena tidak bisa menjadikannya sarjana. Dia memang langsung bekerja selepas SMA tanpa berniat melanjutkan pendidikannya.

Dia jarang pulang ke rumah orang tuanya karena tak ingin bertemu dengan pelaku pedofil yang masih sangat dibencinya itu. Namun orang tuanya mengartikannya berbeda. Mereka mengira dia tak menghormati orang tua lagi karena berhasil mandiri tanpa bantuan orang tua, sehingga tak mau mengunjungi orang tua.

Dia pernah bertanya pada saya dengan wajah sedih, apa yang harus dilakukannya untuk mengubah persepsi orang tuanya? Ketika saya katakan bahwa dia harus berterus-terang dan berkomunikasi dengan kedua orang tuanya, dia mengatakan bahwa hal itu mustahil dilakukan. Ternyata masalah pelecehan itu tak pernah dibicarakan dengan terbuka dalam keluarga mereka. Mungkin orang tuanya mengira dia tak mengingat kejadian masa lalu itu karena dia memang masih sangat kecil ketika menjadi korban pedofil. Selama ini mereka berpura-pura bahwa hal itu tak pernah terjadi. 

Bagi orang tuanya, barangkali mudah saja menganggap bahwa selama ini anaknya baik-baik saja. Padahal sang anak sendiri telah membawa luka batin itu dalam waktu yang sangat lama.

Setelah sesi acara penyembuhan luka batin itu berakhir, lama sekali saya tak berjumpa dengannya. Baru-baru ini saja, ketika di media sosial kembali marak perdebatan masalah childfree, saya bertemu lagi dengannya. Dengan tegas dia menyatakan bahwa dia adalah penganut aliran childfree akibat trauma masa kecilnya. Dan saya menghormati pendapatnya.

Baginya, anak bukan beban hanya karena dia ingin terlihat awet muda seperti pendapat seseorang yang saat ini sedang viral di media sosial. Namun semata karena dia tak ingin ada anak-anak lain yang seumur hidupnya tak bahagia karena menyimpan beban mental seperti dirinya.

Mendengarnya, saya hanya bisa berdoa. Semoga sepasang anak yang cerdas dan berbakat, yang terlanjur terlahir dari rahim saya, tidak menyimpan luka batin yang terlalu dalam dan tidak menyesali telah terlahir dari seorang ibu yang selalu gelisah seperti saya.

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman, pernah bercita-cita menjadi guru

[red/ rien]

Exit mobile version